Suara.com - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh menilai pemecatan AKBP Achiruddin Hasibuan dari anggota Polri seharusnya menunggu proses pengadilan supaya memiliki landasan hukum yang kuat.
Menurutnya, sanksi pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap AKBP Achiruddin itu berlebihan. Hal itu karena Polda Sumatera Utara dinilai tidak menunggu putusan pengadilan atas kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya, Aditya Hasibuan terhadap Ken Admiral.
"Pemecatan AKBP Achiruddin Hasibuan karena membiarkan anaknya melakukan penganiayaan terhadap Ken Admiral agak berlebihan. Motif tindakan AKBP Achiruddin Hasibuan adalah melindungi anaknya yang awalnya akan dikeroyok oleh Ken Admiral dan kawan-kawannya," kata Khairul Saleh dikutip dari ANTARA, Rabu (3/5/2023).
Jika PTDH Achiruddin karena kasus lain seperti dugaan gratifikasi, Khairul Saleh menilai kepolisian juga seharusnya menunggu putusan pengadilan sebelum resmi memecat anggotanya.
Baca Juga: Nasibnya Bak Ferdy Sambo, Achiruddin Hasibuan Akan Ajukan Banding Setelah Dipecat Tak Hormat
"Jika pemecatannya dikaitkan dengan perkara lain, termasuk dugaan gratifikasi dan lain-lain, dan dia sudah lima kali menjalani sidang kode etik untuk perkara yang berbeda. Itu pun harus dibuktikan dulu dengan putusan pengadilan bahwa yang bersangkutan bersalah," jelasnya.
Polda Sumut pada Selasa (2/5/2023), menjatuhkan sanksi PTDH atau memecat AKBP Achiruddin karena terbukti melanggar kode etik Polri. Pelanggaran itu salah satunya dia diyakini membiarkan anaknya menganiaya Ken Admiral.
Kapolda Sumatera Utara Irjen Polisi R.Z. Panca Putra Simanjuntak mengatakan Achiruddin seharusnya dapat melerai dan mencegah tindak penganiayaan tersebut, namun hal itu tidak dilakukan.
"Dari fakta pada pemeriksaan sidang kode etik, (dia) hanya melihat, tidak dilakukan apa yang seharusnya dan sepantasnya dilakukan," kata Kapolda di Medan, Selasa (2/5).
Selanjutnya, Bidang Propam Polda Sumut memutuskan Achiruddin Hasibuan melanggar kode etik.
"Pasal yang dikenakan dan diterapkan dan terbukti adalah Pasal 5, 8, 12 dan 13 dari Perpol Nomor 7 Tahun 2022. Sanksi itu melanggar etika kepribadian, etika kelembagaan dan kemasyarakatan. Tiga etika itu dilanggar sehingga Majelis Komisi Kode Etik memutuskan pada saudara AH untuk diberlakukan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH)," kata Kapolda. [ANTARA]