Suara.com - Tony Sutrisno korban dugaan penipuan terkait pembelian dua buah arloji mewah Richard Mille seharga Rp 77 miliar berencana melaporkan kembali kasus tersebut ke pihak kepolisian. Kasus tersebut sebelumnya dihentikan oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Ditipideksus) Bareskrim Polri pada 27 Mei 2022 dengan alasan tempus delicti dan locus delicti atau waktu dan tempat kejadian di Singapura.
Pengacara Tony, Heroe Waskito mengatakan akan menyertakan bukti-bukti baru terkait kasus tersebut.
"Kami akan melaporkan kembali ya. Laporan ulang dengan ada bukti baru. Kita akan bawa bukti-bukti baru," kata Heroe kepada Suara.com, 19 Mei 2023.
Di samping berencana melaporkan kembali kasus penipuan ini, Tony menurut Heroe juga akan melayangkan gugatan kepada Richard Mille Asia hingga Indonesia. Proses gugatan perdata rencananya dilakukan setelah proses pidananya berjalan.
Baca Juga: Diduga Ditipu Beli Arloji Mewah Richard Mille Rp 77 Miliar
"Kami juga akan menggugat perdata setelah pidananya ini jalan. RM Asia, RM Hongkong, RM Singapura dan RM Indonesia," ujarnya.
Adapun terkait proses laporan Tony yang sempat dihentikan Bareskrim Polri, Heroe mengaku telah melakukan beberapa upaya. Mulai dari menyurati anggota Komisi III DPR RI hingga Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
"Dalam kasus ini kami telah bersurat ke Komisi III DPR, Kompolnas, Kemenko Polhukam, Mahfud, cc Presiden, Wapres, Kapolri. Pengaduan kami ada tiga kasus yang dialami Tony, termasuk jam RM itu. Kami sampaikan aspirasi terkait penanganan perkara dan pemerasan," jelasnya.
Bahkan menurut Heroe, anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan telah menjalin komunikasi dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terkait penanganan perkara tersebut.
"Hinca sudah mengkomunikasikan ke Kapolri. Kapolri katanya mau dikaji ulang SP3-nya," katanya.
Baca Juga: Laporan Penipuan Tiket Coldplay Ada di Tiga Polda
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat suatu perkara yang pernah dihentikan atau di SP3 bisa saja dilaporkan kembali. Namun dengan syarat, salah satunya melalui gugatan praperadilan.
"Mempraperadilankan SP3 yang sudah dikeluarkan atas kasus tersebut. Putusan praperadilan, memerintahkan membuka kembali dan melanjutkan penyidikan kasus atau nenolak permohonan," jelas Fickar.
Jika hanya serta merta membuat laporan ulang, lanjut Fickar, maka berpotensi akan ditolak. Alasannya, karena suatu perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya atau nebis in idem.
"Kecuali ada yang berbeda dari unsur-unsur tersebut, perkara dengan laporan ulang bisa diproses," ujarnya.
Dugaan Pemerasan
Dalam penanganan laporan Tony ini, sejumlah nama anggota Polri sempat terseret dalam dugaan praktik pemerasan. Salah satunya mantan Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Irjen Pol Andi Rian Djajadi.
Heroe menuturkan dugaan pemerasan ini terjadi ketika laporannya tersebut masih ditangani Dittipidum Bareskrim Polri. Tony disebut Heroe sempat menyerahkan uang dalam bentuk mata uang dolar Singapura sebesar 90 ribu USG.
"Saat itu Dirkrimum, Andi Rian. Tony diajak waktu itu ke ruangan Andi Rian, dan Tony mengasih 90 ribu USG. Nah tapi kasus itu berjalan di tempat," ungkap Heroe.
Selain Andi Rian, anggota polisi yang memeras Tony, yaitu Kombes Rizal Irawan senilai Rp 2,6 miliar dan Kompol Agus Teguh Rp 1,1 miliar. Total semuanya sejumlah Rp 4 miliar.
Karena kecewa, Tony lantas melaporkan dugaan praktik pemerasan ini ke Divisi Propam Polri. Hingga akhirnya beberapa anggota yang terlibat diproses etik.
"Beberapa orang yang terlibat disidang etik dan mengembalikan uang yang sudah diminta itu. Alasannya minta uang itu macam-macam, buat operasionallah dan lain-lain," bebernya.
Hanya saja, lanjut Heroe, beberapa anggota yang sudah dijatuhi sanksi etik berupa demosi justru dipangkas hukumannya. Salah satunya perwira menengah berangkat Kombes berinisial RI yang sebelumnya dijatuhi sanksi demosi 10 tahun.
"Mereka banding, tapi hasilnya demosi itu dikurangi jadi 1 tahun. Kami dengar-dengar intervensi Wakapolri katanya. Kami gak mau tahu, kok bisa orang yang bersalah dan sudah terbukti tiba-tiba dikurangi sanksinya, ini yang buat kami jadi bertanya-tanya," tutur Heroe.
Tak berhenti di situ, Heroe mengaku kecewa karena tak lama dari adanya pengurangan sanksi etik terhadap anggota Polri, laporan Tony kemudian dihentikan. Penyidik saat itu beralasan karena peristiwa tindak pidana tersebut terjadi di Singapura.
"Kami jadi bingung, alasan SP3, locusnya di Singapura. Padahal kita melakukan transaksi pembelian, pemnayaran, nego dan lain-lain itu di RM Indonesia. Ada semua bukti-buktinya," ujarnya.
Sementara Dirtipedeksus Bareskrim Polri Brigjen Pol Whisnu Hermawan mengklaim kasus tersebut dihentikan karena tidak ditemukan adanya unsur pidana. Keputusan ini menurutnya diambil berdasar hasil gelar perkara.
"Belum ditemukan peristiwa pidananya, sehingga demi kepastian hukum perkara tersebut dihentikan proses penyelidikannya," ungkap Whisnu kepada wartawan, Jumat 23 September 2022 lalu.
Koordinasi dengan Itwasum dan Propam
Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas mengatakan akan berkoordinasi dengan Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) hingga Divisi Propam Polri terkait adanya dugaan pemerasan di balik penanganan laporan Tony.
Komisioner Kompolnas Yusuf Warsyim menjelaskan koordinasikan dilakukan untuk mendalami kebenarannya diagram pemerasan yang sempat beredar dan menyeret nama Irjen Pol Andi Rian Djajadi.
"Tentu ini penting untuk didalami dan kita akan mencoba koordinasikan dengan pihak pengawas internal, baik inspektorat pengawasan umum atau terkait pengawasan etika profesi di Propam," kata Yusuf kepada wartawan, Minggu (30/10/2022).
Dalam diagram yang beredar, dugaan pemerasan ini disebut mencapai angka Rp 3,7 miliar. Pemerasan diduga terjadi saat Andi Rian masih menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri.
Sebelumnya, Heroe mangku pihaknya juga telah melaporkan kejadian ini ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Ketua Kompolnas Benny Mamoto juga telah menindaklanjuti laporannya dengan berkirim surat ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
"Dia (Benny) bilang dia sudah berkirim surat ke Kapolri, tapi sampai sekarang tak ada jawaban," ungkapnya.
Suara.com telah berupaya menghubungi Yusuf dan Benny. Namun keduanya tidak merespons saat ditanya terkait hasil koordinasi dengan Itwasum dan Divisi Propam Polri terkait perkara ini.
Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto enggan berkomentar banyak soal adanya dugaan pemerasan ini. Namun dia menyebut ada anggotanya yang telah dihukum oleh Divisi Propam Polri terkait kasus tersebut.
"Tanyakan ke Propam ya, mereka yang periksa dan sudah menghukum. Bahkan ada yang mengembalikan," ujar Agus kepada wartawan, Kamis (27/10/2022).
Agus juga mengklaim tidak mengetahui terkait ada atau tidaknya pemerasan. Jenderal bintang tiga itu lagi-lagi meminta untuk menanyakan langsung ke Propam.
"Saya enggak tahu ada pemerasan atau tidak, silakan dicek saja ke Propam," tuturnya.
Pati Polri yang Terlibat Harus Ditindak
Ombudsman RI meminta anggota Polri yang terlibat melakukan pemerasan tersebut harus ditindak, walaupun ada yang berpangkat perwira tinggi atau Pati.
Komisioner Ombudsman RI, Yohanes Widiantoro mengatakan jika oknum anggota Polri tersebut terbukti melakukan pemerasan, maka sudah semestinya diproses secara hukum dan etik.
"Maka kebenarannya harus segera dibuktikan untuk dapat ditindaklanjuti, sekalipun hal itu menyangkut Pati Polri," kata Yohannes kepada wartawan, Selasa (1/11/2022).
Yohannes juga mengingatkan Tony tak perlu takut membuat laporan. Dia memastikan Ombudsman RI akan menindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya.
"Berbasis laporan tersebut, ORI (Ombudsman RI) akan menggunakan kewenangan yang dimiliki dan menindaklanjutinya. Jika sudah ada cukup bukti, kami juga mendorong internal Polri untuk menginvestigasi dan mengungkap kasus ini ke publik," katanya.
Di sisi lain, Yohannes menilai momentum bersih-bersih yang dilakukan Polri sudah semestinya mendapat dukungan dari semua pihak termasuk masyarakat.
"Kita semua menunggu kesungguhan Polri dalam memperbaiki kinerja dan profesionalitasnya sebagai aparat penegak hukum," tuturnya.
Tak Ada Kaitan dengan Sambo
Dalam kesempatan itu, Heroe juga membantah laporan terkait adanya dugaan pemerasan ini berkaitan dengan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo. Ia menegaskan tak kenal dan tak ada sangkut pautnya dengan terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut.
"Ada dosen PTIK bilang, kasus RM ini untuk mengurangi hukuman mati Sambo. Saya tegaskan tidak ada hubungannya dengan Sambo. Kami dan klien kami tidak mengenal Sambo, tidak ada hubungannya," kata Heroe.
Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic (ISESS), Bambang Rukminto menilai praktik pemerasan yang dilakukan anggota Polri bisa terjadi karena kurangnya pengawasan. Terlebih di tengah kewenangan yang besar dimiliki Polri.
"Penyalahgunaan wewenang terjadi karena kewenangan yang besar tanpa ada kontrol dan pengawasan yang ketat dari lembaga yang bisa memastikan kewenangan tersebut dijalankan secara benar dan bertanggung jawab," kata Bambang.
Menurut Bambang tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem pengawasan Polri kekinian.
"Pengawasan oleh internal Polri itu nonsens karena tidak menutup kemungkinan pengawasnya juga bagian dari yang terlibat dalam penyalah gunaan kewenangan. Dengan sistem yang ada sampai saat ini, tak usah berharap banyak untuk bisa menekan penyalahgunaan wewenang," katanya.
Apalagi, pengawasan eksternal yang bisa dilakukan oleh Kompolnas juga menurutnya terbatas.
"Secara ketatanegaraan, dalam UU 2/2002 Kompolnas adalah pengawas eksternal. Hanya saja dalam UU tsb, kewenangan yg diberikan pada Kompolnas juga sangat terbatas hanya memberi masukan. Makanya perlu revisi UU kepolisian, atau setidaknya political will dari pemerintah (presiden) untuk merasionalisasi kewenangan kepolisian," ungkapnya.
Adapun, upaya lain menurutnya yang bisa dilakukan Polri untuk menekan terjadinya praktik pemerasan yakni dengan memberikan sanksi tegas terhadap anggota yang terlibat. Tidak hanya secara etik, tapi juga pidana.
"Pemerasan dan pengancaman adalah tindak pidana. Bila ingin memberi efek jera, oknum pemeras harusnya diproses pidana dan bila terbukti harus disidang etik dgn merekomendasikan PTDH bagi yang bersangkutan," pungkasnya.