Suara.com - Indonesia sudah dipastikan batal menjadi tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia U-20 2023. Hal itu tertuang dalam pernyataan resmi FIFA pada Rabu (28/3/2023) lalu.
Meski FIFA tidak menyebut secara spesifik penyebab pembatalan itu, namun publik telanjur mengasumsikan jika hal itu terkait dengan penolakan terhadap kedatangan Timnas Israel di Indonesia yang marak beberapa waktu lalu.
Salah satu pihak yang menyuarakan penolakan itu adalah PDI Perjuangan. Sedikitnya ada dua kepala daerah dari PDI Perjuangan yang secara terbuka menyatakan penolakannya, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali I Wayan Koster.
Selain itu, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto juga menyarakan bahwa partainya menolak kedatangan Timnas Israel untuk berlaga di Piala Dunia U-20 yang tadinya akan digelar di Indonesia.
"Tanpa sikap penolakan terhadap Israel tidak akan pernah lahir kompleks GBK, yang mencerminkan semangat kita untuk membangun supremasi di dunia olahraga," kata Hasto dalam konferensi pers di kawasan GBK, Jakarta, Kamis (30/3/2023) sore.
Namun, ia juga menyatakan kecewa ketika FIFA ketuk palu dan menyatakan Indonesia batal menjadi tuan rumah ajang bergengsi itu.
"Kami sangat menyesalkan dan bersedih bahwa akhirnya FIFA membatalkan status tuan rumah Piala Dunia U-20. Ini tentu menjadi pelajaran berharga. Sikap yang kami sampaikan sejak awal, tidak pernah menolak Piala Dunia U-20 digelar di Indonesia," ujar Hasto dalam pernyataan resminya pada awak media.
Lantas seperti apakah sosok Hasto Kristiyanto? Berikut ulasannya.
Saat ini, Hasto Kristiyanto menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan. Minatnya pada politik telah tumbuh sejak duduk di bangku SMA Kolese de Britto Yogyakarta. Ketika itu, ia sering sekali membaca buku-buku politik.
Baca Juga: Bukan karena Penolakan Israel, Ternyata Ini Alasan FIFA Batal Gelar Piala Dunia U-20 Indonesia
Ketika berkuliah di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), pria kelahiran 7 Juli 1966 ini mulai aktif di sejumlah organisasi mahasiswa. Ia bahkan sempat menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UGM.
Dari sana lah, Hasto mulai tertarik untuk terjun ke politik praktis. Selang waktu berjalan, ia memutuskan untuk bergabung dengan PDIP.
Bersama partai berlogo banteng moncong putih, ia kemudian terpilih menjadi anggota Komisi VI DPR RI periode 2004-2009 untuk daerah pemilihanNgawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan dan Trenggalek Jawa Timur. Sementara di alat kelengkapan DPR RI, Hasto masuk dalam Badan Anggaran.
Ketika menjadi anggota DPR RI, ia dikenal lantang menolak sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU), di antaranya RUU Free Trade Zone Kawasan Batam.
Menurut dia, di balik RUU itu ada kepentingan sejumlah perusahaan besar yang ingin berinvestasi di wilayah Batam dan sekitarnya. Namun RUU itu tetap diproses hingga menjadi Undang-Undang.
Ia juga sempat menjadi pengusul sejumlah hak angket, diantaranya Hak Angket Tolak Impor Beras pada 2006 dan Hak Angket kenaikan harga BBM.
Tak seperti politisi lainnya, kiprah Hasto di DPR RI terhenti di 2009. Ia gagal kembali melenggang ke Senayan pada Pemilu 2009.
Meski begitu, ia mengaku bangga menjadi politikus yang menurutnya merupakan jalan pengorbanan. Kini ia menjadi pengajar dan motivator di internal partainya.
Kontributor : Damayanti Kahyangan