Suara.com - Negara dituntut memulihkan aset milik para korban pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966, yang dirampas rezim Orde Baru atas perintah Soeharto.
Menurut sejarawan, pemulihan aset-aset milik korban pelanggaran HAM berat 65-66 tersebut adalah salah satu bentuk pengakuan atas penyelesaian yang tulus mengenai kesalahan negara di masa lalu.
Setelah peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat pada akhir September 1965, orang-orang yang dituduh pimpinan, anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) diburu.
PKI, yang kemudian dibubarkan, saat itu dituduh sebagai dalang peristiwa kekerasan itu, yang disebut sebagai bagian dari upaya kudeta yang gagal.
Sebagian dari mereka lalu dibunuh, dipenjara, dan lainnya dibuang ke Pulau Buru selama belasan tahun tanpa diadili lebih dulu.
Pada saat bersamaan, aset milik mereka - berupa rumah, tanah, hingga kantor - kemudian dilaporkan "dirampas secara paksa" oleh institusi negara, perorangan, atau kelompok.
Kini, setelah Presiden Joko Widodo awal Januari 2023 lalu mengakui dan menyesalkan peristiwa 1965/1966 sebagai pelanggaran HAM berat, muncul desakan dari sebagian keluarga korban agar aset-aset mereka dipulihkan.
Pendiri Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966, Bedjo Untung, mengatakan banyak aset korban yang terdampak tragedi Gerakan 30 September (G30S) dirampas paksa secara langsung maupun tidak langsung, di bawah rezim Suharto.
Salah-satunya adalah sebuah rumah dan tanah seluas 1.400 meter di Cikini, Jakarta, milik mantan Duta Besar Indonesia untuk Romania hingga Vietnam, Sukrisno.
Rumah yang dibeli dengan ‘keringat dan kerja keras’ direbut paksa oleh aparat keamanan, kata anaknya, Siti Sukrisno.
Hal yang sama juga terjadi pada rumah dan seluruh isinya milik anggota DPR pada masa Sukarno berkuasa, Fransisca Fanggidaej dan suaminya, Supriyo, di Tebet, Jakarta.
Ada pula korban lain di Kota Medan, Syofyan Souri Piliang, yang mengaku terpaksa menjual rumahnya demi “membayar kebebasan”.
Kini, Presiden Joko Widodo - atas nama negara - berupaya memulihkan hak-hak para korban 12 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus 1965-1966, tanpa menegasikan penyelesaian jalur hukum.
Presiden lalu membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang menghasilkan belasan rekomendasi.
Anggota Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM mengatakan, sedang melakukan tahap identifikasi dan pengkajian atas korban seluruh peristiwa pelanggaran HAM berat, termasuk Peristiwa 1965, di mana aset-aset korban menjadi salah satu bagian yang tengah dikaji.
Dalam liputan kali ini, BBC News Indonesia mewawancarai keluarga korban Peristiwa 1965, di antaranya di Jakarta dan Belanda, yang aset-asetnya dirampas.
Rumah 'cinta kasih'
Suaranya berubah menjadi tinggi dan terisak-isak saat mengenang kembali memori bahagia yang terjadi di sebuah rumah yang terletak di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, sebelum Peristiwa 1965.
Dia adalah Siti Sukrisno, putri ketiga dari empat saudara, anak Duta Besar Indonesia untuk Romania hingga Vietnam, Sukrisno, di masa Orde Lama.
“Yang paling teringat dari rumah itu adalah cinta kasih Bapak dan Ibu kepada kami. Maaf saya emosional. Bapak kalau ada waktu kosong sering membawa kami ke Tanjung Priok [pantai],” kata Siti kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, melalui sambungan telepon.
“Saya juga selalu menemani Ibu yang suka berkebun, menanam pohon mangga yang manis sekali, jambu klutuk, alpukat, pisang dan banyak bunga,” tambahnya.
Ketika ada pohon yang berbuah di rumah itu, Siti yang saat itu berusia 12 tahun mengenang, dia selalu memanjat dan memakan buahnya di atas pohon, usai pulang sekolah yang hanya dengan berjalan kaki.
Siti mengatakan, rumah yang terletak di Jalan Kebon Binatang 1 (kini berubah menjadi Jalan Cikini 2) itu memiliki luas 1.400 meter persegi dengan beberapa bangunan.
Bangunan utama adalah tempat tinggal mereka. Di belakangnya ada bangunan untuk para mahasiswa yang belajar di Jakarta, dan satu lagi bangunan untuk keluarga yang berkunjung.
Terusir dan dirampas rezim Soeharto
Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat. Pada akhir September 1965, terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat.
Sesuda peristiwa itu, orang-orang yang terafiliasi dengan Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dipenjara hingga dibunuh. Itu pula yang menimpa keluarga Sukrisno, yang dikenal dekat dengan Sukarno.
Saat tragedi itu, Siti, ibunya, dan ketiga saudaranya tinggal di Cikini. Sementara Sukrisno tengah bertugas sebagai Duta Besar Indonesia di Vietnam.
Siti, kini berusia 70 tahun, mendengar ibunya mengatakan di pedesaan warna sungai “sudah menjadi merah dan banyak mayat mengambang”.
Kemudian, kata Siti, ibunya menghubungi seorang jenderal angkatan udara yang kemudian meminta mereka untuk segera meninggalkan Indonesia.
Beberapa bulan kemudian, sekitar Januari 1966, Siti dan keluarganya terbang ke tempat ayahnya di Vietnam.
“Kata kakak mama saya, 'Untung kita sudah keluar karena setelah itu pintu gerbang Indonesia sudah ditutup, orang tidak boleh keluar',” ujar Siti.
Sementara di Hanoi, kenang Siti, ayahnya bercerita bahwa seorang diplomat Inggris mengatakan, "satu juta orang terbunuh di Indonesia".
“Sukrisno pun kemudian mengirim surat protes ke Suharto, yang intinya, ‘jika PKI salah diseret ke pengadilan, jangan dibunuh seperti itu’,” kata Siti.
Atas surat itu kata Siti, Suharto memerintahkan Menteri Luar Negeri Adam Malik untuk memanggil pulang Sukrisno ke Indonesia.
“Bapak saya tahu watak Suharto, kalau pulang pasti masuk penjara. Bapak saya tidak mau. Setelah itu, paspor bapak tidak diperpanjang, dan kami sekeluarga jadi eksil,” ujarnya.
Sementara rumah Sukrisno di Cikini, yang dijaga oleh adik ibunya, direbut paksa oleh aparat keamanan. ”Masih ada saya simpan surat perintah pengosongan rumah itu," kata Siti.
Usai dirampas, Siti mendengar, bahwa rumah itu kemudian dijual ke seorang perwira militer, hingga akhirnya sekarang menjadi kantor perwakilan suatu pemerintah provinsi.
Hidup nomaden
Siti menjelaskan, keluarganya hanya berkumpul dua minggu di Hanoi, yang dibombardir oleh pasukan Amerika Serikat saat Perang Vietnam. Mereka kemudian lari ke China.
“Kami ke Peking, supaya anak-anak bisa sekolah di KBRI. Sampai akhirnya bapak saya di-persona non grata [tidak diinginkan], dipecat dari Dubes, dicabut paspor. Lalu kami jadi eksil 15 tahun di Peking [Beijing],” kenang Siti.
“Bukan hanya kami yang mengalami ini. Banyak mahasiswa dari Rusia, dan negara lain ke China karena tidak ada paspor, cuma China yang menerima kami,” katanya.
Perbaikan hubungan China dan Indonesia di tahun 1980-an, membuat Siti dan keluarganya harus mencari tempat baru, “secara halus, kami diminta keluar”.
“Lalu atas bantuan temannya, bapak ke Belanda dan kami lalu menyusul ke sana. Hingga bapak dan ibu meninggal di Belanda, dan saya sekarang tinggal di Belanda,” katanya.
'Rumah itu hasil kerja keras'
Selama menjadi orang yang terusir dari 'tanah dan rumah' sendiri, Siti bercerita bahwa ayahnya selalu membicarakan tentang rumahnya di Cikini.
Siti yang lahir di rumah itu bercerita, rumah peninggalan orang Belanda itu dibeli oleh ayahnya sekitar tahun 1950-an.
Selama tinggal di Belanda, kata Siti, ayahnya mulai mengurus tanah dan rumah di Cikini yang dirampas rezim Suharto.
Mereka menghubungi pengacara terkenal, Dubes Indonesia di Belanda, Presiden Gus Dur, hingga menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo.
Siti mengatakan, ayahnya memiliki dokumen lengkap kepemilikan rumah di Cikini itu, namun semua upayanya tidak menunjukkan hasil.
“Saya selalu teringat. Bapak selalu bilang ke saya, ‘itu rumah saya dapat setengah mati, kerja keras, susah payah dengan keringat saya, tidak gampang saya dapat’. Bapak saya tidak rela,” katanya.
“Bapak meninggal tahun 1999, saya ingat terus omongan bapak, saya teruskan usaha itu. Saya berjuang bukan karena uang. Saya sudah kaya di sini. Saya dokter di Belanda, saya tidak butuh uang. Ini demi bapak dan wasiatnya, serta menunjukkan bagaimana jahatnya rezim Suharto itu.”
Dia berharap agar Pemerintah Jokowi melalui upaya yang dilakukan akan mengungkapkan kebenaran atas Peristiwa 1965 dan memberikan pemulihan hak korban.
'Selamat saja sudah baik'
Nusa Eka Indria, 67 tahun, adalah satu dari tujuh anak Francisca Fanggidaej, anggota DPR Gotong Royong yang ditunjuk Presiden Sukarno dari wakil golongan wartawan sejak 1957.
Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Francisca terlibat aktif memperjuangkan kemerdekaan dalam diplomasi di pelbagai forum internasional.
Namun, peristiwa G30S membalikkan keadaan keluarga Fransisca.
Nusa dan saudaranya terusir dari rumah di Tebet Timur, Jakarta, dan puluhan tahun tidak bertemu dengan ibunya yang menjadi eksil di Belanda.
Lalu, ayahnya- Supriyo, jurnalis kantor berita Antara- dipenjara.
“Tahun 1963 atau 1964, Mama tugas dinas luar negeri, lalu semenjak itu tidak pulang. Anak-anak masih tinggal sama Bapak tahun 1965, lalu Bapak ditangkap dan tidak pulang. Lalu kami dibawa mengungsi ke rumah adik Mama di Bukit Duri [Jakarta],” kata Nusa.
“Waktu itu kita meninggalkan [rumah dan semuanya] begitu saja, tidak bawa apa-apa. Saat itu ada juga mobil, dan barang-barang berharga yang penuh kenangan,” katanya.
Itu adalah kali terakhir dirinya menginjakan rumah itu hingga sekarang.
Selama perjalanan hidup sebagai orang yang dicap “PKI”, Nusa menjalani hidup dengan berpindah-pindah dan 'dihujani' oleh stigma hingga diskriminasi.
“Jangankan berpikir rumah itu, selamat saja sudah baik, sudah syukur. Untung tidak ditembak, untung tidak dibunuh. Keluarga juga tidak pernah memperjuangkan rumah itu. Kami kalau sudah bersinggungan dengan yang berkaitan dengan mama, itu trauma,” katanya.
“Keinginan memperjuangkan hak kami [aset orang tua] itu ada, tapi sudah saya anggap tidak mungkin."
"Jadi lebih baik kerelaan dan keikhlasan pemerintah memberikan kompensasi ke korban. Tapi apakah mungkin? Karena kalau sudah melakukan itu berarti ada pernyataan maaf, tapi saya masih tidak yakin, karena ini hanya lip service,” katanya.
Peristiwa berdarah G30S 1965 memisahkan Francisca Fanggidaej dari anak-anaknya yang masih bocah, karena dia tidak dapat pulang setelah paspornya dicabut.
Pada 1964, sebagai anggota DPR-GR di Komisi Luar Negeri, dia ikut rombongan Presiden Sukarno untuk menghadiri persiapan Konferensi Asia Afrika ketiga di Aljazair.
Dia kemudian terbang ke Helsinki untuk menghadiri Konferensi Perdamaian Sedunia pada 1965.
Tidak lama kemudian, Francisca menghadiri kongres Organisasi Jurnalis Internasional di Chile, 28 Oktober 1965. Sejak saat itulah dia tidak pernah bisa pulang ke Indonesia setelah meletus G30S.
Kemudian dia menghadiri Konferensi Trikontinental di Havana, Kuba, pada Januari 1966. Paspornya sudah dianggap tidak berlaku mulai saat itu.
Beberapa catatan menyebutkan, dia lantas berpindah-pindah dari Kuba, China (selama 20 tahun), hingga mendarat di Belanda pada 1985, dengan menggunakan paspor sementara dari Kuba, pemberian Fidel Castro.
Menjual rumah demi ‘membayar kebebasan’
Syofyan Souri Piliang adalah mantan Ketua dari Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) di Sumatra Barat, organisasi mahasiswa yang terafiliasi dengan PKI.
Peristiwa 1965 membuatnya menyelamatkan diri ke Medan, Sumatra Utara. Sekitar lima tahun dalam pelarian, Syofyan memutuskan menikah dan mampu membeli rumah.
Namun, kehadirannya diketahui dan dia ditangkap oleh militer, lalu dijebloskan ke kamp tahanan di Jalan Gandhi, Medan – tempat penyiksaan dan penahanan untuk orang PKI.
“Saya menjual rumah, demi membayar kebebasan. Uangnya untuk tebus saya di dalam. Lalu, saya dapat wajib lapor dua kali tahun pertama hingga ketiga. Lalu setiap melapor bawa dua bungkus rokok Commodore,” katanya.
Syofyan mengatakan, Peristiwa 1965 menyebabkan banyak temannya yang mengalami kekerasan dan pembunuhan, serta harta mereka dirampas, “saya ingat saat itu tidak ada hukum. Lebih berharga nyawa ayam dari manusia,” katanya.
“Namun satu persatu mereka sudah meninggal, tinggal saya dan satu orang lagi,” katanya yang kini berumur 81 tahun.
Pepesan kosong rezim Jokowi?
Bedjo Untung dari YPKP mengatakan, pengalaman itu hanyalah beberapa dari banyak aset korban - terafiliasi atau dituduh terkait PKI - yang dirampas paksa.
“Ada lagi aset ayah angkat saya di Jalan Proklamasi, Jakarta, lalu aset Ibu Sulastri di Jawa Timur, lalu aset di Kramat Raya, belum lagi kantor-kantor Komite Subseksi (CSS) PKI di banyak tempat. Jadi memang motifnya perampasan dan perampokan,” kata Bedjo.
Untuk itu, Bedjo menjelaskan, jika Presiden Jokowi ingin memulihkan korban pelanggaran HAM berat, seperti Peristiwa 1965, pemerintah pertama-tama harus secara terbuka mengumumkan ke depan publik bahwa terjadi distorsi sejarah, di mana PKI dituding sebagai "biang kerok" atas pembunuhan para jenderal.
“Sampai sekarang Peristiwa 1965 adalah [disebut] gerakan pemberontakan PKI, dan itu tidak benar saya sampaikan, pelurusan sejarah itu pertama yang harus diungkapkan. Kemudian adalah aset-aset korban yang dikuasai tentara dan negara yang belum dikembalikan sampai sekarang. Kalau ini semua tidak jelas, sama saja dengan pepesan kosong,” katanya.
Bedjo juga mengkritik penyelesaian secara nonyudisial yang tercantum dalam Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, yang kemudian diturunkan dalam Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2023 tentang pelaksanaan penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat.
“Setelah saya pelajari, sangat-sangat tidak jelas. Jadi seolah-olah kami para korban dianggap tidak ada. Ini pemulihan yang mana? Kembalikan hak-hak kami, martabat kami, harta kami, itu baru namanya pemulihan,” katanya.
Perampasan aset, strategi menghancurkan PKI
Sejarawan dari Universitas Nasional, Jakarta, Andi Achdian, mengatakan, pascaperistiwa 1965, segala aset yang terafiliasi atau dituduh terkait dengan PKI dirampas paksa oleh rezim Soeharto, dari harta individu hingga organisasi.
Andi mengatakan, perampasan aset terjadi secara terstruktur dan masif, dari desa hingga perkotaan, yang dilakukan oleh oknum aparat secara individu hingga diklaim milik negara.
“Di desa, sawah, tanah dirampas, dan jika menolak mereka dibunuh. Orang yang dianggap pro komunis membayar keselamatan mereka dengan memberikan aset yang dimiliki. Mereka jatuh miskin, sebaliknya aparat menjadi kaya raya. Jadi dari level bawah sampai atas, terstruktur dan masif,” katanya.
Perampasan aset, kata Andi, merupakan strategi untuk melemahkan kekuatan dan pengaruh PKI, serta menebarkan rasa ketakutan di masyarakat.
“Kalau Anda tidak punya aset, tidak punya modal, dan tidak punya kekuatan politik. Pengambilalihan secara paksa adalah strategi terstruktur dan masif untuk menghancurkan PKI secara sistematis dan gerakan komunis saat itu,” katanya.
Andi menambahkan, pemulihan aset korban Peristiwa 1965 akan sulit dilakukan karena banyak pihak yang menikmati hasil dari kejahatan tersebut. Ditambah lagi, aset tersebut telah dimiliki pihak lain dan juga memiliki nilai yang sangat tinggi.
“Jadi membuka celah itu sama saja menghilangkan kenikmatan yang telah mereka nikmati dalam beberapa dekade, kesulitannya memang bisa dipahami, tapi itu harus diperjuangkan, hak legal seseorang tidak boleh dirampas dengan alasan apapun juga,” katanya.
Belum ada data pasti berapa jumlah “simpatisan Komunis” yang ditangkap dan ditahan tanpa adanya proses hukum, tetapi diperkirakan dapat mencapai 1,7 juta orang.
Menurut Amnesty International, “...lebih dari 1 juta orang ditahan dan ratusan ribu lainnya ditahan tanpa dakwaan resmi maupun disidangkan selama lebih dari 14 tahun..."
Pemulihan aset, pengakuan tulus
Untuk itu, Andi mengatakan, pemulihan aset korban Peristiwa 1965 merupakan bentuk ‘pengakuan atas penyelesaian yang tulus’ atas kesalahan masa lalu.
“Pemulihan aset adalah bentuk pengakuan setulus-tulusnya terhadap kesalahan masa lalu, jadi tidak setengah-setengah. Mungkin itu susah dan sulit tapi kalau itu dilakukan ada komitmen besar dan tulus untuk melakukan rekonsiliasi,” katanya.
“Selain hak sipil dan politiknya dirampas dan dihilangkan, mereka mendapatkan juga hak ekonomi yang privatnya yang hilang juga pada saat 1965.”
Namun pemulihan aset harus didahului dengan adanya pengakuan terhadap korban sebagai subjek hukum yang harus diutamakan.
Ditambah lagi, kata Andi, perlu adanya pelurusan sejarah, terutama peristiwa kekerasan yang terjasi setelah pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya.
“Harus dilakukan penulisan sejarah baru, jadi kita melihat dalam pembunuhan para jenderal tapi kita juga melihat ada tragedi lain kekerasan antikomunis yang besar di Indonesia,” katanya.
Identifikasi dan kajian
Apakah pemulihan aset korban pelanggaran HAM berat lalu, seperti Peristiwa 1965, menjadi salah satu prioritas pemerintah? Anggota Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, saat ini tim masih dalam tahap identifikasi dan kajian.
“Artinya, identifikasi apa saja kebutuhan korban, dalam hal ini tentu saja korban seluruh peristiwa pelanggaran HAM berat, termasuk juga 1965.
"Yang kedua, terkait aset-aset eksil ini kan bukan hanya aset eksil saja, tapi juga banyak aset yang lain, artinya itu menjadi kajian di kami, bagaimana penyelesaiannya,” kata Beka.
“Kenapa? Karena tentu saja ini kaitan erat, bukan hanya soal korban dengan pelaku dan tanggung jawab negara, tapi juga bagaimana kemudian soal dokumen legal, soal tentang kesaksiannya, pembuktiannya segala macam. Ini yang masih menjadi kajian gitu, artinya memang tidak sesederhana itu,” tambahnya.
Beka menambahkan, Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM juga menerima keluhan dari korban yang asetnya dirampas saat pelanggaran HAM berat lalu, “Tapi bagaimana kemudian nanti penyikapannya, seperti apa kebijakannya, strateginya apa, ini yang sedang kami kaji,” kata Beka.
Sebelumnya, pada Rabu (11/01), Presiden Joko Widodo, sebagai kepala negara, mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya Peristiwa 1965-1966, usai menerima laporan Tim Pelaksana PPHAM yang melahirkan setidaknya 11 rekomendasi.
Jokowi pun berkomitmen bahwa pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian jalur hukum.
Perintah Jokowi tercantum dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomenasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Dalam Inpres itu, presiden memerintahkan 16 menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri untuk melaksanakan belasan rekomendasi TPPHAM yang sebagian besar merinci bentuk-bentuk pemulihan kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu.