Suara.com - Yang tersisa dari Panti Jompo Waluya, rumah penampungan eks tahanan politik atau tapol pemerintahan orde baru di Jalan Kramat V, Senen, Jakarta Pusat. Rumah reyot itu kini sepi, penguhuninya cuma tersisa Tumiso, laki-laki 90 tahun. Jurnalis Suara.com Rakha Arlyanto berkesempatan memotret kondisi panti eks tapol tersebut.
BEGITU tegukan terakhir es teh manis habis, aku langsung tancap gas sepeda motor menuju ke kawasan Senen, Jakarta Pusat. Terik matahari terasa menyegat dikulit. Polusi emisi dan hingar bingar suara kendaraan di jalan membuat siang itu, Selasa 18 April 2023, terasa berat.
Setiba di Jalan Kramat Raya, aku langsung belok kiri ke arah Jalan Kramat V beberapa puluh meter. Di depan sebuah warung kelontong aku berhenti lalu bertanya kepada pedagangnya.
"Mbak, ini rumah masih ada yang jaga?".
Baca Juga: Denny Siregar Singgung Soal Upaya Mengkaburkan Jejak Rezim Orde Baru: Target Mereka Pemilih Muda
"Masih kok mas. Kayaknya lagi di dalam. Memang sepi".
Motor aku parkirkan di sisi Jalan Kramat V tepat di bawah pohon mangga.
Aku melangkah ke sebuah rumah tua. Dari balik pagar aku menyapa seorang laki-laki tua sedang berbaring di sebuah sofa panjang berwarna hitam di beranda.
"Siang pak, maaf, apakah ini benar Panti Jompo Waluya?"
Laki-laki tua itu spontan duduk bersandar di sofa hitam termakan usia yang tampak berdebu itu. Dia cuma mengangguk sambil memandangku.
Baca Juga: Ariyanto Pemuda Onani di Gang Sempit Kemayoran Ditangkap, Ngaku ke Polisi Ingin Melampiaskan Nafsu
Aku kemudian membuka pagar dan duduk di sofa reyot di samping laki-laki tua itu. Menghela napas sejenak, lalu memperkenalkan diri. Suasana panti terasa sunyi dan hening.
"Mbah sendiri di sini? Pengurusnya mana?"
"Ndak ada," jawab laki-laki tua itu dengan nada terbata-bata.
"Siapa?" sambil mengarahkan telunjuk kanannya ke arahku.
"Saya Tumiso," ucapnya memperkenalkan diri.
Laki-laki 90 tahun itu tiba-tiba berdiri, mengajak masuk ke dalam panti. Aku melewati sebuah koridor hingga ke ruang tengah. Bau obat-obatan menjadi aroma paling dominan.
Di area ruang tengah langsung tembus ke bagian dapur, di sini terdapat sebuah meja makan panjang dan sebuah rice cooker dalam kondisi menyala.
Aku sempat menoleh sedikit ke beberapa kamar di panti hingga akhirnya kami berdua kembali duduk di sofa reyot tadi.
"Mbah asalnya dari mana?" tanyaku.
"Surabaya," kata Tumiso.
Tumiso sama sekali tak ingat kapan pertama kali datang ke Panti Jompo Waluya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil menatap dinding panti yang kusam.
"Sudah tidak ada siapa-siapa di sini. Saya sendiri," ucap Tumiso.
Aku lalu menoleh ke arah pagar, ada seorang pria masuk dan membawa sebuah kresek berisi makanan.
"Monggo mas, lanjut saja," ucap pria itu sambil berjalan menuju lorong panti.
Dia adalah Heksa. Laki-laki 63 tahun, anak seorang eks tahanan politik (tapol) yang pernah dibuang ke Pulau Buru.
Mimpi ke Jepang
Tahun 1970, situasi politik di Tanah Air masih panas. Setiap orang yang disinyalir bersimpati pada PKI dan Soekarno digelandang dan dijebloskan ke penjara tanpa diadili. Salah satunya adalah Yadi, ayah dari Heksa.
Kala itu, Heksa masih berumur 7 tahun saat ayahnya dibawa sekelompok tentara. Yadi bukan PKI maupun simpatisannya. Dia hanya seorang pengurus PNI, partai yang didirikan oleh presiden pertama republik ini.
Bekerja di pabrik semen ternama di Kota Gresik, membuat Yadi bisa memfasilitasi massa PNI di aula pabrik. Hal itu yang pada akhirnya membuat Yadi masuk dalam daftar merah pemerintahan orde baru.
Dalam rentang waktu lima tahun, Yadi sempat merasakan udara di tiga penjara berbeda. Mulai dari Penjara Koblen, Penjara Kalisosok hingga Sel tahanan Nusa Kambangan. Pada akhirnya, pemerintah memutuskan untuk mengasingkan Yadi ke Pulau Buru.
Masih jelas di ingatan Heksa, pada saat ia baru saja rampung mengikuti kegiatan olahraga, empat orang tentara bersama pamannya tiba-tiba datang menjemputnya di sekolah.
Sudah lima tahun Heksa tidak berjumpa dengan sang ayah pasca penangkapan tahun 1965. Sementara sang ibu, masuk dalam daftar pencarian orang atau DPO.
Selama itu pula Heksa kecil tidak mendapat kasih sayang kedua orang tuanya. Ibunya kabur dan bersembunyi di berbagai daerah. Majene, Pare-pare dan Jakarta menjadi kota yang sempat disinggahi ibu Heksa dalam pelarian pemerintahan otoriter kala itu.
Yang Heksa tahu, ayahnya sedang melanjutkan pendidikan ke Jepang. Setidaknya hanya itu yang disampaikan oleh bibi Heksa mengenai sang ayah.
Sejurus dengan itu, segerombol tentara bersama paman Heksa mengabarkan bahwa ia akan diberangkatkan ke Jepang menyusul sang ayah.
"Bud," begitu panggilan akrab Heksa. "Kowe arep diterke nyusul bapakmu neng Jepang," ucap sang paman.
Yang terlintas di benak Heksa hanya perjumpaan dengan sang ayah dan negeri Jepang nun jauh. Buru-buru Heksa dibawa oleh para tentara ke sebuah gedung di Jalan Garnesun, Surabaya. Kakak dan adik Heksa menyusul tak lama.
Ternyata, tidak hanya keluarga Heksa yang ada di sana. Sejumlah orang dari berbagai daerah macam Ngawi dan Madiun juga berkumpul di tempat yang sama.
Pukul 01.00 dini hari, entah dari mana Ibu Heksa menyusul. Sang ibu membawa sebuah koper seperti baru saja melakukan perjalanan jauh.
Rombongan bus membawa Heksa beserta yang lainnya menuju Wonokromo hingga Pelabuhan Tanjuk Perak. Dari sini, perjalanan panjang itu dimulai.
Mimpi Buruk di Buru
Desember 1970, Kapal KRI Teluk Saleh membawa Heksa dan keluarganya berlayar. Yang ada di benak Heksa, hanya hamparan taman dengan bunga sakura.
Kapal KRI Teluk Saleh membawanya mengarungi lautan selama delapan hari. Sampai di Teluk Kaiely, jangkar diturunkan. Para penumpang tidak lantas langsung diturunkan dari kapal.
Acara pisah sambut diadakan di geladak kapal. Tidak ada rasa cemas dan takut bagi Heksa kecil. Sebab, selama di perjalanan, dia hanya menikmati tontonan film seperti kartun Popeye, acara musik, dan makan roti susu.
Malam itu merupakan malam yang paling berkesan bagi Heksa. Para penumpang dengan raut wajah sumringah menanti tanah Jepang yang ada di depan mata. Ketika matahari menyingsing, para penumpang diminta turun dari KRI Teluk Saleh.
Sejumlah orang sudah menunggu mereka di pelabuhan. Heksa lalu digendong oleh pria bernama Jaljono. Ibunya tidak mengucapkan sepatah kata pun soal Jepang dan sekumpulan orang yang ada di pelabuhan.
Heksa dan keluarga kemudian jalan kaki sekitar 3,5 Km menuju sebuah perkampungan dan bertemu sang ayah. Heksa ditempatkan di sebuah rumah yang tampak baru saja direnovasi. Kampung itu bernama Savana Jaya.
Satu pekan berlalu, Heksa kecil mengisi hari hanya dengan bermain. Sampai sekelompok orang memprotes aturan untuk bekerja di sawah. Sejak itu, Heksa sadar bahwa dia tidak berada di Jepang. Melainkan sebagai tahanan politik pemerintah orde baru mengikuti jejak sang ayah.
Pemandangan tentara di sana sini, awalnya membuat Heksa percaya sedang berada di Jepang. Apalagi, dengan mata kepalanya, Heksa melihat tentara berkali-kali menyiksa orang di tempat terbuka.
Pada 1972, lulus pendidikan sekolah dasar, Heksa melanjutkan jenjang sekolah menengah pertama di Namlea, Buru. Ia ditempatkan di Wisma Kartini oleh pihak gereja yang membiayai sekolahnya.
Tak sampai setahun, Heksa dikeluarkan dari asrama lantaran kedapatan berkelahi dengan teman sekelasnya. Dia menghajar mata lawannya hingga bengkak lantaran tidak terima diejek sebagai komunis.
Perkelahian itu rupanya sampai ke kuping tentara. Heksa pun dipanggil. "Kamu mau dipenjara? Sana masuk dulu ke penjara," ujar seorang tentara Koramil kepada Heksa.
Dia disiksa dengan cara kuku jempol kakinya dijepit sebuah kursi kayu hingga kukunya copot dan wajahnya dipukul sampai beberapa giginya rontok. Penyiksaan itu menjadi kenangan terakhirnya dihajar tentara.
Dari situ, Heksa diangkat anak oleh seorang pria yang berasal dari Ternate. Pria tersebut merupakan ayah dari teman sekolahnya. Masih di Namlea, Heksa mengambil sekolah pendidikan guru. Iapun tinggal bersama ayah angkatnya.
Hanya setiap libur semester, Heksa menyempatkan waktu pulang ke Savana Jaya.
Prasasti Luka
"Makan dulu mbah. Nek ndak maem ndak iso minum obat".
"Ndak, ndak".
Heksa bercerita jika Tumiso baru saja mengalami kecelakaan pada November 2022 lalu. Kepala Tumiso terbentur ke aspal saat hendak turun dari Bus TransJakarta. Kecelakaan itu membuat Tumiso sedikit lupa tentang apa yang baru saja ia lakukan.
Tumiso menjadi orang langganan yang suka mampir ke rumah Heksa saat masih berada di Pulau Buru. Maklum, ayah Heksa merupakan seorang kepala desa Savana Jaya. Sialnya Tumiso, dia ditempatkan di Unit 15 yang memiliki penjagaan amat ketat oleh tentara. Tapi dia tak gentar. Berkali-kali dia disiksa, membuatnya justru semakin mengenal kebiasaan para prajurit.
Tumiso dan kawan-kawannya secara sukarela menawarkan diri mencuci seragam tentara. Di antara seragam yang bau dengan keringat, para tentara menyelipkan makanan seperti kacang, daging sapi dan beras.
Makanan selundupan itu yang kemudian kerap dibawa Tumiso ketika berkunjung ke Savana Jaya. Tak sampai di sana, kedekatan Tumiso dengan tentara membuatnya punya akses khusus untuk melenggang masuk ke kampung-kampung. Kadang kala, Tumiso diajak para tentara berburu kembang desa.
Kehidupan di Savana Jaya, kata Heksa, terasa begitu lama. Oleh karena itu, ia memilih tinggal di Namlea. Pernah ada seorang tentara yang menempelengnya, karena merasa iri saat memancing tidak mendapat ikan.
"Pas saya mancing dekat tentara, tapi nggak pernah dapat-dapat. Saya sering dapat, dia marah-marah," tutur Heksa. Bukan cuma ditempeleng, ikan hasil tangkapan Heksa ikut diambil tentara tersebut.
Masih ingat betul Heksa dengan nama seorang tentara yang sering memukul anak di Savana Jaya. Tentara itu bernama Sanusi. Heksa dan anak-anak di kampung suka dipukul lantaran lupa memberi hormat saat tentara lewat.
"Duh kalau nyiksa. Bagaimana mencari kesalahan itu, dia itu kalau nggak mukul gitu, tangannya gatal," ucap Heksa.
Di lain kesempatan, Heksa pernah merasakan pedihnya cambuk rotan dan ekor ikan pari sesuai menari bersama teman-temannya. Para tentara merasa tidak terima dengan tarian yang ditampilkan karena dianggap melecehkan lambang negara burung Garuda.
Kendati begitu, ingatan Heksa tidak sebatas tentang penyiksaan dari para tentara. Masih ada tentara yang baik dan suka memberi permen untuk anak-anak di Savana Jaya.
Saat Heksa dan teman-temannya sedang menonton di balai desa, Hamid, nama tentara itu memanggil dan membagikan permen dan buku tulis.
"Namanya tentara itu juga manusia, ada yang galak ada yang baik," ucapnya.
Di sela sesi wawancara, Heksa sempat menunjukkan sejumlah luka yang dialami sewaktu masih tinggal di Pulau Buru. Di bagian kepalanya tampak beberapa bekas luka jahitan akibat pukulan benda tumpul. Di wajah sisi kirinya, juga tampak segumpal daging bekas luka pukul dan giginya yang ompong di masa senjanya kini.
"Ini tuh, biar ndak saya tutupin. Biar jadi prasati," kata Heksa.
Bekerja Bareng Pramoedya
Pada 1977, Heksa ikut ke kampung halaman ayah angkatnya di Ternate. Dia berkenalan dengan seorang anak buah kapal bernama Umar. Keinginan hati Heksa untuk kembali ke tanah Jawa muncul.
"Apa nggak mau pulang ke Jawa? Mumpung ada kapal yang mau ke Jawa?" kata Umar kepada Heksa.
Mimpi pulang ke Jawa itu pun diceritakan Heksa ke ayah angkatnya setelah pulang ke Namlea.
"Ayah aku mau ikut kakak Umar ke Jawa".
"Benar? Tahu nggak nanti kalau pulang ke Jawa?".
"Tahu, orang Surabaya wong saya suka ngeluyur dulu".
Tiga tahun berjalan, Heksa kembali ke pelabuhan dan menemui Umar. Kali ini rencananya sudah bulat.
"Umar titip anakku Jawa ini," ujar ayah angkat Heksa.
Dengan mengantongi uang Rp 150, Heksa berlayar pulang ke Surabaya. Rupanya, perjalanan itu belum mendapat restu dari keluarga di Savana Jaya.
Singkat cerita, Heksa tiba di Pelabuhan Tanjung Perak. Dia naik sebuah bus jurusan dalam kota mencari sebuah patokan rumah tantenya yang bernama Gedung Setan. Gedung tersebut merupakan kantor bekas Gubernur VOC di Jawa Timur.
Bus membawanya melaju melintasi jalanan Surabaya yang penuh debu. Heksa tak juga menemukan Gedung Setan itu. Sampai di kawasan Banyu Urip, Heksa berteriak di koridor bus.
"Itu, itu, itu Gedung Setan. Pak berhenti".
Heksa menyusuri sebuah gang menuju rumah tantenya. Orang pertama yang ia temui adalah pamannya bernama Sudarwono.
"Kulo nuwun".
"Mau nyari siapa?".
"Masa Lek Wo lupa. Saya Pambudi".
"Waduh Pambudi anak e Mas Yadi".
Heksa langsung dipeluk erat oleh pamannya. Air mata tumpah, tapi seisi rumah belum sepenuhnya mengenalinya. Kakak kandung Heksa yang memilih tidak ikut ke Pulau Buru, baru saja pulang sekolah tidak acuh dengan kedatangan adiknya.
"Iki loh Pambudi," ujar paman Heksa.
"Pambudi sopo?" tanya kakak kandungnya.
Lagi-lagi tangis pecah saat momen haru itu. Pelukan demi pelukan melayang ke arah Heksa yang sudah delapan hari luntang-lantung di atas kapal dalam perjalanan menuju Surabaya.
"Loh kok bisa pulang?".
"Iya aku naik perahu".
Beberapa hari kemudian, tante Heksa berkirim surat kepada keluarga yang ada di Savana Jaya. Mengabarkan bila Heksa mendarat di Surabaya dengan keadaan sehat.
Pada 1981, seseorang pria kenalan Heksa menawarkan untuk bekerja membantu Pramoedya Ananta Toer menerbitkan buku berjudul Bumi Manusia.
Perkenalan Heksa dengan Pram, sejatinya sudah terjadi sejak di Pulau Buru. Pram dan beberapa orang yang ditahan di pusat komando kerap berkunjung ke rumah Heksa. Heksa mulai menguping tentang pembicaraan politik di ruang tamunya.
"Wah Pamudi besok ini orang pemberani," ujar Pram sambil menyalami tangan Heksa.
Selama bekerja dengan Pram, Heksa mengenal Pram sebagai seorang pemimpin yang tegas.
"Kita tidak boleh berbicara katanya atau andai-andai. Kalau tidak tahu ya sudah tidak tahu," kata Heksa.
Setahun bekerja dengan Pram, Heksa memilih kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surabaya. Semester tiga dia mendapat tawaran beasiswa Supersemar dari pemerintah hingga lulus dari jurusan sejarah.
Heksa kemudian melanjutkan nasib di Jakarta pada 1990. Di masa tuanya, Heksa hanya menekuni pekerjaan ringan seperti menjaga kompleks rumah anaknya di Bekasi.
Pada 2001, para eks tahanan politik mulai berkumpul di Jakarta. Heksa mengatakan almarhum suami Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas ingin menyediakan tempat bagi mereka.
Sebuah rumah di Jalan Kramat V yang dulu sempat menjadi kantor pusat Gerwani dibeli oleh Taufiq Kiemas dari seseorang pria asal Manado. Sejak saat itu, rumah tersebut dijadikan tempat bernaung bagi para mantan tahanan politik orde baru.
Heksa dan istrinya kerap berkunjung ke Panti Waluyo dan merawat para eks tahanan politik di sini meski tidak pernah terdaftar sebagai pengurus resmi.
Panti kini hanya dihuni oleh Tumiso dan seorang laki-laki renta bernama Wardiono yang juga merupakan mantan tahanan politik.
"Om tidur om?" ujar Heksa.
"Ndak," jawab Tumiso.
"Tak bikinin sego goreng ya," kata Heksa lagi.
"Ndak", ujar Tumiso.
"Iya, pokok e tak gawekno, kabeh dianggap ndak-ndak ae," ucap Heksa sambil berlalu.