Suara.com - Sidang kasus narkoba yang menyeret mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat pada jumat (28/4/2023) lalu.
Sidang tersebut mengangendakan pembacaan duplik oleh Teddy Minahasa. Dan dalam kesempatan itu, Teddy melontarkan pengakuan yang cukup mengejutkan.
Di hadapan majelis hakim dan jaksa penuntut umum (JPU), Teddy mengatakan adanya perang bintang di institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait kasusnya.
Dalam duplik yang ia bacakan, Teddy menyatakan, perang bintang tersebut terjadi karena ada sosok ‘pimpinan’ yang memerintahkan dua pejabat di Polda Metro Jaya untuk menyeretnya dalam lingkaran kasus peredaran narkoba.
Baca Juga: CEK FAKTA: Teddy Minahasa Sebut Ferdy Sambo di Kasus KM 50, Benarkah?
Ia mengungkapkan, Pada November 2022 lalu, ia dihampiri oleh dia pejabat Polda Metro, yakni mantan Direktur dan Wakil Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, yakni Brigjen Mukti Juharsa dan AKBP Donny Alexander.
Teddy mengaku, ketika itu keduanya menyatakan kalau mereka mendapatkan perintah dari seseorang yang disebut sebagai pimpinan.
"Dirresnarkoba dan Wadirresnarkoba Polda Metro Jaya Bapak Mukti Juarsa dan Dony Alexander (mengatakan) kepada saya 'mohon maaf jenderal, kami mohon ampun, semua ini karena perintah pimpinan'," kata Teddy dalam dupliknya.
"Situasi ini mengisyaratkan ada tekanan atau desakan dari pimpinan agar saya terseret dalam kasus ini, Karena itu patutlah saya menarik suatu kesimpulan bahwa di internal Polri telah terjadi persaingan yang tidak sehat, atau adanya nuansa perang bintang," sambungnya.
Teddy menambahkan, pernyataan itu disampaikan MUkti dan Dony ketika penangkapan dirinya pada 24 Oktober 2022 dan saat pemeriksaan pada 4 November 2022.
Baca Juga: Tak Cuma Ferdy Sambo, Ini Deretan Perwira Polri Bermasalah yang Patut Diawasi
Ketika itu, lanjut Teddy, keduanya memperlihatkan ekspresi serba salah dalam mengusut keterlibatannya dalam kasus narkoba sabu-sabu itu.
Tak hanya itu, Teddy Minahasa juga menuding adanya kedekatan antara jaksa penuntut umum dengan penyidik yang menangani perkaranya.
Menurut dia, hal tersebut semakin memuluskan perintah atasan tersebut untuk menjadikannya pesakitan dalam kasus ini dan mendapatkan tuntutan mati.
"Jaksa penuntut umum telah beratraksi secara akrobatik di dalam konteks hukum ini untuk mengawal agar perintah dari pimpinan penyidik tadi berlangsung atau berproses tanpa hambatan. Dan pesanan atau industri hukum tersebut sekarang sudah paripurna," tutur Teddy.
Dalam dupliknya, ia juga menyampaikan kalau JPU tidak memiliki empati karena menuntutnya dengan hukuman mati dan seakan menutup mata dari semua prestasi yang pernah ia raih sebelumnya.
Teddy mengeklaim, pencapaiannya hingga bisa mendapatkan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen), yang notabene adalah jenderal bintang dua, telah diraihnya dengan sejumlah prestasi dan pengabdian.
"Ketika saya menjelaskan tentang penghargaan dan jasa-jasa yang saya terima, sebagaimana pertanyaan dari majelis hakim Yang Mulia, malah dibilang hanya untuk 'pencitraan pribadi'," ujar Teddy.
"Patutlah saya menyimpulkan bahwa jaksa penuntut umum penyandang tunaempati dan hanya memiliki syahwat serta ambisi untuk menjebloskan saya," sambung dia.
Kontributor : Damayanti Kahyangan