Suara.com - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej meminta penjelasan rinci kepada Mahkamah Konstitusi (MK) perihal putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebab, dia menyebut Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 itu bisa saja bersifat prospektif. Artinya, tidak berlaku untuk pimpinan KPK saat ini.
"Argumentasi teoretiknya, Putusan MK sama dengan undang-undang. Asas keberlakuan undang-undang adalah Nova Constitutio Futuris Formam Imponere Debet, Non Parearitis. Artinya, undang-undang berlaku ke depan, tidak untuk masa lalu dan tidak berlaku surut,” kata Edward pada Jumat (26/5/2023).
Dengan begitu, konsekuensinya masa jabatan pimpinan KPK bisa saja tetap berakhir pada 20 Desember 2023 sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tengan KPK saat belum diuji dan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 112/P/2019 tertanggal 21 Oktober 2019 dan Keppres nomor 129/P/2019 tertanggal 2 Desember 2019 tentang Pengangkatan Komisioner KPK 2019-2023.
Baca Juga: Usai Kabulkan Gugatan, MK Sebut Masa Jabatan Firli Cs di KPK Berlaku hingga Desember 2024
Sementara di sisi lain, lanjut Edward, putusan tersebut bisa saja berlaku saat ini sehingga masa jabatan pimpinan KPK diperpanjang hingga 20 Desember 2024.
Namun, konsekuensi pemberlakuan putusan tepat setelah diucapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, presiden harus mengubah Keppres soal masa jabatan pimpinan KPK saat ini.
"Agar tidak menimbulkan kontroversi, MK harus menjelaskan kepada publik apa maksud putusan tersebut," tambah Edward.
Hal lain yang perlu diluruskan oleh MK, menurut dia, terkait masa jabatan Dewan Pengawas KPK yang tidak disebutkan dalam amar putusan.
"Penjelasan MK sangat penting untuk kepastian hukum, sebab Pimpinan KPK adalah aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan penetapan tersangka dan segala upaya paksa dalam penyidikan,” tutur Edward.
Baca Juga: Polemik Putusan MK Perpanjang Masa Jabatan Pimpinan KPK Jadi 5 Tahun
"Hal ini mengingat sifat keresmian dalam hukum acara pidana sehingga tidak memberikan cela hukum dalam proses terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,” katanya.
Sebelumnya, MK mengabulkan judicial riview mengenai masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun. MK juga memutuskan, batas usia menjadi pimpinan KPK tidak harus berumur 50 tahun. Adapun gugatan soal masa jabatan dan batas usia pimpinan KPK ini sebelumnya diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada November 2022 lalu.
"Mengabulkan permohonan pemohon selurunya," kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan pada Kamis (25/2023).
Dalam putusan MK menyatakan, Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, 'Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan,' bertentangan dengan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, 'berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) pada proses pemilihan," kata Anwar Usman.
Pada putusan selanjutnya, MK menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, 'Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipiih kembali hanya untuk sekali masa jabatan', bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, 'Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan," ujar Anwar Usman.
Putusan terakhir, MK memerintahkan pemuatan putusannya dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.