Suara.com - Publik kini dipenuhi oleh rasa khawatir akan ancaman kembalinya Dwifungsi ABRI melalui wacana revisi UU TNI yang tengah digodok oleh internal TNI.
Adapun dalam beberapa pasal di usulan Revisi Pasal 47 Ayat 2 UU TNI, nantinya seorang prajurit aktif dapat memegang posisi strategis di 18 instansi dan lembaga kenegaraan.
Berikut adalah 18 instansi tersebut:
- Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam),
- Kementerian Pertahanan (Kemenhan),
- Sekretaris Militer Presiden,
- Intelijen Negara,
- Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional,
- Dewan Pertahanan Nasional,
- Search and Rescue (SAR) Nasional,
- Narkotik Nasional,
- Mahkamah Agung,
- Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi,
- Kementerian Kelautan dan Perikanan,
- Staf Kepresidenan,
- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
- Badan Nasional Pengamanan Perbatasan,
- Kejaksaan Agung dan kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden.
Publik 'overthinking' Dwifungsi ABRI kembali
Baca Juga: Masih Digodok, Ini 12 Pasal UU TNI yang Diusulkan untuk Direvisi
Berkaca dari beberapa instansi di atas, ada segelintir yang merupakan lembaga sipil yang berada di luar naungan bidang pertahanan dan keamanan.
Sontak, hal itu membuat publik khawatir jika Dwifungsi ABRI akan bangkit dari kuburnya jika Revisi UU TNI akhirnya diteken.
Ketua Centra Initiative Al Araf mensinyalir bahwa rezim Orde Baru akan kembali menunjukkan dirinya di era Reformasi ketika Revisi UU TNI akhirnya diimplementasikan.
Araf lebih lanjut melihat wacana Revisi UU TNI menunjukkan kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara.
Araf juga menegaskan bahwa jabatan yang akan diberikan ke para prajurit melalui Revisi UU TNI akan berujung ke fenomena para anggota TNI yang aktif berpolitik.
Baca Juga: Kontroversi Usulan Revisi UU TNI, Prajurit Aktif Bisa Duduki Lebih Banyak Jabatan Sipil
Padahal Araf menilai idealnya seorang TNI tidak bisa sekaligus menjadi seorang negarawan dan dituntut oleh profesionalisme sebagai seorang penjaga pertahanan negara.
Menelisik sejarah Dwifungsi ABRI
Awal mula Dwifungsi ABRI sebagaimana yang dicatat dalam buku tulisan ilmiah Konsep Dwifungsi ABRI dan Peranannya Di Masa Pemerintahan Orde Baru Tahun 1965-1998 karya Rikan adalah saat masa Abdul Haris Nasution.
Kala itu pada hari peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) Abdul Haris mengusulkan agar seorang prajurit bersenjata bisa turut berkiprah dalam politik.
Abdul Haris berdalih bahwa nasionalisme perlu dipupuk dalam perpolitikan sehingga percaturan politik perlu diisi oleh para prajurit TNI.
Buah dari usulan Abdul Haris tersebut adalah MPRS No. II Tahun 1969 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang mendasari Dwifungsi ABRI.
Sejarah dan masa berganti, Orde Baru akhirnya digantikan dengan Era Reformasi lantaran Dwifungsi ABRI dinilai sebagai salah satu wujud kepemimpinan Soeharto yang bertangan besi.
Lantas, Dwifungsi ABRI juga hilang bebarengan dengan pergantian ke Era Reformasi pasca lengsernya Soeharto pada 1998.
Kontributor : Armand Ilham