Suara.com - "Mari-mari merapat..seratus ribu-tiga..seratus ribu-tiga.." sorak seorang pedagang menjajakan barang dagangannya.
"Ayo..ayo...lihat-lihat dulu saja kak, mumpung persediaan masih banyak," sahut pedagang lain dengan suara kencang.
SAHUT-SAHUTAN pedagang di sela-sela lorong antarkios di Lantai 2 Blok III Pasar Senen memang terdengar nyaring tiap hari. Itu cara mereka mengharap cuan dari para pemburu pakaian bekas impor yang harganya jauh lebih murah ketimbang baju baru di swalayan.
Dari lorong-lorong sempit itu, mereka memendam kekhawatiran setelah gudang utama pakaian bekas impor di Lantai digerebek oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri bersama Polres Metro Jakarta Pusat pada Senin 20 Maret lalu. Pasalnya, pemerintah saat ini tengah gencar melakukan penindakan terhadap penjualan barang bekas impor yang dianggap merugikan bagi pangsa pasar produk lokal.
Baca Juga: Polisi Ungkap Kasus Pembunuhan Pedagang Bubur di Boyolali, Pelaku Ternyata Keponakan Korban
Padahal, Pasar Senen makin menunjukkan eksistensi bisnis pakaian bekas sejak pandemi Covid-19. Banyak orang yang menjadi reseller pakaian bekas impor dengan membeli di Pasar Senen, lalu menjualnya lagi secara online. Saat itu, pendapatan para pedagang di Pasar Senen meningkat drastis. Terlebih pada momen-momen tertentu seperti menjelang lebaran.
“Sangat luar biasa peningkatannya, karena banyak orang sekarang dengan modal misalkan Rp 5 juta, buka usaha. Hasilnya juga lumayan dan banyak peminatnya. Memang lagi trend juga kan baju thrifting itu,” kata Koordinator Pedagang Pakaian Bekas Impor Pasar Senen Rifai Silalahi kepada Suara.com, Minggu 9 April 2023.
Sayangnya, kejayaan itu tak berlangsung lama lantaran pemerintah saat ini sedang semangat membakar balpress berisi pakaian bekas impor ilegal di seluruh Indonesia. Momen Ramadan kali ini, tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Para reseller pakaian bekas impor mulai khawatir dengan penindakan masif yang dilakukan pemerintah.
Menurut dia, meski saat ini sudah memasuki Ramadan dan momen Lebaran makin dekat, pendapatan para pedagang tidak mengalami peningkatan, justru omset penjual pakaian impor bekas hampir sama dengan hari-hari biasa.
“Ketakutan orang lihat di media katanya baju bekas lagi dirazia, lagi ditutup, terus ada lagi karena sekarang ini beberapa platform e-commerce juga sudah mulai dibanned juga nih. Itu pengaruh karena yang belanja ke Senen itu kan bukan cuma pemakai, tapi juga banyak juga yang untuk dijual online. Jadi, itu ditutup, orang-orang takut ada razia. Begitulah sampai sekarang masih sepi,” tutur Rifai pasrah.
Baca Juga: Pipa AC Bocor, Pedagang Pasar Tanah Abang Panik Dagangannya Mendadak 'Kebanjiran'
Menurut dia, selama Ramadan tahun ini pendapatan para pedagang tidak mengalami peningkatan. Hal ini, lanjut Rifai, diperparah dengan tidak ada barang baru masuk lagi lantaran pembatasan di pintu-pintu masuk impor pakaian bekas. Dengan begitu, pedagang tidak bisa memperbarui stok barang dagangan mereka untuk menarik pembeli.
Menanti Solusi Pemerintah
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mendatangi Pasar Senen untuk berdialog dengan pedagang pakaian impor bekas pada Kamis, 30 Maret lalu. Pada pertemuan itu, Zulhas mengatakan bahwa pedagang boleh melanjutkan usahanya hingga stok pakaian bekas habis.
“Silakan dagang sampai habis. Oleh karena itu, kami meminta karena ini sedang dalam pembicaraan dengan penegak hukum di mana pun berada kami kejar pelaku penyelundupannya, itu dulu yang pertama,” ucap Zulhas.
Menanggapi itu, Rifai mengaku bingung dengan permintaan pemerintah agar para penjual menghabiskan sisa stok barang dagangan. Pasalnya, tidak ada kejelasan mengenai rencana lanjutan pemerintah jika pakaian bekas impor para pedagang sudah habis.
“Saya akan sampaikan ke para pedagang semua bagaimana karena kalau dibilang barang mau habis, ya betul juga sih barangnya bakal habis dan enggak ada yang masuk lagi. Nah, nanti apa yang mau dijual kami belum tahu,” ujarnya.
Menkop UKM Teten sempat mengajak pedagang pakaian bekas impor untuk alih usaha menjual produk-produk lokal. Namun, Rifai menilai itu bukan hal yang mudah. Terlebih, penjualan produk lokal dengan pakaian bekas impor memiliki pangsa pasar masing-masing sesuai selera konsumen.
“Kalau alih usaha kayanya nggak segampang itu juga, karena kalau dibilang jual baju lokal yang bagaimana? Masuk barangnya dari mana? Pembayarannya bagaimana? Harganya bagaimana? Kan kami enggak tahu juga,” ucap Rifai.
Setidaknya ada sekitar 1.500 pedagang di 807 kios yang bergantung hidup dari pakaian bekas impor di Pasar Senen tersebut. Mereka bingung, bagaimana kelangsungan usahanya setelah stok barang habis. Rifai mengaku masih menunggu solusi dari pemerintah yang belum jelas hingga saat ini.
“Makanya kami sendiri sebetulnya bingung, mau ditutup tapi solusinya sampai sekarang belum jelas. Anggaplah barang-baran ini habis sampai lebaran, terus setelah itu bagaimana? Sampai sekarang belum ada pembicaraan lanjutan mengenai usaha baju impor bekas ini, belum ada,” tutur Rifai.
Menurut dia, para pedagang saat ini kebingungan dengan rencana masa depan mereka. Sebab, mayoritas dari mereka telah bertahun-tahun menggantungkan hidup dari penjualan pakaian bekas impor. Oleh karena itu, mereka hanya akan menunggu kebijakan pemerintah selanjutnya.
Tak ada solusi bagi para pedagang pakaian bekas impor ini juga menjadi sorotan bagi Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Dia menilai langkah pemerintah melakukan penindakan secara masif terhadap barang dagangan pakaian bekas impor kurang tepat. Pasalnya, menurut dia, isu utama pemutusan hubungan kerja (PHK) di industry tekstil disebabkan oleh pasar ekspor yang lemah dan barang impor Cina membanjiri pasar domestik.
"Salah tembak kalau mau berantas thrifting lalu produk lokal laku. Yang terjadi sekarang konsumen geser beli barang jadi dari Cina yang harganya mirip barang thrifting, sementara para pedagang thrifting kebingungan dan tidak ada kompensasi dari pemerintah,” ujar Bhima.
Dia menegaskan para pedagang pakaian thrifting di Pasar Senen dan sejumlah pasar daerah lainnya bukanlah importir, tetapi hanya pedagang eceran yang perlu mendapatkan bantuan. Menurut dia, penindakan yang saat ini dilakukan justru hanya akan memberikan tekanan terhadap pendapatan pedagang kecil.
“(Seharusnya) lebih kepada kompensasi untuk pedagang kecil thrift sehingga ada win-win solution,” tutur Bhima.
Staf Khusus Menteri Koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) Fiki Satari menyatakan, pemerintah melarang praktik impor pakaian bekas, bukan thrifting.
Pihaknya tengah melakukan kajian mendalam terkait dampak, membuka hotline pengaduan dari UMKM terdampak dan merumuskan solusi-solusi bagi UMKM terdampak.
Ia mengakui, impor pakaian bekas ilegal ini dampaknya masif. Seperti kehilangan potensi serapan 67 ribu tenaga kerja dengan total pendapatan karyawan Rp 2 triliun per tahun. Kehilangan potensi PDB multi-sektor industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sebesar Rp 11,83 triliun per tahun.
Sementara itu, kerugian negara pada sektor pajak sekitar Rp 6,2 triliun (Pajak Rp1,4 triliun dan Bea Cukai Rp 4,8 triliun). Tak hanya itu, potensi bencana ekologis juga sangat besar karena sebagian besar produk impor pakaian bekas ilegal itu tidak terjual dan jadi sampah tekstil. Contoh kasus di Kenya yang mencapai 150-200 ton limbah tekstil per hari dan gunung sampah Atacama di Chile karena tumpukan pakaian bekas impor.
"Begitu juga dengan potensi dampak kesehatan seperti hasil Balai Pengujian Mutu Barang ditemukan bakteri E-coli, S. Aureus sampai jamur kapang dan khamir," kata Fiki.
Selain itu, kata dia, KemenKop-UKM berkomitmen mendampingi dan menyiapkan UMKM fesyen lokal sebagai substitusi barang jualan. Mereka juga meminta e-commerce dan socio-commerce (iDEA, Tokopedia, Lazada, Shopee, Blibli, Google, Youtube, Tiktok dan Meta) untuk menghentikan penayangan konten dan penjualan produk impor pakaian bekas.
Jalan Tikus Menuju Pasar Indonesia
Mengenai pintu masuk barang-barang thrifting, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto mengungkapkan adanya sejumlah titik rawan pintu masuk pakaian bekas impor.
"Pesisir Timur Sumatera; Batam, Kepulauan Riau via Pelabuhan tidak resmi dengan modus disembunyikan pada barang lain atau undeclare," kata Nirwala kepada Suara.com. Minggu 9 April.
Selain itu, juga berada di perbatasan Kalimantan Barat seperti Jagoi Babang, Sintete, dan Entikong.
Nirwala mengungkapkan pakaian bekas impor yang umumnya berasal dari Cina, Singapura, dan Malaysia itu masuk ke Indonesia dengan modus disembunyikan lewat barang pelintas batas, barang bawaan penumpang, atau menggunakan jalur-jalur kecil melewati hutan yang sulit terdeteksi.
Sementara itu, Rifai mempertanyakan sikap pemerintah yang baru menggalakkan penindakan terhadap penjualan barang bekas impor baru-baru ini. Pasalnya, Kementerian Perdagangan telah menerbitkan aturan tersebut sejak 2015 lalu melalui Permendag Nomor 51/M-Dag/PER/7/2015. Untuk itu, Rifai menduga ada pihak tertentu yang ‘bermain’ di pintu masuk pakaian bekas impor.
“Sekarang yang jadi pertanyaan kan barang ini bisa masuk ke sini, artinya kan ada yang meloloskan. Seharusnya kalau memang dilarang, tinggal jaga Pelabuhan. Selesai,” ucap Rifai.
“Artinya, ada oknum-oknum tertentu yang meloloskan barang itu ke Indonesia,” lanjutnya.
Di sisi lain, Nirwala mengakui praktik penyelundupan balpress berisi barang-barang bekas impor hingga saat ini masih terjadi. Namun, dia menyebut hal itu terjadi karena besarnya pangsa pasar barang bekas impor dengan daya tawar harga murah.
Terlebih, lanjut dia, penjualan thrifting saat ini mulai menyasar kalangan atas karena orang umumnya ingin terlihat mempunyai barang bermerek. Dan thrifting menawarkan barang-barang branded dengan harga yang jauh di bawah harga baru tetapi barangnya asli.
Lebih lanjut, negara-negara pengekspor yang tidak melarang penjualan komoditi tersebut dan masyarakat Indonesia yang kurang menyadari dampak penggunaan pakaian bekas juga sebagai salah satu alasan penyelundupan balpress masih terjadi.
"Selain itu, luasnya wilayah Indonesia dengan garis pantai dari barat ke timur serta perbatasan darat Indonesia yang dekat dengan negara tetangga juga menjadi tantangan pengawasan bagi Bea Cukai," tutur Nirwala.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang menjadi kendala bagi Bea Cukai untuk menindak penyelundupan balpress. Contohnya ialah resistensi yang kuat dari masyarakat hingga banyaknya pelabuhan tikus yang sulit untuk diawasi.
Nirwala menuturkan, pihaknya telah melakukan penindakan terhadap balpress berisi barang bekas impor di laut dan darat sebanyak 234 kali dengan perkiraan nilai barang sebesar Rp 24,21 miliar pada 2022. Sebelumnya, dia juga mengklaim Direktorat Jenderal Bea Cukai juga telah menindak balpress ini sebanyak 169 kali dengan nilai sekitar Rp 10,37 miliar pada 2021.
“Jumlah ini menurun drastis dibandingkan dengan penindakan yang berhasil dilakukan pada tahun 2019, di mana Bea Cukai berhasil melakukan penindakan balepress sebanyak 408 kali dengan perkiraan nilai barang sebesar Rp 26,8 miliiar,” ungkap Nirwala.
Menurut analisa di lapangan, ujar dia, penurunan jumlah penindakan balpress terjadi karena pandemi Covid-19. Sebab mayoritas kegiatan ekonomi terhenti dan banyak negara yang melakukan lockdown serta menutup semua jalur perbatasan sehingga upaya penyelundupan barang bekas berkurang.
Bea Cukai kekinian makin gencar menggalakkan fungsi pengawasan dan penindakan, baik di laut dan darat, bekerja sama dengan aparat penegak hukum lain untuk menutup celah-celah penyelundupan barang bekas.
Dia menambahkan, saat ini Bea Cukai aktif menjaga keamanan Indonesia dari masuknya barang-barang ilegal, termasuk pakaian bekas. Salah satunya ialah dengan meningkatkan kegiatan pengumpulan informasi, survei pasar, data crawling, dan kegiatan lain yang bertujuan untuk meningkatkan penegakan hukum.
Pihaknya juga menjalankan strategi berlapis yaitu bersinergi dengan tim pengawasan laut dan darat di titik-titik pendaratan, pergudangan dan jalur distribusi.
“Membentuk sinergi poros pengawasan antarvertikel yang berada di pesisir timur Sumatera,” tambah Nirwala.
Upaya lainnya ialah menjalankan operasi laut terpadu yang dikoordinasikan secara terpusat dengan Jaring Sriwijaya hingga Jaring Wallacea untuk menutup jalur penyelundupan di wilayah Indonesia bagian barat hingga timur.
Selain itu, Bea Cukai melakukan pengawasan terpusat melalui Pusat Komando dan Pengendalian (Puskodal) untuk memantau kapal-kapal yang dicurigai membawa barang ilegal.