Perlakuan menjengkelkan seorang pemudik di Jembatan Sewoharjo, Desa Karanganyar, Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang, Jawa Barat menyita perhatian masyarakat. Bagaimana tidak, ia hampir saja melukai nyawa tukang sapu koin bernama Mak Iye dengan tindakan yang ia sebut dengan ‘prank’.
Kejadian bermula pada saat pemudik yang menggunakan sepeda motor tersebut melempar uang yang diduga mencapai Rp15 juta di Jembatan Sewoharjo. Tukang sapu koin, yakni Mak Iye tersebut sontak melompat ke sungai demi bisa mendapatkan uang tersebut.
Namun, betapa kesalnya Mak Iye saat ia berhasil mendapatkan uang yang dilempar pemudik tersebut, hal tersebut karena uang yang ia kira rezekinya tersebut ternyata palsu alias uang mainan.
Mak Iye pun merasa jengkel karena telah dipermainkan oleh pemudik tersebut. Menurut Mak Iye, perlakuan tersebut sangatlah tidak baik dan juga tidak terpuji. Terlebih lagi, pengendara motor tersebut ia sebut mempermainkan orang yang memang susah untuk mengais rezeki.
Baca Juga: Naksir Saudara yang Ketemu Saat Mudik, Apa Hukum Menikahi Sepupu dalam Islam?
Mak Iye mengaku bahwa setiap hari ia memang menyapu koin di jembatan tersebut karena tidak memiliki pekerjaan lain.
Lantas, apa itu tradisi sapu koin yang dijalankan oleh Mak Iye? Simak informasi lengkapnya berikut ini.
Sudah bukan hal yang aneh apabila para pemudik yang melewati jalur Pantura, khususnya Jembatan Sewoharjo, Desa Karanganyar, Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang, Jawa Barat akan bertemu dengan orang-orang yang duduk di pinggir jalan sembari membawa sapu lidi panjang.
Para pemegang sapu lidi tersebut adalah para penyapu koin yang menunggu para pemudik melemparkan uang ke jalan dalam bentuk apapun, baik itu koin hingga uang kertas. Pada saat para pengendara melemparkan uang, mereka pun akan sigap berebut untuk mengambil uang yang dilempar dengan menggunakan sapu lidi yang mereka bawa.
Konon, tradisi ini sudah berlangsung sejak bertahun-tahun. Sebagian warga percaya, tentang kisah kakak beradik yang bernama Saedah dan Saeni yang setiap harinya mengemis di Jembatan.
Namun, kejadian naas menimpa kakak beradik tersebut, mereka meninggal dunia di sekitar jembatan. Masyarakat pun kemudian berinisiatif untuk mengenang arwah kakak beradik tersebut dengan cara melakukan ritual melempar uang di jembatan tersebut.
Pada masa itu, kakak beradik tersebut kerap mementaskan seni ronggeng di daerah jembatan. Saedah bertugas sebagai penabuh genderang, sementara Saeni menjadi penarinya.
Adanya sosok Saeni dan Saedah tersebut menjadikan masyarakat percaya bahwa jembatan tersebut sangat mistis. Bahkan, kemistisan tersebut kerap kali disangkutpautkan dengan kejadian kecelakaan tragis yang terjadi di jembatan tersebut.
Kecelakaan maut yang dimaksud adalah kecelakaan yang terjadi pada 11 Maret 1974, pada saat bus pengangkut transmigran dari Boyolali dengan tujuan Sumatera Selatan tergelincir saat melintas Jembatan Sewo dan masuk ke sungai. Bus tersebut pun terbakar.
Kejadian tersebut menewaskan para penumpang yang totalnya 67 orang. Seluruh korban tewas disemayamkan di pemakaman umum yang berlokasi di dekat lokasi kejadian.
Sejak adanya peristiwa tersebut, para pengendara yang melintasi Jembatan Sewo melemparkan uang saat melintas. Sampai saat ini, ritual lempar koin tersebut masih terus dilakukan.
Begitu juga dengan warga yang ada di sekitar Jembatan Sewo, mereka memungut koin-koin tersebut dengan ritual sapu koin. Sebagian masyarakat bahkan menjadikan ritual tersebut sebagai mata pencaharian.
Kontributor : Syifa Khoerunnisa