Suara.com - Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, melemparkan kritik terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang dinilai belum paham untuk menjadi seorang negarawan. Ia meminta Jokowi belajar dari Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sukses sebagai seorang negarawan dan demokratis sejati.
Hal itu disampaikan Kamhar lantaran Jokowi dianggap masih terlibat terlalu jauh dalam Pilpres 2024.
"Kasak-kusuk Presiden Jokowi pada pengkondisian pencalonan pasangan tertentu dan upaya menjegal paslon yang tak dikehendaki menjadi tanda ia tak memiliki komitmen terhadap demokrasi dan jiwa politik kenegarawanan," kata Kamhar kepada wartawan, Selasa (9/5/2023).
Menurutnya, sejarah akan mencatat hal tersebut sebagai legacy yang buruk dalam perjalan demokrasi bangsa Indonesia pasca reformasi.
Baca Juga: Program Jokowi yang Terancam Mandeg Jika Anies Baswedan Jadi Presiden
Ia mengatakan, menjadi negarawan berarti menjadikan kepentingan rakyat, bangsa dan negara sebagai yang utama dan diutamakan. Bukan kepentingan golongan atau kelompok tertentu saja.
"Menjadi negarawan berarti menjadi petugas rakyat, bukan petugas partai. Seorang negarawan dan demokratis sejati senantiasa menjadikan daulat rakyat yang dipedomani dan dilayani, bukan daulat tuan," tuturnya.
Untuk itu, kata dia, pihaknya mengingatkan kepada Jokowi untuk belajar dari SBY pada 2014 yang lalu, berhasil menjaga kualitas pemilu yang berlangsung secara demokratis.
"Tak kan lelah kami mengingatkan Pak Jokowi untuk belajar dari Pak SBY pada 2014 yang lalu, berhasil menjaga kualitas pemilu yang berlangsung secara demokratis. Alhamdulillah sukses tercatat dengan tinta emas dalam sejarah sebagai seorang negarawan dan demokratis sejati," pungkasnya.
PDIP Bantah
Baca Juga: Gibran Rakabuming Unggah Foto Keluarga Nyeleneh, Netizen: Kayak Alien
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, mengatakan, bahwa Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi tidak bertentangan atau tidak salah mengumpulkan enam ketua umum partai parlemen pendukung pemerintah di Istana beberapa waktu lalu.
Hal itu disampaikan Hasto menanggapi pernyataan beberapa pihak yang menganggap Jokowi terlalu cawe-cawe untuk urusan pencapresan sampai kepala negara mengundang enam ketua umum parpol.
"Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ini sebagai suatu proses dialog yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokratis, mengingat rakyat, lah, yang menjadi pemegang kedaulatan tertinggi," kata Hasto ditemui di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Senin (8/5/2023).
Hasto menyampaikan, Jokowi sebenarnya berdialog soal tantangan bangsa ke depan dalam pertemuannya dengan enam ketum parpol dan pembicaraan hal itu tidak dilarang dalam negara demokratis.
"Jadi, yang disampaikan Presiden Jokowi pada pertemuan dengan enam ketua umum partai politik itu menyampaikan suatu tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa ini ke depan dan kemudian juga bagaimana tantangan dari aspek demografi, tantangan dari pertarungan hegemoni, bagaimana dengan pencapaian yang telah dilakukan oleh Bapak Presiden Jokowi," tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, Jokowi tidak sama sekali menyinggung tentang politik praktis saat bertemu enam ketum parpol, termasuk upaya pemaksaan berkaitan pencapresan.
"Bukan upaya dalam tanda petik suatu pemaksaan konsolidasi partai politik yang menyampaikan gambaran tantangan, sehingga ini menciptakan suatu gambaran dari ketua umum partai politik terhadap apa tantangan yang dihadapi bangsa ini ke depan," tuturnya.
"Dan bagaimana apa yang sudah dicapai Presiden Jokowi dapat berkesinambungan ke depan, sehingga tidak ada suatu intervensi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi," sambungnya.