Suara.com - Ditengah hingar bingar momen Initial Public Offering (IPO) PT Trimegah Bangun Persada Tbk yang berlangsung hari Rabu (12/4) di Bursa Efek Indonesia (BEI), terdapat satu isu negatif emiten dengan kode saham NCKL tersebut.
Isu tak sedap itu terkait lingkungan di tempat mereka menghasilkan nikel, yaitu di Pulau Obi, Maluku Utara. Bersamaan dengan IPO perusahaan, masyarakat Pulau Obi bersama JATAM, Enter Nusantara dan Trend Asia menggelar aksi komunikasi langsung di BEI.
Mereka menyerahkan dokumen laporan yang berisi jejak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan dari operasi perseroan di Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Anak perusahaan Harita Group itu diproyeksikan akan mendapatkan peningkatan kekayaan bersih dari USD 1,1 miliar menjadi USD 4,6 miliar.
Baca Juga: Bukannya Turun, Pertamina Justru Naikkan Lagi Harga BBM
Aksi ini dilakukan untuk menyampaikan kepada para pialang, sebagai perantara publik dalam jual-beli saham terkait bahaya investasi di NCKL.
PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) merupakan anak usaha Harita Group yang mengoperasikan smelter pencucian asam bertekanan tinggi/High Pressure Acid Leaching (HPAL) pertama di Pulau Obi, Maluku Utara.
Perusahaan ini memproduksi 60.000 ton nikel per tahun. Teknologi HPAL kemudian mengubah bijih kadar rendah lokal menjadi endapan hidroksida campuran, bentuk nikel yang dapat diproses lebih lanjut untuk membuat baterai.
Dalam operasionalnya, lima perusahaan di bawah naungan Harita Group diduga telah meluluhlantakkan wilayah daratan atau lahan perkebunan warga.
Kelima perusahaan itu juga dianggap telah mencemari sumber air, air sungai, dan air laut, mencemari udara akibat debu dan polusi yang berdampak pada kesehatan warga sekitar.
Baca Juga: Intip Kecantikan Kepulauan Widi Maluku Utara yang Dilelang Situs Asing
Kelima perusahaan yang dimaksud adalah PT Trimegah Bagun Persada, PT Gane Sentosa Permai, PT Halmahera Persada Lygend, PT Megah Surya Pertiwi, dan PT Halmahera Jaya Feronikel, yang kelimanya berada di Pulau Obi,
Tak hanya itu, perusahaan juga dianggap telah memicu konflik sosial akibat adanya intimidasi dan kekerasan berulang terhadap warga yang berusaha mempertahankan tanah dan ruang hidupnya.
PT Trimegah Bangun Persada bersama sejumlah perusahaan lain milik Harita Group juga melakukan pencaplokan lahan warga secara sepihak tanpa negosiasi dan ganti rugi yang adil.
"Lili Mangundap dan empat keluarga lain yang menjadi pemilik lahan di desa Kawasi dicaplok lahannya oleh perusahaan," kata Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional dalam keterangan persnya yang diterima Suara.com, Rabu (12/4/2023).
Jamil mengungkap, perseroan dan pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan telah berencana merelokasi warga Kawasi ke Perumahan Eco Village, berjarak 5 kilometer ke arah selatan dari Kawasi.
Bagi warga, relokasi ini tak hanya menyingkirkan mereka dari rumah tetapi juga mencabut nilai budaya dan historis warga.
"Tak hanya itu, warga juga tersingkir dari sumber kehidupan mereka seperti tanah, kebun, dan laut,” kata Jamil.
Operasional pertambangan Harita Group mengakibatkan sumber air warga Kawasi tercemar dan sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan.
Sebelum tambang masuk dan beroperasi, warga bisa mendapatkan air secara gratis, tapi kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih.
Kondisi ini semakin menyulitkan warga yang secara ekonomi kekurangan karena mereka terpaksa menggunakan sumber air yang telah tercemar. PT Trimegah Bangun Persada dan perusahaan milik Harita Group lainnya di kawasan ini membuang limbah ke sungai dan mengalir ke laut.
Hal ini menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan. Ekosistem laut di Pulau Obi rusak akibat pipa limbah yang mengarah ke laut. Ikan-ikan yang selama ini dikonsumsi warga pun tercemar logam berat.
Selain pencemaran di laut, aktivitas perusahaan yang begitu dekat dengan pemukiman, sehingga warga dipaksa berhadapan dengan debu, kebisingan, dan lingkungan yang kotor.
Saat musim kemarau, peralatan dapur, meja makan, kursi, lantai, hingga dalam kamar penuh dengan debu dari aktivitas perusahaan dan debu batubara.
Berdasarkan informasi dari warga dan petugas di Polindes Kawasi, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah kesehatan yang paling utama di Kawasi. Kebanyakan pasien adalah balita.
Tercatat ada 124 bayi berusia 0-1 tahun yang mendatangi Polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Balita umur 1-5 tahun tercatat sebanyak 283, menyusul berikutnya adalah kelompok usia 20-44 tahun sebanyak 179 orang.
Selain membawa masalah kesehatan, operasional Harita Group juga mengabaikan aspek K3 dari pekerjanya. Sepanjang tahun 2022, sektor pertambangan dan pengolahan mineral mendominasi kecelakaan di Maluku Utara, khususnya milik Harita Group.
Berdasarkan pemberitaan media, dalam rentang waktu 2019-2023 tercatat 8 kasus dengan 2 orang korban meninggal dunia dan 5 orang terluka. Fakta ini membantah klaim Harita Group yang mengatakan bahwa tidak ada korban jiwa karena kecelakaan kerja.
Dalam operasional tambang nikel Harita Group, melalui PT Halmahera Persada Lygend (HPL), juga menggunakan PLTU batubara untuk operasional. Total kapasitas PLTU sebesar 210 MW.
PT HPL merupakan kerjasama antara Harita Group dan Ningbo Lygend asal Tiongkok yang memiliki sekitar 2.030 MW PLTU dalam proses pembangunan dan pra-perizinan. Perusahaan itu juga menargetkan total PLTU beroperasi 4.200 MW di Pulau Obi.
Pembangunan PLTU itu melanggar komitmen Presiden Tiongkok, Xi Jinping, melalui pidatonya di tahun 2021, yang menyatakan tak akan membangun PLTU baru di luar negeri.
Dengan segala kerusakan lingkungan dan sosial yang dibuat oleh Harita Group, perusahaan ini memiliki penjamin emisi yakni Credit Suisse Group, BNP Paribas, Citigroup, Mandiri Sekuritas, DBS, OCBS Securities, dan UOB Kay Hian.
"Enam penjamin emisi dari perusahaan Harita Group, kecuali Mandiri Sekuritas, merupakan anggota Net-Zero Banking Alliance. Kerjasama mereka dengan Harita Group ini tentu mencederai komitmen GFANZ itu sendiri dalam mendukung capaian target nol emisi dan transisi energi bersih yang berkeadilan," kata Novita Indri dari Trend Asia.
Hak jawab
Terkait masalah perusakan lingkungan itu, redaksi Suara.com menerima surat hak jawab dari Harita Group, Jumat (14/4/2023).
Melalui surat tersebut, Corporate Affairs Manager PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Group) Anie Rahmi membantah adanya kejahatan lingkungan dan kemanusiaan dari operasi perseroan di Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Sesuai ketentuan kode etik jurnalistik, kami sertakan sejumlah poin penting yang merupakan hak jawab dari Harita Group.
Pertama, kehadiran dan keberadaan perseroan di Desa Kawasi sejak tahun 2010 sesuai dengan perizinan yang diberikan pemerintah serta diawasi dan dibawah pembinaan pemerintah lewat Kementerian terkait.
PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Group) adalah Pemrakarsa dan Pelaksana Program Strategis Nasional (PSN) Kawasan Industri Pulau Obi (KIO) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Kedua, perseroan patuh pada semua aturan yang berlaku, memiliki perizinan lingkungan yang berlaku dan memiliki komitmen tinggi dalam menerapkan praktek pertambangan
berkelanjutan dengan mengedepankan pengelolaan lingkungan dalam setiap kegiatannya
dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah operasional.
Ketiga, perseroan telah memiliki seluruh perizinan lingkungan yang disyaratkan dan dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan, Perseroan bekerjasama dengan laboratorium independen terakreditasi. Perseroan juga telah melakukan pemantauan emisi, udara ambien dan kebisingan lokasi titik pantau yang menjadi kewajiban dan hasilnya memenuhi Baku Mutu.
Perseroan juga telah melakukan pemantauan pada titik penaatan pembuangan air limbah, baik limbah domestik maupun limbah kegiatan pertambangan sesuai dengan yang tercantum dalam Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) dan hasilnya memenuhi Baku Mutu.
Keempat, sampai saat ini masyarakat Desa Kawasi masih menggunakan sumber air yang ada dan berdasarkan pengujian rutin dinyatakan masih memenuhi baku mutu. Mataair Desa Kawasi secara kuantitas juga cukup besar terbukti dengan masih banyaknya air berlebih yang
mengalir kehilir.
Kelima, tidak ada limbah yang dibuang ke sungai dan mengalir ke laut. Perseroan menempatkan sisa hasil pengolahan (SHP) dari smelter pyrometallurgy berupa slag nikel di lubang bekas tambang dan sebagian dimanfaatkan menjadi bahan pembuatan batako, precast dan lapisan untuk pengeras jalan.
Sementara SHP dari refinery hydrometallurgy diolah menggunakan filter press dan ditempatkan dilubang bekas tambang (drystack). Adapun jika ada air dari proyek kami yang keluar ke lingkungan, sudah melalui proses pengolahan terlebih dahulu dan memenuhi baku mutu yang ditetapkan.
Keenam, tidak ada ambil alih lahan warga secara sepihak, intimidasi dan kekerasan berulang. Perseroan sangat menghormati hak asasi manusia. Perseroan menggunakan area kawasan hutan yang diperoleh melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Apabila ada tanaman masyarakat di dalam kawasan hutan tersebut, atas dasar itikad baik, Perseroan menggantinya dengan program tali asih atau ganti untung tanaman dengan berpedoman pada Peraturan Bupati Halmahera Selatan.