Suara.com - Salah satu kegiatan setelah lebaran yang hampir tidak mungkin dilewatkan adalah halal bihalal. Selain menyambung silaturahmi, kegiatan ini biasanya digunakan untuk saling memaafkan antar keluarga dan orang-orang terdekat.
Namun dari mana sebenarnya asal halal bihalal? Simak informasi berikut!
Halal bihalal adalah tradisi Indonesia yang dilakukan setelah Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini melibatkan pertemuan antara keluarga, teman, atau rekan kerja dengan saling memaafkan dan membersihkan hati dari dendam dan kesalahan yang mungkin terjadi selama setahun. Halal bihalal bertujuan untuk mempererat hubungan sosial dan kekeluargaan serta menebar kebaikan dan kasih sayang kepada sesama.
Baca Juga: 12 Jenis Kendaraan yang Kebal Aturan Ganjil Genap Saat Mudik Lebaran 2023
Meski sebenarnya telah digunakan sejak sebelum kemerdekaan, istilah dan praktik halal bihalal baru populer di zaman KH Abdul Wahab Chasbullah.
Melansir dari kanal NU Online, Ayung Notonegoro seorang pegiat Komunitas Pegon mengungkapkan bahwa istilah tersebut ada dalam manuskrip Babad Cirebon.
Pada halaman 73 Babad Cirebon CS 114/PNRI tertulis dengan bahasa Arab pegon seperti berikut.
"Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan sami anglampah HALAL BIHALAL sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kamuning.”
Baca Juga: Mau Mudik Lebaran 2023? Simak Syarat dan Aturan Naik Pesawat Terbaru
Penggunaan Halal Bihalal yang cukup populer di waktu tersebut berawal ketika Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara di bulan Ramadan. Kala itu, Bung Karno ingin memintainya saran dan pendapat untuk mengatasi situasi politik yang sedang tidak baik-baik saja.
Mendengar undangan tersebut KH Wahab Chasbullah justru menyarankan Bung Karno menyelenggarakan silaturahmi. Pasalnya saat itu sudah mendekati waktu Idul Fitri, di mana seluruh umat Muslim disunahkan melakukan silaturahmi.
Bung Karno pun langsung menjawab, “silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”
“Itu gampang,” jawab Kiai Wahab tidak kalah yakin.
“Begini, para elit politik tidak mau bersatu sebab mereka saling menyalahkan, padahal saling menyalahkan itu dosa, dan itu haram hukumnya.
Supaya mereka tidak memiliki dosa (haram), maka harus dihalalkan. Merek harus duduk di satu meja supaya saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas KH Wahab Chasbullah seperti yang diceritakan KH Masdar Farid Mas’udi.
Dari saran itulah, akhirnya di Hari Raya Idul Fitri, Bung Karno mengundang para tokoh politik ke istana. Di sana mereka dudu dalam satu meja untuk mulai babak baru menyatukan bangsa.
Begitulah sejarah bagaimana akhirnya Halal Bihalal menjadi salah satu tradisi umat Muslim di Indoneia.
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) pernah menjelaskan empat makna dari Halal Bihalal yang digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah.
1. Dari segi hukum fikih
Halal Bihalal memiliki makna menjadikan sikap yang tadinya haram atau berdosa menjadi tidak halal atau berdosa lagi.
Kondisi tersebut dapat terjadi jika memenuhi syarat2 lain seperti taubat seperti menyesali perbuatan, tidak akan mengulangi lagi, dan meminta maaf. Jika berkaitan dengan barang, maka harus dikembalikan kecuali telah diridhai pemiliknya.
2. Dari segi bahasa
Makna halal bihalal secara kebahasaan adalah menyambung apa yang tadinya putus. Kondisi ini memungkinkan jika para pelaku menginginkan Halal Bihalal menjadi tempat untuk silaturahmi dan saling memaafkan.
Dengan begitu, setiap orang yang melakukannya akan menemukan hakikat Idul Fitri.
3. Tinjauan Qur’ani
Al-Quran menuntut supaya setiap aktivitas yang dilakukan umat Muslim merupakan hal baik dan menyenangkan semua pihak.
Inilah mengapa Al-Quran tidak hanya menuntut seseorang memaafkan orang lain tetapi juga berbuat baik akan seseorang yang pernah melakukan kesalahan.
Kontributor : Hillary Sekar Pawestri