Senada dengan Halili, Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid Tantowi mengatakan bahwa kebebasan beragama dan beribadah sesuai agama dan keyakinan adalah bagian dari HAM yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi bagi setiap warga negara. “Pelarangan ibadah penganut Ahmadiyah adalah bagian dari pelanggaran HAM sehingga tindakan seperti itu tidak dapat dibenarkan,” ujar Pramono menegaskan.
![Anak-anak warga Ahmadiyah Depok belajar kajian Islam jelang ngabuburit, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/03/28/91380-anak-anak-warga-ahmadiyah-depok-belajar-kajian-islam-jelang-ngabuburit.jpg)
Dia juga menyebut hak atas properti berupa rumah ibadah maupun rumah kediaman para penganut Ahmadiyah juga harus dihormati sehingga tidak dibenarkan adanya penyerangan, perusakan, maupun perampasan. Pramono juga menjelaskan penggunaan Masjid Al Hidayah oleh jemaah Ahmadiyah saat ini harus dihormati karena bangunan tersebut hanya digunakan untuk kegiatan internal jemaah. Bukan untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah kepada warga negara yang sudah menganut agama. “Sehingga keberadaan mereka tidak boleh dianggap membahayakan keimanan warga yang sudah menganut agama lain atau mazhab lain,” jelas Pramono.
Untuk itu, Komnas HAM mengimbau ummat Islam untuk memanfaatkan bulan Ramadan dengan memperbanyak ibadah serta menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan kasih sayang kepada sesama manusia.
Perbedaan Pandangan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah menyatakan kepercayaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad itu dilarang di Indonesia. Pasalnya, keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi pada 22-28 Desember 1985 tentang aliran Qodiyaniyah menyatakan Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam. Sebab itu mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
Untuk itu, Fatwa MUI menetapkan aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad atau keluar dari Islam. Bagi orang yang terlanjur mengikuti Ahmadiyah, Fatwa MUI menganjurkan mereka untuk kembali kepada ajaran Islam yang haq sejalan dengan Al Qur’an dan hadist. “Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya,” demikian bunyi putusan dalam Fatwa MUI yang ditandatangani oleh Ma’ruf Amin selaku Ketua MUI saat itu.
Menanggapi hal itu, Yendra menyebut Fatwa MUI tidak mengikat karena sifatnya yang merupakan pandangan keagamaan. Meski begitu, dia menegaskan bahwa Ahmadiyah tetap menghormati Fatwa MUI.
Pernyataan Yendra ini sejalan dengan pandangan Halili yang menilai bahwa Fatwa MUI tidak harus diikuti oleh pemerintah dan negara. Terlebih, dia menilai Fatwa MUI tentang Ahmadiyah bukan hukum yang positif. "Fatwa MUI itu bukan hukum positif. Jadi pemerintahan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak boleh mengacu dan tunduk pada fatwa MUI,” ujar Halili.
Lebih lanjut, Yendra menjelaskan bahwa Ahmadiyah sesuai dengan Islam yang diajarkan Rasul Muhammad SAW dengan ibadah yang tidak berbeda dengan aliran lain seperti meyakini Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya, memiliki 5 Rukun Islam dan 6 Rukun Iman, salat lima waktu menghadap Kakbah sebagai kiblat, membaca Al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Prediksi 7 Gaya Hijab yang Bakal Viral dan Populer di Bulan Ramadhan 2023
Namun, dia mengakui adanya perbedaan pandangan antara Ahmadiyah dengan Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Yendra menjelaskan bahwa pandangan Islam arus utama meyakini Nabi Isa Bin Maryam yang selama ini berada di langit akan datang ke bumi pada akhir zaman. Islam pada umumnya meyakini bahwa sosok yang akan datang adalah Nabi Isa yang sama dengan nabi yang dilahirkan oleh Siti Maryam.