Mengenal Apa Itu UU Perampasan Aset yang Diperjuangkan Mahfud MD, Ditolak Mentah-mentah Bambang Pacul

Minggu, 02 April 2023 | 16:42 WIB
Mengenal Apa Itu UU Perampasan Aset yang Diperjuangkan Mahfud MD, Ditolak Mentah-mentah Bambang Pacul
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Mahfud MD dalam rapat bersama Komisi III DPR pada Rabu (29/3/2023). - Apa Itu UU Perampasan Aset [Tangkapan layar]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Undang-Undang Perampasan Aset kembali muncul ke permukaan setelah Menkpolhukam, Mahfud MD meminta kepada DPR RI untuk mendukung kehadiran Undang-Undang tersebut. Namun sayang, permintaan tersebut justru ditolak oleh Ketua Komisi III, Bambang Pacul, apabila bukan perintah dari Ketua Umum Partai.

Lantas, apa itu UU Perampasan Aset? Simak informasi lengkapnya berikut ini.

Pakar Hukum Universitas trisakti, Prof Abdul Fickar Hadjar menjelaskan secara terminologi perampasan aset tersebut dimaksudkan untuk aset-aset hasil kejahatan. Hal tersebut dikarenakan ada upaya-upaya yakni perampasan.

Sejauh ini, aset yang disita dan juga dirampas oleh para penegak hukum pada akhirnya harus melalui putusan pengadilan. Jadi, aset tersebut harus berpindah tangan jika ada lembaga, peristiwa hukum atau putusan pengadilan, baru bisa dilakukan penyitaan bisa dilelang.

Baca Juga: Anggota DPR Minta Direksi Pertamina Dievaluasi Total Pasca Kebakaran Kilang Dumai

Hal tersebut menunjukkan bahwa kita menciptakan sebuah sistem baru atau lembaga baru dalam penegakan hukum. Karena pada dasarnya dalam penegakan hukum perdata sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan untuk menyita, melelang dan memberikan hasilnya kepada yang berhak.

Sedangkan, bagi pidana yang dilakukan penegak hukum seperti misalnya Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri yang bisa merampas aset tersangka atau terdakwa. Namun, pada saat dipindah tangankan, seperti misalnya perdata, semua tetap harus berdasarkan putusan pengadilan.

Melalui Undang-Undang Perampasan Aset tersebut, di satu sisi dijaga kepentingan hak-hak masyarakat, di sisi lain kita turut memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas aset dari publik. Namun, ia merasa bahwa apabila aset tersebut hasil dari tindak pidana itu tidaklah bermasalah.

Dijelaskan juga bahwa sejauh ini, Kejaksaan mempunyai kewenangan meskipun dinilai kurang aktif dikarenakan hanya menyita aset-aset yang memang perkara korupsi ataupun pidana. Pada saat adanya perkara Kejaksaan bisa menyita, tetapi yang menentukan bisa dirampas atau tidak tetap pengadilan.

Dimana nantinya, bunyi Undang-Undang Perampasan Aset sama dengan putusan dari pengadilan. Jadi, hanya tinggal melakukan eksekusi meskipun tetap harus ada proses.

Baca Juga: 6 Kontroversi Arteria Dahlan, Gertak Mahfud Md Hingga Minta OTT KPK Tak Diberlakukan

Namun, disebutkan juga bahwa harus ada keseimbangan perlindungan terhadap aset masyarakat dan juga keleluasaan negara merampas aset hasil dari tindak pidana.

Dalam perkara perdata, ada juga lembaga yang dinamakan parate eksekusi. Hal tersebut merupakan perjanjian yang tak harus menggunakan proses peradilan, perjanjian yang dijadikan notaris dan bisa langsung bisa melakukan eksekusi, tidak harus melewati proses yang panjang seperti pengadilan.

Namun, dalam perkara pidana tersebut  nantinya terdapat satu lembaga yang memberikan di satu sisi kewenangan kepada negara untuk merampas aset dari publik. Dengan adanya persyaratan tersebut, memang hasil tindak pidana, tanpa proses peradilan dan menjadi hak negara.

Saat ini, ia memberikan saran untuk segera dipikirkan guna menciptakan satu lembaga yang bisa merampas aset tanpa harus ada keputusan pengadilan. Namun, Fickar menegaskan bahwa hal tersebut harus dikuatkan juga secara hukum, mempunyai dasar sosiologis, mempunyai dasar yuridis.

Meskipun terdapat lembaga yang harus diperhatikan hak-hak orang yang dirampas, contohnya dengan memberi definisi jelas terhadap status aset yang dirampas seperti misalnya kredit mobil dimana perampasan aset tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh debt collector.

Sejauh ini, DC mengambil mobil dan motor kredit tanpa adanya putusan pengadilan. Namun, tak ada lembaga yang melegalkan karena bisa pula melawan hukum. Hal tersebut dilakukan untuk kepemilikan kendaraan tersebut sebenarnya sudah pindah ke debitur meskipun masih belum lunas.

Terobosan tersebut mungkin akan dihadirkan oleh Undang-Undang Perampasan Aset tersebut tanpa adanya proses pengadilan terhadap aset-aset tertentu yang dimana nantinya akan di kualifikasi secara teknis.

Ia memandang bahwa UU Perampasan Aset ini merupakan pikiran baru guna mempercepat roda putaran ekonomi agar keduanya bisa terlindungi. Di satu sisi masyarakat bisa terlindungi dalam berusaha, dan di sisi lain negara juga bisa mempertahankan kehidupan kelembagaannya.

Kontributor : Syifa Khoerunnisa

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI