Suara.com - Hampir setiap bulan Ramadan diwarnai aksi tawuran remaja di Kota Metro Politan. Pemicunya kadang cuma masalah sepele, beradu gengsi, seperti permainan “Perang Sarung”. Tak jarang tawuran itu merenggut nyawa.
Teranyar, peristiwa nahas terjadi di awal Ramadan menjelang sahur, Kamis, 23 Maret 2023. Seorang pemuda bernama Muhamad Jatmico meregang nyawa di Jalan Banjir Kanal Barat, Kelurahan Jatipulo, Palmerah, Jakarta Barat. Jatmico tewas setelah diserang oleh sejumlah remaja menggunakan senjata tajam clurit.
KETIKA tengah asik main gitar di teras rumah, ponsel Acoy tiba-tiba berdering. Dari ujung telepon, Acoy mendengar kabar teman-temannya sedang bentrok dengan kelompok pemuda kampung sebelah.
Meski telah dipagari tembok antar kampung tersebut, tak berarti bisa menghentikan pertikaian antara warga Kota Bambu dan Jatipulo. Dua kampung itu berada di Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat.
Tanpa pikir panjang, permuda 20 tahun itu langsung menaruh gitar usang yang sedari tadi dipeluknya. Sejurus ia bergegas menuju perbatasan perkampungan tersebut.
Ketika keluar dari gang rumahnya, Acoy tak sendiri, teman-temannya yang lain sudah menanti. Di sana sudah disiapkan berbagai jenis senjata tajam, mulai dari celurit hingga golok berjeruji atau biasa mereka sebut golok sisir.
Tanpa kata-kata arahan, Acoy langsung menggenggam celurit berukuran 30 cm. Langkah kakinya makin cepat menuju ke lokasi bentrok.
Agar tak dikenali, Acoy melepas kaos untuk dijadikan penutup wajah. Seketika tubuh kurusnya telanjang dada.
Setibanya di lokasi, Acoy bersama pasukan-nya yang dinamai Komandan Pasukan Selon 215 alias Kopastel langsung ambil posisi siaga satu, pertanda siap menyerang. Meski terjadi hujan batu dan botol kaca, namun tidak mengubah barikade mereka.
Baca Juga: Jadwal Buka Puasa dan Sholat di Purwakarta 30 Maret 2023
“Satu..Dua..Tiga.. Maju..!!” pekik salah seorang anggota yang mengomando serangan.
Tak berselang lama, salah seorang kelompok lawan terjatuh. Pemuda itu langsung dikeroyok oleh anggota Kopastel.
Saat peristiwa itu terjadi, Acoy langsung mundur ke belakang, lantaran betis kirinya terkena pecahan beling akibat lemparan botol kaca dari pihak lawan. Selain itu Acoy mengaku tidak tega menyiksa musuhnya yang sudah terkapar tak berdaya.
“Gue gak ikut ngebagi (menghajar) karena udah jatuh, takutnya anak orang mati. Lagian pas itu kaki gue kena beling,” kata Acoy saat ditemui Suara.com di sebuah warung kopi, Kota Bambu, Palmerah, Senin, 27 Maret lalu.
Pemuda yang hanya lulusan sekolah dasar pertama ini mengaku, dirinya hampir tidak pernah absen dalam aksi tawuran. Tetapi harus ada alasan yang masuk akal.
Salah satu alasan yang rasional bagi Acoy agar terlibat dalam tawuran yakni jika ada teman-nya yang disakiti oleh orang lain atau diserang kelompok lain.
“Intinya solidaritas sama kawan aja. Kalau temen kita diapa-apain masa kita diam aja, pasti kita serang balik,” ucap Acoy.
Kekinian, sering ada penjagaan atau patrol aparat kepolisian di kawasan perkampungannya. Situasi itu membuatnya berpikir dua kali untuk ikut tawuran.
“Kalo sekarang kayanya enggak. Soalnya rapat bangat (penjagaannya). Hampir tiap jam polisi keliling,” ujar Acoy.
Selain penjagaan ketat dari pihak kepolian, faktor kehilangan sahabat karib, jadi alasan Acoy tidak mau lagi terlibat dalam bentrokan antar kampung.
Sahabat Acoy sejak sekolah dasar, berinisial RA, tewas saat tawuran antar kampung pada Ramadan tahun lalu. Dada sebelah kirinya tertembus senjata tajam, hingga beberapa ruas tulang rusuknya patah.
“Abis almarhum meninggal, gue mutusin buat berhenti tawuran.”
Ditinggal mati sahabat
Mata Acoy berkaca-kaca saat menceritakan sahabatnya yang berinisial RA tewas, akibat tawuran. Dada kiri RA tertembus senjata tajam, bahkan beberapa ruas tulang rusuknya patah.
RA, merupakan sosok penting bagi Acoy. Bukan hanya sekedar sahabat, Acoy telah menganggap RA sebagai keluarga.
Pasalnya saat Acoy sedang dalam kondisi koma di rumah sakit selama 1 minggu lebih 1 hari, akibat kecelakaan, RA selalu datang menemaninya. Cerita itu ia terima dari orangtuanya begitu ia siuman dari koma.
“Dia nemenin gue pas di rumah sakit. Pas gue koma karena jatoh dari motor.”
Acoy juga menuturkan, terciptanya Kopastel juga atas inisiasi mereka berdua. Mungkin, jika Acoy tanpa RA, tidak akan pernah ada kelompok tempur tersebut.
Namun nahas, saat Acoy berjuang melawan koma di rumah sakit, RA tewas usai terlibat bentrokan antar kampung.
“Gue tahu pas pulang dari rumah sakit. Temen ngasih tau kalo almarhum (RA) udah meninggal pas gue dalam keadaan koma.”
Peroleh senjata tajam
Dilihat dari video amatir atau rekaman kamera CCTV banyak remaja yang terlibat tawuran di Jakarta dengan arongan menenteng senjata tajam berbagai jenis dan ukuran. Mulai dari celurit atau parang panjang berukuran hingga 1-2 meter.
Senjata tajam itu ternyata tak mudah dimiliki oleh sembarang orang. Hanya orang tertentu yang bisa memperolehnya. Itu pun harus dengan cara memesan terlebih dahulu oleh orang-orang yang sudah dikenal dan dipercaya.
Tidak semua tukang las mau membuatkan senjata tajam.
“Biasanya pesen dari tukang las langganan,” kata Acoy.
Soal harga cukup bervariatif. Untuk senjata tajam jenis celurit berbahan baja dengan panjang berkisar 1,5 - 2 meter dibanderol dengan harga Rp 1 juta lebih. Sedangkan untuk ukuran serupa namun terbuat daru bahan plat besi harganya dibawah Rp1 juta.
“Itu buat ukuran nomor satu. Kalau buat ukuran nomor dua harganya beda lagi,” ungkap Acoy.
Ukuran nomor satu yakni ukuran yang berkisar diantara 1,5 - 2 meter. Sementara ukuran nomor dua yakni berukuran kurang dari 1 meter.
Menurut Acoy, biasanya mereka patungan untuk membuat senjata berukuran nomor satu. Mengingat biaya yang dikeluarkan cukuplah mahal.
Namun untuk senjata tajam yang berukuran normal, rekan-rekan Acoy membelinya secara pribadi.
“Kalau yang gede-gede biasanya patungan, tapi kalau yang ukurannya normal beli pribadi. Di online paling Rp 100-200 ribu,” ucap Acoy.
Senjata tajam itu biasanya selalu dibawa setiap kali membangunkan orang sahur. Alasannya untuk berjaga jika terjadi gesekan dengan kelompok pemuda wilayah lain.
“Biasanya yang bawa sajam itu pakai motor, 6-7 orang. Sisanya jalan kaki sembari bangunin sahur bawa snare drum,” katanya.
Acoy mengatakan, jika bentrokan terjadi maka kelompok yang membawa senjata tajam ini berada di bagian depan. Sementara kelompok yang berjalan kaki berada di belakang, melempari batu atau benda apapun untuk melukai pihak lawan.
“Mereka itu tim support jadinya, paling lempar-lempar batu. Mirip Mobile Legend aja,” tuturnya.
Acoy mengaku, tidak jarang sebelum bentrok, ia dan teman-temannya meminum-minuman keras yang terkadang dicampur dengan obat-obatan keras yang biasa mereka sebut ‘boti’.
Hal itu bertujuan agar saat bentrok, nyali yang mereka miliki berlipat ganda. Sehingga tidak akan mundur meski berhadapan dengan musuh.
“Ada yang minum dulu, yang ngeboti juga ada. Tapi kalau gue mending gak minum. Soalnya suka pusing kalau habis minum. Kalau boti emang gue gak suka,” ucapnya.
Perang Sarung Pencabut Nyawa
Meski Acoy telah gantung senjata tajam alias pensiun dari dunia tawuran, namun aksi saling serang antar kelompok remaja tersebut masih marak terjadi.
Tawuran seakan menjadi ajang beradu gengsi setiap bulan Ramadan. Kelompok pemuda atau remaja tak ada kapok-kapoknya terlibat bentrok meski sudah banyak korban berjatuhan.
Pada awal Ramadan, Kamis pekan lalu, seorang pemuda bernama Muhamad Jatmico meregang nyawa di Jalan Banjir Kanal Barat, RT 1 - RW 8 Kelurahan Jatipulo, Palmerah Jakarta Barat.
Jatmico tewas bersimbah darah usai tulang rusuk di bawah ketiak bagian kirinya terkena sabetan senjata tajam. Sebelum tewas, Jatmico sempat menonton perang sarung yang dilakukan oleh para bocah.
Salah seorang warga sekitar bernama Kiki mengatakan, saat peristiwa berdarah itu terjadi, kondisi lokasi sedang gelap lantaran lampu penerangan jalan umum padam. Sumber cahaya malam itu hasil donasi dari lampu teras warga yang sekedarnya.
“Kondisi lampu jalan lagi mati. Nah habis itu gak terlalu jelas, tau-tau korban jalan sambil megangin lukanya. Di sini sudah darah semua,” ucap Kiki sambil menunjukan bekas ceceran darah korban.
Kiki juga menyebut, saat itu korban sempat ambruk beberapa kali. Hingga akhirnya Jatmico dievakuasi ke Rumah Sakit Tarakan. Namun nahas nyawanya tidak terlolong.
Kiki mengatakan, Jatmico sendiri tidak terlibat langsung saat perang sarung berujung maut itu terjadi. Ia hanya menyaksikan.
Sementara itu, Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes M Syahduddi mengatakan, pihaknya telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini. Keduanya berinisial, L alias K (18) dan U. Dalam perannya kedua tersangka memiliki peran berbeda.
Tersangka L alias K berperan selaku iramg yang menghajar korban menggunakan paralon berbentul celurit. Kemudian U, merupakan orang yang menyabetkan celurit ke bagin bawah ketiak korban, hingga korban tewas.
Dalam penangkapannya, kata Syahduddi, kedua tersangka ini ditangkap di dua tempat berbeda. L alias K, dan seorang rekannya yang berinisial M alias I.
Mereka ditangkap di Kampung Pasir Madin, Desa Kalomg Liud, Kecamatan Nanggung Bogor, Jawa Barat. Sedangkan tersangka U diringkus oleh polisi saat bersembunyi di kamar pacarnya, Apartemen Puri Orcad, Cengkareng, Jakarta Barat.
“Dari tangan pelaku, kami dapati juga celurit yang dipergunakan pelaku dalam aksinya,” kata Syahduddi di Mapolres Jakbar, Selasa, 28 Maret.
Atas tindak kejahatannya, kedua pelaku dijerat dengan pasal 170 KUHP ayat 2 ke 3, dan atau pasal 354 ayat 2 tentang Pengeroyokan hingga menyebabkan kematian, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 12 tahun penjara.
Delapan Kejadian Awal Puasa
Sementara itu, belum genap sepekan bulan suci Ramadan, Polda Metro Jaya telah mencatat ada delapan kali aksi tawuran di DKI Jakarta.
Sebelum tewasnya Jatmico, tawuran terlebih dahulu terjadi di wilayah Kelurahan Benda Tangerang Kota, pada Rabu, 22 Maret, sekitar pukul 23.00 WIB malam.
Sembilan orang remaja diringkus oleh petugas, yang diduga mau melakukan tawuran. Dari tangan mereka, polisi menyita sejumlah sarung yang sudah dibentuk sedemikian rupa, untuk melukai.
Pada 23 Maret, larut malam, selain di Palmerah, tawuran juga terjadi di Tanjung Priok Jakarta Utara, dan Ciledug Tangerang Kota. Sedikitnya tiga orang yang masih berstatus sebagai pelajar diciduk aparat lantaran kepergok saat hendak mau melakukan tawuran. Dari tangan mereka petugas juga mengamankan sebuah celurit.
Sementara di Ciledug, sembilan orang remaja diciduk petugas akibat alasan serupa, dari tangan mereka petugas mendapati tiga bilah senjata tajam.
Pada 24 Maret, polisi juga menciduk 15 orang remaja yang diduga akan melalukan aksi tawuran di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dari tangan mereka, polisi menyita sarung yang diujungnya diikatkan batu.
Tawuran juga terjadi di Jalan Sarbini I, Makasar, Jakarta Timur. Aksi tawuran itu terekam video rekaman CCTV dan viral di media sosial.
Terlihat dalam video, puluhan remaja saling serang dengan tangan kosong, petasan, bahkan satu orang remaja di antaranya tampak menenteng sebilah celurit. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 20.14 WIB, saat warga sedang melaksanakan salat tarawih.
Masih di hari yang sama, enam remaja terjaring oleh Polsek Cipondoh, Polres Metro Tangerang Kota. Keenamnya diduga akan melakukan tawuran, dari tangan mereka polisi mengamankan berupa ikat pinggang, dua unit sepeda motor dan empat buah handphone.
Terakhir, pada 25 Maret, sebanyak 17 remaja terjaring oleh Polsek Jatiuwung l, Tangerang Kota. Mereka diringkus karena dicurigai bakal melakukan aksi perang sarung.
Sosiolog, Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar memandang fenomena tawuran yang makin marak belakangan ini tidak terlepas dari faktor pendidikan. Di antaranya faktor pendidikan di keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kondisi ekonomi keluarga juga menjadi faktor yang cukup besar maraknya aksi tawuran antar remaja khususnya di wilayah Ibu kota.
“Kita tidak bisa sepenuhnya salahkan orangtua, karena rumah sempit. Mereka begadang, tidak ada pekerjaan,” kata Musni Umar saat dihubungi.
“Atau sudah keluar dari sekolah karena bisa jadi tidak bisa membayar, walaupun ditanggung negara, tapi mereka gak bisa mengikuti pelajaran karena banyak faktor. Di antaranya kehidupan mereka yang tidak mendukung,” terangnya.
Penting bagi sebuah keluarga dalam memberikan pendidikan dasar bagi anak sebagai pondasi. Sebab, pendidikan di sekolah tidak membuat anak mendukung sifat anak akan menjadi lebih baik.
Selain itu, faktor lingkungan sosial juga merupakan kunci penting, agar tumbuh kembang anak bisa menjadi pribadi yang kebih baik.
“Kalau bergaul sama yang tawuran, ya mereka tawuran.”
Meski demikian, menurut Musni agar anak tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitar yang negatif, maka keluarga perlu membuat pondasi atau daya tahan keimanan seorang anak.
“Kembali lagi tidak semua seperti itu. Pendidikan di keluarga harus kembali di hidupkan dengan fokus membangun karakter moral.”