Suara.com - Negara dan masyarakat diminta untuk hadir dalam melindungi anak-anak agar tidak merokok. Bukan hanya sekedar memberi hukuman atau menyalahkan anak, namun dengan cara penerbitan regulasi yang ketat.
"Kita terkadang begitu mudah menyalahkan dan menghukum anak yang merokok, padahal kita sadar perilaku merokok ini disebabkan anak secara psikologis memang sedang berkembang, dan mudah dipengaruhi," ujar Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu (6/5/2023).
Hal itu ia sampaikan menanggapi usulan PJ Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang akan mencabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi pelajar yang ketahuan merokok.
Ancaman pencabutan KJP tersebut dianggap sebagai upaya mendidik karakter siswa dan memberikan efek jera.
Baca Juga: CEK FAKTA: Demi Menangkan Anies, Sandiaga Uno Rela Mundur Dari Jabatannya di Kabinet
Lisda mengatakan Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1990, sehingga Pemerintah seharusnya memiliki kewajiban untuk melindungi hak anak, salah satunya hak anak untuk sehat.
Ia mengatakan, seharusnya negara hadir melindungi kesehatan masyarakat Indonesia tanpa kecuali, termasuk anak, melalui penerbitan regulasi yang berpihak pada kesehatan masyarakat. Salah satunya, melalui regulasi yang melindungi anak dari zat adiktif.
Alasannya, kata dia, anak-anak terus menjadi korban bahaya rokok melalui paparan asap rokok dan gempuran iklan, promosi, dan sponsor rokok yang masif.
"Sehingga, alih-alih menyalahkan anak, justru kita seharusnya membentengi anak dari pengaruh yang buruk dengan membuat perlindungan yang kuat melalui regulasi," kata dia.
Dalam pandangannya, anak-anak yang secara psikologis terus berkembang akan mudah dipengaruhi oleh kepungan iklan dan promosi rokok dengan visual dan diimajinasikan sebagai gaya hidup anak muda yang kreatif dan keren.
Baca Juga: Enam Orang Warga Kepri dari Sudan Akhirnya Dipulangkan ke Kampung Halaman
Menurutnya, di alam bawah sadar anak-anak akan tertanam bahwa rokok adalah produk normal, karena iklannya tidak dilarang, padahal sejatinya rokok adalah produk berbahaya dan tidak normal. Rokok mengandung 7.000 zat berbahaya dan 69 di antaranya memicu kanker.
"Karena itu, negara tetap harus hadir melalui pemihakan kebijakan," katanya.
Ia mengutip Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Prevalensi perokok anak juga semakin tinggi pada anak dari keluarga dengan penghasilan menengah ke bawah, sehingga kondisi kerentanan sebagai anak dari kelompok rentan, ditambah dengan kecanduan rokok sejak dini.