Lina Mukherjee Dinilai Korban Terbaru Pasal Karet Penistaan Agama UU ITE

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Rabu, 03 Mei 2023 | 21:59 WIB
Lina Mukherjee Dinilai Korban Terbaru Pasal Karet Penistaan Agama UU ITE
LIna Mukherjee di Polda Sumsel [Sumselupdate.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik alias UU ITE kembali memakan korban. Lina Mukherjee, seleb TikTok, ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama hanya gara-gara membuat konten video memakan daging babi.

Banyak pihak menilai Lina Mukherjee adalah korban kesekian dari 'pasal-pasal karet' UU ITE. Mereka mengatakan, penetapan Lina Mukherjee sebagai tersangka kasus penistaan agama karena mengucapkan 'Bismillah' saat mau memakan babi adalah hal berlebihan dan tak semestinya dipidanakan.

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin mengatakan apa yang menimpa Lina adalah bentuk “kriminalisasi” menggunakan “pasal karet yang tafsirnya sering kali sangat subjektif”.

“Ini sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis, adanya desakan masyarakat baik secara offline atau online, ada kata kunci yang viral dijadikan landasan oleh penegak hukum untuk memidanakan seseorang atas dasar penodaan agama. Ini sangat rentan karena tergantung siapa yang menafsirkan,” kata Zainal, dikutip dari BBC News Indonesia, Rabu (3/5/2023).

Baca Juga: Lina Mukherjee Diperiksa Lebih Dari 9 Jam di Polda Sumsel, Ini Kata Penyidik

Intelektual muda dari Nahdlatul Ulama (NU), Gus Muhammad Al-Fayyadl juga menyatakan “tidak setuju” apabila kasus Lina Mukherjee “dianggap sebagai penistaan agama” karena yang dilakukan oleh Lina adalah dosanya sendiri.

Kasus ini bermula ketika Lina, yang merupakan seorang seleb di TikTok mengunggah video saat menyicipi kriuk babi.

Di dalam video itu, Lina sempat mengucapkan “Bismillah. Dia juga menyebut bahwa dia “penasaran” dengan kriuk babi. Konten tersebut kemudian berujung viral di media sosial.

Pada 15 Maret 2023, seorang ustad di Palembang, M Syarif Hidayat melaporkan Lina ke Polda Sumatra Selatan atas dugaan penistaan agama “karena dengan sadar sebagai umat Muslim memakan kulit babi”.

Polisi kemudian menindaklanjuti laporan itu dengan meminta keterangan sejumlah saksi ahli, mulai dari ahli bahasa, ahli ITE, dan ahli pidana.

Baca Juga: 9 Jam Diperiksa, Lina Mukherjee Masih Jalani Pemeriksaan Tersangka Penistaan Agama Islam

Pada Kamis (27/4), Direktorat Kriminal Khusus Polda Sumsel menetapkan Lina sebagai tersangka kasus penistaan agama.

“Kami juga sudah menerima surat pemberitahuan hasil fatwa MUI [Majelis Ulama Indonesia] pada 18 April 2023 yang menyatakan apa yang dilakukan Lina Mukherjee termasuk penistaan agama,” kata Direktur Kriminal Khusus Polda Sumatra Selatan Kombes Agung Marlianto.

Polisi menjerat Lina dengan pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, yang berbunyi tentang penyebaran informasi berbau kebencian atau permusuhan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Lina sendiri sebelumnya mengaku telah meminta maaf. Lina akan diperiksa oleh penyidik Polda Sumsel sebagai tersangka pada Rabu (3/5).

'Itu dosa dia, bukan dosa kita'

Menurut Fayyadl, tindakan Lina bisa jadi dilakukan karena yang bersangkutan “tidak mengetahui hukum membaca Bismillah dalam melakukan hal-hal yang diharamkan”.

Kalaupun mengetahui hukumnya, perlu ditelaah lagi niatnya ketika melakukan itu.

“Kalau dia melakukannya dengan niat untuk mengolok-olokkan Islam, itu murtad. Itu juga dosa dia, bukan dosa kita. Kalau dia melakukannya tanpa mengolok-olok, dia berdosa,” kata Gus Fayyadl melalui pesan singkat kepada BBC News Indonesia.

Di antara kemungkinan-kemungkinan itu, Gus Fayyadl menilai “berlebihan” apabila kasus ini dipidanakan dalam konteks penistaan agama.

“Toh dia juga tidak mengajak ramai-ramai. Kalau dia ramai-ramai berkampanye mengajak orang makan babi baca Bismillah, menurut saya, itu baru penistaan.”

“Tapi kalau sekadar keisengan, bisa jadi karena tidak tahu. Diurus dulu, kalau tidak tahu, tidak perlu diadili, cukup dinasehati. Yang penting jangan diulangi lagi dan segera dihapus saja kontennya. Jangan tambah dibuat masalah baru,” sambung dia.

'Pasal karet' harus dihapuskan

Zainal Arifin dari YLBHI mengatakan polisi semestinya tidak perlu mengusut kasus ini sejak awal dilaporkan karena “tidak memiliki asas legalitas”.

Sebab penodaan agama atau penistaan agama di dalam kerangka hukum yang berlaku saat ini, dianggap tidak memiliki definisi dan batasan yang jelas.

Yang sering kali terjadi, kata Zainal, polisi mengusut kasus ini “atas desakan masyarakat” dengan dalih “menjaga kondusivitas”.

“Atas nama kondusivitas sering kali melakukan pijakan untuk mengkriminalisasi orang, mereka berpikir itu akan memenuhi rasa keadilan masyarakat, tapi itu menjadi bola liar bagi orang untuk mengkriminalkan orang lain, membuka ruang lebar untuk memecah masyarakat akibat penistaan agama ini,” kata Zainal.

YLBHI juga mengungkapkan bahwa tren kasus penistaan maupun penodaan agama masih marak. Pada tahun 2020, terdapat 67 kasus di Indonesia. Itu belum termasuk kasus-kasus yang mereka pantau pada tahun-tahun setelahnya hingga saat ini.

Dari jumlah kasus yang tercatat pada 2020, mereka juga menemukan tren penggunaan Undang-Undang Informasi Teknologi dan Elektronik (ITE) untuk memidanakan pelaku. Terutama pada kasus-kasus yang mulanya ramai di media sosial, seperti yang terjadi pada Lina.

Kasus penodaan agama, mulanya kerap ditautkan pada pasal 156(a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun belakangan, polisi mulai menetapkan kasus penistaan agama menggunakan pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi tentang penyebaran informasi berbau kebencian atau permusuhan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

“Sementara pasal ini karet, tidak ada definisi yang jelas, setiap orang bisa menafsirkan dengan bebas,” tutur Zainal.

“Yang sering digunakan oleh kepolisian adalah MUI, fatwa MUI sebagai semacam pembenaran ini masuk atau tidak, boleh atau tidak seseorang dijerat. Ini membahayakan sekali,” sambung dia.

Di dalam KUHP yang baru disahkan pada akhir 2022 lalu pun, pasal terkait penodaan agama “sayangnya belum dihapuskan” meski menurut YLBHI “ada kemajuan” dalam mendefinisikan batasan-batasan tafsirnya.

“Tapi menurut pandangan YLBHI, harapan kami ya tidak perlu diatur ruang soal ini di dalam KUHP,” ujarnya.

“Harusnya polisi bisa mengurusi hal-hal yang lebih penting, lebih fokus mengurus reformasi di tubuh kepolisian ketimbang hal-hal seperti ini,” kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI