Agar Punya Manfaat yang Luas, Program Wakaf Harus Dijalankan dengan Efektif

Jum'at, 14 April 2023 | 11:15 WIB
Agar Punya Manfaat yang Luas, Program Wakaf Harus Dijalankan dengan Efektif
Alasan kenapa wakaf harus produktif. (Dok: Dompet Dhuafa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Awal sejarah wakaf memiliki kronologi yang panjang sejak masa kenabian hingga saat ini. Rentang waktu yang panjang tersebut berdampak pada transformasi wakaf dalam implementasinya agar lebih optimal dalam menjawab tantangan zaman. Namun, secara prinsip tidak boleh berubah, yaitu menahan (pokoknya) dan sedekahkan (hasilnya). Tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.

Hal unik yang dimiliki wakaf adalah multidimensi dan multinilai. Multidimensi artinya wakaf mampu menjangkau urusan dunia dan akhirat. Sedangkan multinilai memiliki arti bahwa wakaf bukan hanya bernilai ibadah, tapi juga nilai sosial. Selain itu, wakaf menjadi istimewa karena tergolong sebagai sedekah jariah yang terus mengalirkan pahala.

Wakaf mengandung prinsip altruisme, egaliter, progresif, dan produktif. Keberadaan wakaf sebagai instrumen ekonomi Islam tentu memiliki instrumen yang strategis untuk meraih kebahagiaan dunia-akhirat dan bernilai ibadah-sosial. Itulah cita-cita wakaf.

Sementara itu, literasi wakaf masih belum cukup dipahami oleh masyarakat, umat Islam khususnya. Hal ini berdampak pada tidak optimalnya pengelolaan wakaf untuk menjawab berbagai masalah yang ada. Persepsi wakaf di masyarakat masih berkutat hanya pada masjid, makam, dan madrasah. Belum lagi, pemahaman bahwa wakaf hanya bisa dilakukan dalam bentuk tanah atau ditunaikan dengan nominal yang besar. Itu kesalahan fatal yang menghambat optimalisasi potensi wakaf.

Baca Juga: Ternyata Ini Hal yang Terkandung di Dalam Sholat, Paket Lengkap Menurut Habib Jafar?

Di Indonesia, potensi wakaf begitu luar biasa. Berdasarkan data dari Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf secara keseluruhan diperkirakan mencapai Rp2000 triliun. Sedangkan wakaf uang mencapai Rp180 triliun. Namun, hanya tereaslisasi di bawah 10% dari potensi yang ada atau sekitar Rp860 miliar. Fakta ini cukup menarik sekaligus menjadi tantangan bagi para nazhir atau pengelola wakaf.

Salah satu hal yang dapat dilakukan nazhir untuk mendongkrak optimalisasi potensi wakaf di Indonesia adalah pengayaan serta pengelolaan program wakaf yang variatif, solutif, dan harus produktif. Sifat-sifat yang melekat pada pengelolaan program wakaf tersebut memiliki alasannya tersendiri.

Program wakaf mesti variatif, hal ini bertujuan agar membuka peluang para calon wakif atau pewakaf agar dapat memilih program yang sejalan dengan visi mereka dan apa yang mereka yakini. Dalam hal ini, riset menjadi penting agar mengetahui selera dan karakter para wakif dalam menyalurkan harta mereka.

Program yang variatif saja tidak cukup, program wakaf juga mesti solutif untuk menjawab masalah yang ada. Nazhir harus benar-benar jeli dalam melihat masalah yang ada. Penyelesaian harus menyentuh akar, bukan hanya memangkas ranting atau dahan. Program wakaf yang variatif juga memberikan pilihan bagi para calon wakif di tengah masyarakat yang heterogen seperti Indonesia.

Kemudian, agar meluaskan manfaat dan merawat keberlanjutan, wakaf juga harus dikelola secara produktif. Maksudnya adalah donasi wakaf yang terhimpun dari masyarakat atau umat diproduktifkan (baik melalui skema bisnis atau investasi) sehingga mampu menghasilkan surplus yang berkelanjutan. Donasi wakaf tersebut dapat berupa benda bergerak, seperti uang dan logam mulia seperti emas dan perak, maupun benda tidak bergerak, seperti lahan dan bangunan.

Baca Juga: Sempat Ogah Beri Tahu Agamanya, Farel Prayoga Jalani Umrah di Bulan Ramadan

Mekanisme seperti di atas sejatinya bukan hal baru, 1400 tahun lalu Umar bin Khattab pernah meminta saran kepada Nabi Muhammad SAW terkait tanah miliknya di Khaibar. Nabi SAW memberikan arahan pada umar agar menahan (pokoknya) tanah tersebut dan menyedekahkan (hasilnya atau surplusnya). Tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.

Kemudian, setelah tanah itu menghasilkan surplus, Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil, dan tamu. Selain itu, tidak dilarang bagi yang mengelola wakaf (nazhir) makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta. Terkait hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pasal 12.

Dompet Dhuafa meyakini wakaf adalah instrumen keuangan Islam yang memiliki potensi luar biasa untuk membangun peradaban. Melalui pendekatan kemanusiaan, Dompet Dhuafa selalu berupaya mengelola wakaf secara cermat dan amanah agar tepat sasaran dalam menjawab persoalan kesenjangan.

Dewasa ini, wakaf juga harus dan terus diupayakan agar dikelola secara profuktif agar mampu menghasilkan surplus dan menjadi sumber endowment fund  atau dana abadi untuk pembiayaan kebutuhan umat secara berkelanjutan, seperti pembiayaan pendidikan, penggerak roda ekonomi, dan layanan kesehatan.

Wakaf yang dikelola secara produktif juga harus menyesuaikan kebutuhan zaman, saat ini masalah pendidikan dan layanan kesehatan masih menjadi persoalan di Indonesia. Dompet Dhuafa sebagai nazhir menghadirkan sekolah berbasis wakaf produktif seperti Perguruan Islam Al-Syukro Universal.

Di bidang kesehatan, Dompet Dhuafa mengelola 7 rumah sakit berbasis wakaf yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Rumah Sakit (RS) Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa di Bogor, RS Hasyim Asyari, Jawa Timur, RSIA Sayyidah di Jakarta Timur, RS Lancang Kuning, Riau, RS Griya Medika dan RS AKA Medika Sribawono, Lampung, serta RS Mata Achmad Wardi yang merupakan hasil kolaborasi antara BWI dan Dompet Dhuafa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI