Suara.com - Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyampaikan kritiknya kepada kebijakan Presiden Joko Widodo. Kritik tersebut terkait dengan kebijakan subsidi BBM yang sebaiknya tidak diberikan secara terus-menerus.
Baginya, masyarakat mampu membeli BBM jika tidak ada kebijakan subsidi. Hal ini juga terjadi ketika tahun 2005 yang saat itu melakukan kenaikan BBM hingga 100%.
Selain itu, Jusuf Kalla juga menyinggung nilai ekspor yang melambung tinggi. Sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan cadangan devisa negara yang baik. Kebijakan hilirisasi pemerintah sudah tepat baginya, tetapi dampaknya belum maksimal.
Berkenaan dengan kritik tersebut, berikut sejarah kebijakan subsidi BBM dan polemiknya.
Baca Juga: Kaesang Pangarep Ungkap Jokowi sempat Curhat Capek dan Tak Kuat Lagi, Alasannya...
Era Orde Lama
Penyesuaian harga BBM di masa pemerintahan Presiden Soekarno yakni tahun 1965 dan 1966. Premium ditetapkan senilai Rp0,30 per liter, Minyak Tanah Rp0,20 per liter dan Rp0,20 untuk Solar.
Kemudian pada 1966, Premium menjadi Rp1 per liter, minyak tanah menjadi Rp0,60 per liter, dan Solar menjadi Rp0,80 per liter. Kemudian pada 27 Januari 1966 menjadi Premium Rp0,50 per liter, Solar Rp0,40 per liter, dan Minyak Tanah menjadi Rp0,30 per liter.
Era Orde Baru
Pada masa orde Baru, BBM bersubsidi diketahui disesuaikan harganya sebanyak 21 kali. Meski demikian, penyesuaian itu tidak dilakukan serentak untuk seluruh jenis BBM bersubsidi.
Baca Juga: Ngarep Jokowi Dukung Prabowo Ketimbang Ganjar, Cak Imin: Itu Harapan dan Keyakinan Kita
Pada 1967, Premium ditetapkan Rp4/liter. Kemudian pada 1998 Premium menjadi Rp1000 per liter. Solar pun menjadi Rp550 per liter.
Era BJ Habibie
Harga BBM subsidi di era ini hampir sama dengan era Presiden Soeharto. Habibie tidak melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi.
Era Gus Dur
Pada era Gus Dur, tercatat ada 6 kali penyesuaian harga BBM bersubsidi. Harganya relatif sama dengan sebelumnya yakni pada Oktober 2000 harga Premium Rp1.150 per liter, Minyak Tanah Rp350 per liter, Solar Rp1.250 per liter, dan Premium Rp1.450 per liter.
Era Megawati
Adapun penyesuaian harga BBM pada era ini sebanyak 18 kali. Harga tersebut pada Agustus 2001 yakni Premium Rp1.450 per liter, Solar Rp1.190 per liter. Kemudian bulan Oktober 2004 berubah menjadi Premium Rp1.810 per liter dan Solar Rp1.650 per liter.
Era SBY
SBY melakukan penyesuaian harga BBM sebanyak 8 kali. Harga Premium menjadi Rp6.500 per liter pada 2014, Solar menjadi Rp5.500 per liter.
Era Jokowi
Presiden Joko Widodo melakukan penyesuaian harga hingga 7 kali. Pada awal menjabat, Premium berharga Rp6.500 per liter dan naik menjadi Rp8.500 per liter. Kemudian Premium turun menjadi Rp7.600 per liter.
Beberapa saat kemudian Premium menjadi Rp6.600 per liter dan pada 2015 Premium menjadi Rp6.900 per liter lalu Rp7.300 per liter. Berikutnya, pada 2016 Premium menjadi Rp6.950 per liter dan turun lagi menjadi Rp6.450 per liter. Kemudian, Jokowi menurunkan lagi Premium menjadi Rp6.400 per liter dan naik menjadi Rp6.900 per liter.
Pada 2018, harga Pertalite menjadi Rp7.600 per liter. Kemudian naik kembali menjadi Rp7.800 per liter. Pada 2019, harga Pertalite sempat turun tetapi naik lagi menjadi Rp7.650 per liter. Pada 2022, Pertalite menjadi Rp10.000 per liter, Solar menjadi Rp6.800 per liter, dan pertamax menjadi Rp14.500 per liter.
Kemudian pada 1 Mei 2023, harga BBM pun turun. Pertamina Dex menjadi Rp14.600 per liter dan Dexlite menjadi Rp14.250 per liter. Namun harga Pertamax tetap Rp13.300 per liter sementara pertalite tetap Rp10.000 per liter.
Di era Jokowi, muncul polemik apakah subsidi seharusnya ditujukan kepada manusianya atau komoditas. Pasalnya subsidi BBM Rp502 triliun membuat Kementerian Keuangan sedikit sulit untuk mengatasi defisit anggaran di tengah naiknya harga komoditas pangan dan energi serta inflasi.
Kontributor : Annisa Fianni Sisma