Suara.com - Gagasan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) telah mengemuka sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Proyek yang penyelesaiannya terus mundur tersebut awalnya ditawar oleh dua negara yakni China dan Jepang. Menarik untuk diketahui bagaimana perbedaan penawaran proyek kereta cepat antara dari China dan Jepang.
Meskipun kini akhirnya Negeri Tirai Bambu memenangkan penawaran dengan pembentukan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai pemegang proyek. Kabar terbaru, proyek yang tak kunjung rampung itu berimbas pada pembengkakan biaya yang tak main-main.
Bahkan China Development Bank (CDB) disebut meminta Indonesia memberikan jaminan melalui APBN untuk menutup biaya pembengkakan yang ditaksir mencapai USD 7,9 miliar atau lebih dari Rp100 triliun.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan Indonesia dan CDB telah menyepakati besaran pinjaman untuk pembayaran biaya pembengkakan Kereta Cepat senilai USD 560 juta atau sekitar Rp 8 triliun.
Baca Juga: Polemik China Minta APBN Jadi Jaminan Utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Jika menilik penawaran China dan Jepang pada 2015 lalu sebelum perjanjian pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung diteken, jumlah biaya ini membengkak di luar estimasi. Dalam perencanaannya China dan Jepang sempat beradu proposal untuk memenangkan proyek pembangunan kereta cepat.
Ada perbedaan penawaran yang sangat signifikan antara kedua negara tersebut. Saat itu, penawaran diajukan kepada pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil.
Dari sisi China, negara itu memberi penawaran anggaran proyek sebesar USD 5,13 miliar. Indonesia diuntungkan karena China tak menuntut jaminan pemerintah lewat pembiayaan APBN. Subsidi tarif dan pembengkakan biaya juga menjadi tanggung jawab joint-venture company yang kemudian dipegang oleh KCIC.
Penawaran ini berbeda jauh dengan permintaan China Development Bank (CDB) untuk memberikan jaminan APBN demi menutup pembengkakan biaya proyek.
Kemudian, Jepang yang kalah penawaran awalnya memberikan nilai proyek USD 6,2 miliar. Jepang juga meminta jaminan pemerintah melalui pembiayaan APBN dan subsidi tarif.
Baca Juga: China Minta APBN Jadi Jaminan Utang Proyek Kereta Cepat, Pemerintah Didesak Bersikap Tegas
Kemudian jika terjadi pembengkakan biaya maka pemerintah Indonesia wajib menanggungnya. Tentu saja, penawaran ini kalah menarik jika dibandingkan dengan penawaran China.
Padahal, Jepang hampir saja terlibat dalam proyek kereta cepat lantaran di tahun sebelumnya pemerintah Indonesia dan Jepang bekerja sama dalam kajian proyek kereta semi cepat Jakarta – Surabaya sejauh 748 km. Di tengah-tengah perencanaan proyek kereta semi cepat, muncul ide baru untuk mendahulukan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Melansir laman resmi Kementerian Perhubungan, Indonesia dan Jepang sepakat untuk menandatangani kelanjutan Proyek Kereta Semi Cepat Jakarta – Surabaya melalui penandatanganan Summary Record On The Java North Line Upgrading Project pada 2019 lalu.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni