Suara.com - Negara boleh saja mengklaim kebebasan pers sudah terjamin. Tapi praktiknya, jurnalis terus terancam dan dikriminalisasi. KUHP yang diteken meski mengandung kejanggalan dinilai bakal jadi pemberedelan gaya baru.
PAGI-PAGI BAHRUL WALIDIN MASYGUL. Ia merasa belum sepenuhnya pulih. Namun ia mesti pergi. Kalau tidak, urusan semakin runyam.
Delapan bulan tak cukup agar tubuhnya ruwat, setelah operasi pemasangan ring pada paha hingga lengan kanan di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Apalagi pikirannya, masih buncah, setelah dokter mendiagnosis ia mengidap aneurisma pada awal tahun.
Tapi lagi-lagi, tak mau masalah tambah teruk, ia menguatkan diri untuk berangkat hari itu juga, Senin 6 Desember 2021.
Sebagai jurnalis, Bahrul terbiasa bermain dengan jarak dan waktu. Ia sudah menghitung, antara Bireun dan Banda Aceh, ada duaratus duapuluh tiga koma delapan kilometer jalan yang harus dilalui.
Kalau tak banyak berhenti, ia memperkirakan dalam empat jam duapuluhtujuh menit, akan sampai di Polda Aceh.
Bahrul membuka lagi selembar warkat. Tertera nama Kasubdit Siber Ditreskrimsus AKBP Afrizal sebagai peneken.
“Dalam rangka menyelesaikan persoalan hukum secara restorative justice terkait laporan pencemaran nama baik terhadap Rizayati, Direktur PT Imza Rizky Jaya sekaligus Presiden Partai Indonesia Terang.”
Baca Juga: Bali Corruption Watch Soroti Ketidakhadiran Kejati Bali dalam Praperadilan SPI Unud
Bahrul lantas menutup surat itu rapat-rapat dan bergegas menaiki mobil pribadinya, Honda Brio. Dengan menahan rasa sakit tentunya, Bahrul pergi.
***
AFRIZAL sudah menunggu di salah satu ruangan Polda Aceh, saat Bahrul masuk ke dalamnya sekitar pukul 10.00 WIB.
“Kita mulai saja ya,” kata Afrizal, sambil membuka secarik kertas.
Wajah Bahrul langsung bersemburat merah. Ia muntab. Jauh-jauh datang ke kota, hanya disuruh mendengarkan AKBP Afrizal membaca surat. Tak ada Rizayati.
“Jadi saya disuruh datang cuma untuk mendengarkan bapak bacakan surat dia?” tanya Bahrul, kesal.
“Saya juga enggak menyangka,” jawab Afrizal.
“Di surat kan sudah jelas, saya diminta ke sini untuk penyelesaikan secara musyawarah, restorative justice!”
“Iya, tapi pelapor tidak mau. Dia hanya mau bertemu di pengadilan.”
Dalam surat yang dibacakan, Rizayati intinya menolak dimediasi dan meminta perkaranya berlanjut ke meja hijau.
“Ini tidak benar. UU Pers menjamin kebebasan saya menulis. Ada juga MoU Dewan Pers dengan Polri. Lalu ada SKB, kok saya masih diproses?” protes Bahrul.
Undang-undang yang dimaksud Bahrul adalah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Salah satu isinya menjamin jurnalis bekerja bebas menghasilkan produk jurnalistik.
Sementara momerandum of understanding yang dimaksudnya itu adalah nota kesepahaman Dewan Pers dengan Polri bernomor 2/DP/15/II/2017, berisi aturan polisi akan mengarahkan penyelesaikan pers delict ke Dewan Pers, bukan ranah pidana.
Sedangkan SKB adalah surat keputusan bersama soal pedoman kriteria implementasi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Transaksi Informasi dan Elektronik, yang mengatur produk jurnalistik tidak masuk pelanggaran ITE.
Namun, Afrizal menyanggah semua penjelasan Bahrul. Sebagai polisi, dia harus memproses sesuai pengaduan.
“SKB itu enggak bisa, lebih rendah itu dari undang-undang.”
“Bapak bilang SKB itu enggak ada gunanya ya? Oke, pegang itu. Saya catat!”
Bahrul kembali meradang. “Sudah begini saja. Kalau bapak memang ngotot mau memenjarakan saya, buka pintu sel sekarang. Saya masuk sekarang juga.”
“Kalau saya ditahan, saya yakin kawan-kawan jurnalis dari Sabang sampai Merauke turun ke jalan,” tambahnya.
“Jangan, anarkis itu,” sergah Arizal.
“Kok anarkis, kami demonstrasi damai.”
“Iya, tetap saja, tidak usah lah.”
“Tidak, kasus ini akan diungkap sampai ke Mabes Polri dan Presiden Jokowi!”
Afrizal mulai keder. Dia berjanji berkonsultasi dengan penyidik di Mabes Polri untuk menentukan proses selanjutnya dalam kasus Bahrul.
“Kalau kata mabes setop, ya kami setop,” janji Afrizal.
Setahun berlalu sejak perdebatan itu, Bahrul tak kunjung mendapat kabar nasib kasus dirinya.
Dia tak masuk ke sel tahanan. Tapi kasusnya juga tak jelas juntrungannya. Dalam hati, Bahrul masih khawatir.
“Tidak ada SP3, sewaktu-waktu bisa jadi bola panas lagi,” pikir Bahrul, risau.
***
SELASA MALAM 28 Juli 2020, Bahrul ikut larut dalam keriuhan diskusi dalam grup WhatsApp berisi enam orang.
Mereka bergaduh perihal pemberian gelar Srikandi Cut Nyak Cahaya Jeumpa kepada seorang perempuan bernama Rizayati.
Penganugerahan gelar dilakukan ulama kharimastik Aceh, Teungku Muhammad Amin alias Abu Tamin serta tokoh adat Biereun, Teungku Muhammad Yusuf di Kompleks Makam Raja Jeumpa, Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.
Rizayati dianugerahi gelar Srikandi Cut Nyak Cahaya Jeumpa karena dinilai berjasa terhadap sesama melalui kerja-keja sosial serta kemanusiaan—terutama saat pandemi Covid-19.
Bahrul tidak tahu menahu jatidiri perempuan tersebut. “Siapa dia ini?” kata Bahrul di grup percakapan.
Rabu esoknya, pertanyaan Bahrul baru terjawab ketika ia melihat halam satu koran Serambi Indonesia, yang memuat profile Rizayati.
Dia lalu memotret halaman depan koran lokal Aceh itu dan mengirimkannya ke seorang temannya yang merupakan serdadu.
“Ini betul enggak, orang yang kita cari dulu?” tanya Bahrul.
“Betul bang,” jawab si serdadu.
Tentara itu lantas mengumpat, menuding Rizayati penipu.
Circa 2016, seorang anggota Batalyon Infanteri 113 Bireuen bercerita ke Bahrul bahwa sang istri lolos menjadi pegawai negeri sipil setelah lama mengabdi sebagai guru honorer.
“Bagus, syukurlah,” Bahrul menanggapi kabar baik itu.
“Jalurnya kek mana? Di mana ikut ujian CAT (computer assited test) kemarin?”
“Enggak bang, lulus tanpa tes.”
“Lho kok bisa?” Bahrul kaget.
“Yang namanya PNS itu sekarang semua harus ikuti ujian. Namanya ujian computer assisted test atau CAT.”
“Enggak bang. Aku bayar bang,” jawab si serdadu.
“Tetap enggak bisa. Sekarang pakai sistem,” Bahrul curiga.
“Enggak bang, SK (surat keputusan)-nya sudah di Kepala Kepegawaian bang.”
Maka, berceritalah serdadu itu tentang membayar Rp 40 juta kepada perempuan bernama Rizayati, sebagai syarat sang istri lulus jadi PNS.
“Enggak mungkin,” Bahrul masih curiga.
“Ini betul bang,” tegasnya meyakini Bahrul.
Curiga temannya tertipu, Bahrul mengajak sang serdadu bertemu Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Aceh Muhammad Isa.
“Memang bisa kita temui bang? Aku selama ini enggak bisa temui bang. SK istriku di meja bapak itu.”
“Bisa, ayo kita temui.”
Ketika bertemu Isa, Bahrul menjelaskan duduk perkara temannya itu. Namun, si pejabat membantah.
“Enggak ada itu,” tegas Isa.
“SK istri saya katanya di meja Pak Isa,” kata serdadu, menyela.
“Saya Pak Isa lho, enggak ada SK di sini!”
Mendengar penegasan Isa, serdadu teman Bahrul itu kaget, lalu lemas. Sadar telah tertipu.
***
BAHRUL bermurad menulis artikel dugaan penipuan yang menimpa kawan seradunya. Tapi niatan itu ditentang sejumlah kawannya.
“Sudahlah bang, enggak usah ditulis itu.”
“Saya kan tak niat menjatuhkan orang. Saya tak mencari sensasi, hanya ingin mengadvokasi,” jawab Bahrul.
“Ngapain sih bang, risiko. Dia orang kuat sekarang, uangnya banyak!”
“Tidaklah. Saya mau membantu orang-orang yang dizalimi pelaku ini.”
Sejak kali pertama menjadi jurnalis belasan tahun silam, Bahrul selalu berpegangan pada petitih “Kalau memang takut dilebur pasang, jangan berumah di tepi pantai.”
Amsal itu pula yang membuat Bahrul memantapkan diri. Sabtu 1 Agustus 2020, ia mulai menyusun naskah.
Berawal dari kisah serdadu kawannya, ia terhubung dengan korban-korban lain. Ada di Aceh, Surabaya, Madura, hingga Tomohon. Latar belakang korban beragam. Ada yang mengaku dari kalangan masyarakat biasa, hingga polisi.
Sejumlah bukti Bahrul kantongi. Salah satunya berupa bukti transfer dari korban. Modusnya beragam, tidak hanya pengangkatan PNS. Ada juga yang mengaku tertipu modus program bantuan rumah dari pemerintah.
Sehari jelang menerbitkan naskah, Rabu 19 Agustus, Bahrul menghubungi Rizayati untuk meminta konfirmasi maupun hak jawab. Isinya adalah bantahan terhadap semua tuduhan.
Yakin naskahnya sudah lengkap serta sesuai prosedur jurnalistik, berita Bahrul berjudul Rizayati Dituding Wanita Penipu Ulung terbit di media daring Metroaceh.com, Kamis 20 Agustus.
Malam pada hari yang sama, sekitar pukul 20.00 WIB, telepon genggam Bahrul berdering. Tertera nama Rizayati sebagai penelepon.
Di ujung sambungan telepon, Rizayati marah, menuding Bahrul menyebarkan informasi bohong atau hoaks.
“Terserah ibu, mau dipersepsikan hoaks atau bukan. Saya jurnalis, netral. Saya juga sudah menelepon itu kemarin untuk konfirmasi,” kata Bahrul.
“Saya tidak bisa terima ini,” kata Rizayati.
Ia lantas mengancam, “Saya akan laporkan ini ke Mabes Polri!”
“Silakan, itu hak ibu. Cuma saran saya, sekalian ibu laporkan ke Dewan Pers juga.”
Sejak keributan itu, Bahrul tak lagi bisa menghubungi Rizayati melalui telepon. Nomor ponselnya diblokir.
Selang empat hari setelah berita terbit, Senin 24 Agustus 2020, Bahrul dilaporkan ke Polda Aceh oleh Rizal, kuasa hukum Rizayati.
Dalam berkas pelaporan, Bahrul dituduh melanggar Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Transaksi Informasi dan Elektronik.
Bahrul megenal Rizal. Lelaki itu teman lamanya. Bahkan, tiga hari sebelum pelaporan, Jumat 21 Agustus, keduanya sempat bertemu. Seusai pelaporan pun, keduanya berkomunikasi via telepon.
“Enggak masalah Zal. Kau kan kerja, cari makan. Walau kita berseberangan, kita kawan. Kalau bertemu, bisa ngopi semeja,”
Kali pertama Bahrul dipanggil penyidik Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Aceh pada bulan September tahun itu juga. Dia datang, sekalian membawa bukti legalitas perusahaan pers Metroaceh.com.
Sepekan setelahnya, penyidik kembali melayangkan panggilan. Bahrul berkeberatan. Ia mesti bekerja. Belum lagi biaya transportasi Bireuen ke Banda Aceh dan penginapan yang tak sedikit. Setidaknya butuh Rp 1 juta.
“Begini saja. Kalau memang begitu, kalian saja yang turun ke Bireuen. Kalau kalian ke Bireuen kan ada SPPD,” pinta Bahrul ke penyidik.
“Oh boleh bang,” jawab penyidik yang hendak memeriksanya.
Pemeriksaan kedua berlangsung di Bireuen. Penyidik meminjam satu ruangan di Polsek Kota Juang Bireuen.
Dua pekan selanjutnya, para penyidik datang lagi ke Bireuen untuk meminta keterangan. Namun, sepengetahuan Bahrul, aparat itu lebih dulu menemui Rizayati sebelum mendatangi dirinya.
Ia mengetahui persamuhan tersebut setelah mendapatkan hasil bidik layar snap WhatsApp Rizayati dari temannya.
Dalam foto hasil bidik layar, Bahrul menyaksikan para penyidik minum kopi pagi bersama di rumah Rizayati. Terdapat pula tulisan ucapan selamat Rizayati kepada para penyidik dan meminta tidak memberi Bahrul ampun.
Oktober 2020, Bahrul disidang Dewan Pers secara virtual. Putusannya, ia dinyatakan melanggar Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik.
Dalam Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor: 41/PPR-DP/X/2020, Bahrul direkomendasikan memberikan hak jawab kepada Rizayati.
Seorang staf Dewan Pers kemudian memberikan nomor orang kepercayaan Rizayati bernama Vina.
Bahrul sempat menghubunginya dan menawarkan hak jawab itu. Tapi melalui Vina, Rizayati tegas menolak.
“Ibu enggak berkenan masalah itu. Silakan bapak yang urus sendiri. Saya enggak mau terlibat. Enggak mau ikut campur”.
Tak lama setelah ditolak saat menjalani putusan Dewan Pers, Bahrul malah kembali dipanggil penyidik, yang memintanya menyelesaikan perkara ini melalui mekanisme nonlitigasi alias restorative justice.
“Saya siap, daripada bermasalah,” jawab Bahrul.
“Ini harus jumpai (Abu Tumin) ulama yang ada di Bireuen, minta tolong sama ulama itu supaya sampaikan ke dia, Rizayati,” saran penyidik.
Bahrul mengeras, “Ini bukan urusan agama, ini persoalan Pers. Saya enggak bersedia.”
“Enggak, abang ini masalahnya sudah cukup unsur," kata penyidik.
“Dari empat saksi ahli yang kami periksa, tiga sudah mengatakan ini pidana. Cuma ahli pers saja yang belum. Tapi sudah cukup.”
Beberapa hari kemudian, Bahrul kembali menerima surat panggilan pemeriksaan. Ia kaget, status perkaranya sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan.
***
SELASA 4 April 2023, ponsel saya berbunyi. Tertera pada layar nama Ketua Indonesia Terang, Rizayati, mengirim pesan melalui WhatsApp.
“Masih ibadah, tiba di Jakarta nanti kami kabarkan. Bapak dapat nomor ini dari siapa?”
Sebelumnya, saya duluan mengirimkan pesan meminta waktu untuk wawancara seputar perkara dirinya dengan Bahrul.
“Kasih poin-poinnya saja. Nanti sampai di hotel saya bisa jawab sesuai pertanyaan.”
Namun, setelah saya mengirimkan enam pertanyaan untuk dijawab, Rizayati tak membalas. Keesokan hari, Rabu 5 April, saya kembali mengirimkan pesan.
“Apakah sudah ada jawaban terkait pertanyaan saya?”
“Belum bisa, saya masih sibuk ibadah.”
Terpenjara karena berita
“TOK.. TOK.. TOK..” suara ketukan pintu terdengar saat Asrul tengah meriung bersama dua anak dan istrinya, Rabu 29 Januari 2020, sekitar pukul 13.00 WITA.
Andi Hasrianti, adik ipar Asrul, bergegas membukakan pintu. Tiga pria berbadan tegap berdiri di hadapan Andi. Mereka mengaku dari Polda Sulawesi Selatan.
“Ada Muhammad Asrul?”
Andi berjalan menemui Asrul, mendinginkan kehangatan yang sebelumnya menyelimuti keriangan Asrul dan keluarga.
“Ada orang mengaku dari polda mencari abang,” bisik Andi.
Asrul bergegas berdiri, lalu berjalan menuju pintu.
“Ini surat panggilan pemeriksaan,” kata penyidik seraya menunjukkan surat.
Dalam surat itu, tertera keterangan Asrul hendak diperiksa sebagai saksi. Ia sudah mengetahui, warkat itu terkait laporan Farid Judas.
Setahun sebelumnya, Jumat 10 Mei 2019, Asrul menulis serta mempublikasikan artikel tentang Judas, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Palopo.
Ada tiga artikel yang ia terbitkan pada laman daring Berita News, yakni ‘Putra Mahkota Palopo Diduga Dalang Korupsi PLTMH dan Keripik Zaro Rp11 M’; ‘Aroma Korupsi Revitalisasi Lapangan Pancasila Palopo Diduga Seret Farid Judas’; dan ‘Jilid II Korupsi Jalan Lingkar Barat Rp5 M, Sinyal Penyidik untuk Farid Judas?’
Judas lantas melaporkan Asrul ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan pada 17 Desember 2019. Laporan tersebut teregistrasi dengan Nomor: LPB/465/XII/2019/SPKT Polda Sulsel.
“Sebentar, saya pamit dulu,” pinta Asrul.
Dia kembali berjalan ke dalam rumah, menemui sang istri. Mencoba menenangkan, seakan tak ada masalah.
“Abang sebentar mau ke Polda. Ada urusan.”
Perlahan Asrul dan ketiga penyidik berjalan menuju mobil. Dia sempat melihat Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Sulawesi Selatan.
Asrul sedikit tenang, karena ia mengenal sang perwira karena beberapa kali bertemu saat meliput di Mapolda Sulawesi Selatan. Tapi ia salah. Asrul dimasukkan ke dalam mobil yang berbeda dari si perwira.
Sekitar pukul 15.30 WITA Asrul tiba di mapolda. Dia langsung menjalani pemeriksaan. Lima jam ia diperiksa, hingga pukul 20.30 WITA. Itu juga tanpa didampingi pengacara.
Asrul sedikit lega. Ia mengira bisa kembali pulang, menemui anak dan istri, setelah pemeriksaan selesai. Tapi dirinya justru mendapati kenyataan berbeda.
“Pak Asrul, setelah pemeriksaan tadi, Anda kami tetapkan sebagai tersangka.”
Asrul bukan kepalang kaget. Kelabakan, pikiran membuncah, hilang sudah rencananya untuk kembali menyambung kehangatan bersama keluarga yang terhenti di siang tadi.
“Untuk kepentingan penyelidikan, kami akan menahan Pak Asrul di rutan.”
Keesokannya, Kamis 31 Januari, penyidik baru memberikan kabar lewat Surat Pemberitahuan Penahanan Nomor: B/70/I/2020/Ditreskrimsus Polda Sumsel.
Butuh tiga hari tubuh Asrul menyesuaikan dengan keadaan di sel Rutan Polda Sulawesi Selatan.
Lantai rutan dingin. Udara lembab. Air bersih sulit didapat. Tubuhnya meringkuk di antara tahanan lain.
Mulutnya menolak setiap makanan yang masuk. Ia terus memikirkan bagaimana nasib istri dan kedua anaknya.
"Saya tidak semestinya di sini. Saya bukan pelaku kriminal,” protes Asrul, dalam hati.
Penahanan Asrul segera ramai dalam pemberitaan media massa setempat hingga nasional. Gelombang protes banyak komunitas jurnalis ditujukan ke Polri.
Dewan Pers lalu melayangkan surat ke Polda Sulsel, meminta penahanan sang jurnalis ditangguhkan. Tiga puluh enam hari sejak ditahan, persisnya 5 Maret, dia akhirnya dikeluarkan dari sel.
Surat Dewan Pers salah satunya berisi pernyataan yang menegaskan tulisan Asrul merupakan karya jurnalistik.
Jadi, segala sengketa yang muncul karena karya itu, harus diselesaikan memakai mekanisme yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Meski penangguhan penahanan itu dikabulkan, perkara yang menjerat Asrul tetap lanjut.
Perkara tudingan pencemaran nama baik yang dilayangkan Farid Judas berdampak panjang bagi kehidupan Asrul.
Sejak kasusnya bergulir, Asrul tidak lagi bekerja. Dia bahkan sempat dilarang menulis dan bermedia sosial selama proses hukum yang menjeratnya ditangani penyidik.
Dia sempat ditawari pekerjaan di salah satu media lokal Makassar. Tawaran itu datang setelah kasusnya dilimpahkan ke kejaksaan.
Namun Asrul menolak. Dia ingin terlebih dahulu fokus menghadapi perkara yang tengah dihadapinya.
Selain menghadapi kasus pidana di pengadilan umum, Asrul juga harus mengikuti persidangan di pengadilan agama. Istrinya minta cerai.
Sejak digugat cerai sang istri, Asrul kembali ke kediaman orang tuanya. Sehari-harinya, Asrul kembali terpangku kepada orang tua.
Satu-satunya sepeda motor matik Yamaha Soul milik Asrul telah dijual. Uang senilai Rp 7 juta hasil penjualannya digunakan untuk biaya oprasional selama masa persidangan.
Dari Makassar ke Pengadilan Negeri Palopo, Asrul biasa menggunakan bus dengan ongkos sekitar Rp 500 ribu pulang-pergi, berikut makan dan biaya lainnya.
Perjalanan dia tempuh selama hampir delapan jam. Asrul selalu berangkat satu hari sebelum agenda persidangan berlangsung.
Satu-satunya yang terus terpikiran oleh Asrul ialah kabar kedua anaknya. Ia belum pernah bertemu lagi dengan si sulung yang berusia 11 tahun maupun yang bungsu—berumur 6 tahun.
Tak sampai hati Asrul menjelaskan kepada mereka, bahwa sang ayah terancam dipenjara karena berita.
Setahun kemudian, Selasa 23 November 2021, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Palopo, majelis hakim memvonis Asrul tiga bulan penjara.
“Sepuluh tahun saya bekerja sebagai jurnalis, baru kali ini dibui karena berita. Saya akan banding!” tekat Asrul.
Rezim KUHP baru
BAHRUL WALIDIN masih berapi-api ketika menjelaskan kepada saya, perihal perkara yang menjeratnya, April 2023. Ada protes sekaligus kekhawatiran pada nada bicaranya.
Dia lahir di Lhokseumawe, 4 Agustus 1976. Setelah lulus dari SMK Tata Boga tahun 1994, ia merantau ke Batam hingga Agustus 2003.
Bahrul memulai karier sebagai jurnalis di koran Perintis sampai Desember 2024. Sebelum mendirikan media daring Metroaceh.com, Bahrul 14 tahun menjadi jurnalis di harian Rakyat Aceh.
Di luar pekerjaan, Bahrul per 4 Februari 2023, terpilih menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Bireuen.
“Selama 20 tahun jadi jurnalis, yang namanya mau dibacok, dibunuh, sudah biasa,” kata Bahrul kepada saya, Selasa 7 Maret.
Terkadang, ketakutan bergelayut di pikirannya. Apalagi dirinya tak bisa berkelahi. Tapi, sekuat tenaga ia terus menghadapi beragam ancaman saat melakukan kerja-kerja jurnalistik.
“Saya yakin saja, selama punya niat baik mengungkap suatu yang salah, sedikit pun saya tak akan goyah.”
Namun, Bahrul mengakui kecewa karena aturan hukum di Indonesia masih lemah melindungi jurnalis maupun masyarakat sipil yang kritis.
“Bung kecewa karena karya jurnalistik justru dibawa ke jalur pidana?” tanya saya.
“Saya kecewa.”
Bahrul berpikir, upaya kriminalisasi terhadap jurnalis dan masyarakat sipil yang kritis akan terus terjadi.
Perkara yang menjeratnya juga bisa terulang kepada setiap jurnalis. Apalagi kini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP baru sudah disahkan oleh DPR RI.
Menurutnya, ‘pasal-pasal karet’ yang terdapat pada UU ITE justru dialanggengkan pada KUHP baru.
“KUHP itu berpotensi mengancam kebebasan pers. Berpotensi menjerat jurnalis yang ingin menyampaikan jeritan rakyat. Sudah pasti itu.”
Hal yang sama diungkapkan ahli hukum tatanegara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti.
Menurut salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini, KUHP yang baru tersebut mempunyai kecenderungan semakin membatasi kebebasan berekspresi, termasuk kalangan jurnalis.
Pada era Orde Baru, rezim Soeharto bisa melakukan pemberedelan terhadap banyak media massa.
Kini, pemberedelan ‘diperhalus’ melalui KUHP, yakni melalui ancaman ‘pasal-pasal karet’ yang membuat jurnalis tak bebas menjadi penyambung lidah masyarakat.
“Saya melihatnya seperti itu. Betul saat ini tak ada pemberedelan. Tapi membungkamnya melalui KUHP, ancaman pidana,” kata dia.
Pemerintah ataupun pihak yang memiliki kuasa, bisa jadi akan ketat menghitung untung-rugi bila melaporkan jurnalis ke polisi.
Tapi, melalui pencantuman pasal-pasal bermasalah yang bisa dipakai untuk melaporkan jurnalis, akan menciptakan kekhawatiran serta bisa melumpuhkan media massa sebagai salah satu pilar penyangga demokrasi.
“Jadi mungkin pers tidak diberedel, tapi kekhawatiran itu diciptakan, sehingga suasananya menurut saya serupa zaman Orde Baru.”
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim, mengakui kondisi kebebasan pers pada dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi lebih buruk ketimbang era sebelumnya.
“Rezim Jokowi lebih buruk dari rezim sebelumnya, yakni SBY. Salah satu indikatornya, pada era SBY, tak ada pemberedelan pers mahasiswa di kampus-kampus. Tapi kini marak terjadi karena mereka kritis terhadap korupsi, kekerasan seksual, dan lainnya,” kata Sasmito.
Pasal-pasal UU ITE juga sudah banyak disalahgunakan untuk menyeret jurnalis ke perkara pidana.
Berdasarkan data Dewan Pers, selama tahun 2020-2021, terdapat 44 kasus jurnalis dilaporkan ke polisi memakai UU ITE.
“Ini belum ditambahkan nanti, setelah KUHP baru diberlakukan. Potensi kriminalisasi jurnalis memakai KUHP baru akan terus berlanjut.”
Selain potensi kriminalisasi, Sasmito juga mengatakan KUHP baru berpotensi membuat banyak media massa memberlakukan swasensor.
Gaya baru
“INI PEMBEREDELAN GAYA BARU” tegas Evi Mariani, Pemimpin Umum Project Multatuli kepada saya, saat meminta pendapatnya mengenai tantangan jurnalis pada rezim KUHP baru.
Pada era Orde Baru, rezim Soeharto melakukan pemberedelan media massa secara terang-teragan.
Represifitas seperti itu, menurut Evi, justru lebih mudah diprotes dan masyarakat juga tak terkecoh. Tapi kini, melalui UU ITE serta KUHP baru, pemberedelan tersebut cenderung dilakukan secara halus.
“Kini pemberedelannya lebih halus, jadi banyak yang terkecoh, merasa kebebasan pers baik-baik saja serta demokrasi dianggap sehat. Padahal tidak.”
Pengesahan KUHP baru juga menciptakan kecemasan-kecemasan baru terhadap jurnalis. Belum lagi adanya aktor non-negara yang tampak dibiarkan mengancam media-media massa terutama di daerah.
“Jadi yang dihadapi bukan ‘pemberedelan’ yang nyata-nyata medianya ditutup. Dibolehin beroperasi, tapi sewaktu-waktu hidup kita bisa lebih susah saja. Ya mau enggak mau, kita bekerja tidak bisa tenang juga,” ungkapnya.
Project Multatuli merupakan jurnalisme nonprofit yang menyajikan laporan mendalam berbasis riset dan data.
Salah satu laporannya berjudul ‘Tiga Anak Saya Diperkosa Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan’ terbit 6 Oktober 2021 disusul viralnya tagar #PercumaLaporPolisi.
“KUHP baru ini sifatnya sebenarnya tambahan. Karena kecemasan yang lebih dulu sebenarnya datang dari UU ITE. Karena ini kami jadi harus lebih hati-hati menggunakan bahasa,” tutur Evi.
Project Multatuli, kata Evi, bekerja sama dengan LBH Pers untuk mengecek setiap naskah laporannya sebelum diterbitkan. Langkah ini dilakukan Project M sebagai antisipasi agar tidak terkena gugatan hukum.
“Harus kami tegaskan bahwa LBH Pers sifatnya memberi saran, bukan menyensor. Nah, KUHP ini menambahkan pasal-pasal yang harus kami khawatirkan.”
Kondisi yang lebih rentan dikriminalisasi dengan pasal-pasal bermasalah dalam Undang-Undang ITE dan Undang-Undang KUHP menurut Evi sebenarnya ialah narasumber.
Hal ini terjadi ketika Project M menerbitkan laporan ‘Tiga Anak Saya Diperkosa Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan’.
Lydia, narasumber sekaligus ibu kandung ketiga anak korban pemerkosaan, dilaporkan mantan suaminya selaku terduga pelaku atas tudingan melakukan pencemaran nama baik.
“Sementara pengacara (terduga pelaku) mengadu ke Dewan Pers bahwa Project M mencemarkan nama baik. Bagi kami, laporan ke narasumber adalah sama saja ancaman terhadap kami, ancaman terhadap kebebasan pers. Saya kira KUHP nanti sama juga, pasal-pasal di KUHP bisa saja diterapkan ke para narasumber. Ini berbahaya, karena semakin sedikit narasumber yang berani bicara.”
Hal serupa disampaikan Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief. Meski menurutnya masyarakat kekinian bisa dengan mudah berpendapat atau membuat perusahaan pers bila dibanding pada masa Orde Baru.
"Jadi secara substansi itu sama (seperti di masa Orde Baru), cuma beda teknik (pembungkamannya) saja. Karena teknologinya juga sudah berbeda," ungkap Arief.
Pasal-pasal KUHP baru yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan kemerdekaan Pers di dalam KUHP menurut pendapatnya merupakan model pengaturan 'represif' kekinian, yang dipergunakan oleh penguasa.
"Ini kan aturan-aturan yang represif sebenarnya, itu juga berubah. Jadi disudah enggak pakai SIUP-SIUPan (ancaman cabut surat izin usaha penerbitan) lagi, tapi mainnya, ok itu pidana," kata dia.
Hal lain bagi Arief yang perlu dikhawatirkan dengan adanya ancaman pemidanaan terhadap kerja-kerja jurnalis dan perusahaan pers ialah timbulnya swasensor.
Khususnya ketika menyangkut suatu peristiwa atau perkara yang bersinggungan dengan para penguasa.
"Kalau itu berpengaruh ke korporasinya ya, banyak yang dipertaruhkan buat perusahaan di situ. Jadi swasensor itu menjadi sesuatu yang sangat mungkin terjadi," kata Arief.
---------------------------------
Artikel ini adalah hasil kolaborasi peliputan antara Suara.com dan Jaring.id serta mendapat dukungan dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).
Tim Kolaborasi
Penanggung Jawab: Fransisca Ria Susanti (Jaring.id); Reza Gunadha (Suara.com)
Penulis: Abdus Somad (Jaring.id); Agung Sandy Lesmana, Muhammad Yasir, dan Novian Ardiansyah (Suara.com)
Penyunting: Damar Fery Ardiyan (Jaring.id); Reza Gunadha (Suara.com)
Ilustrasi: Ali (Jaring.id); Suara.com