Sepenggal Kisah dari Penjara Anak Seberang Kali Krukut

Selasa, 21 Maret 2023 | 09:25 WIB
Sepenggal Kisah dari Penjara Anak Seberang Kali Krukut
Anak-anak binaan membuat mural di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) II Jakarta, (17/3/2023). [Suara.com/Rakha]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Rata-rata kasus pidana yang paling banyak dilakukan ialah tindak pidana umum dengan jumlah 37 orang anak. Setelahnya, ada 31 orang anak yang tersandung perkara perlindungan anak serta empat orang anak yang tersangkut kasus narkotika.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, A.B Widyanta mengatakan, anak dalam kasus-kasus hukum kerap dijadikan sebagai subjek pelaku tindak pidana. Padahal anak juga merupakan subjek korban.

Sebab, tumbuh kembang seorang anak, kata pria yang kerap disapa Bung Abe ini memiliki keterkaitan yang erat dengan aspek pendidikan. Mulai dari aspek pendidikan di tingkat keluarga, pendidikan sekolah hingga pendidikan di lingkungan masyarakat.

Namun begitu, sistem pendidikan itu kini bermasalah. "Dengan kompetisi yang brutal, maka kemudian adanya adalah upaya untuk memposisikan paling superior, merasa paling tinggi, merasa harus paling menang. Dan praktik itu sebenarnya anak-anak ini lebih karena sebagai bentuk dari korban spiral kekerasan," ujar Bung Abe.

Dalam hal ini, Bung Abe menyoroti peran serta orang tua saat masa pertumbuhan anak. Orang tua yang lebih mementingkan karier dibandingkan memenuhi hak-hak anak menjadi akar permasalahan anak kerap berbenturan dengan hukum. "Dia (orang tua) sudah merenggut hak anak, tanpa kemudian berbagi seimbang antara karier dan anak ini. Artinya ya kalau begitu kenapa harus punya anak?" terangnya.

Menurutnya, pihak yang bertanggung jawab dalam fenomena anak berkonflik dengan hukum ini adalah orang dewasa, khususnya generasi tua. "Salah kita semua. Harus ada intropeksi dari generasi tua, ini generasi memang bermasalah. Lintas generasi biasanya tidak dibaca sebagai persoalan," tutur dia.

Bung Abe, turut mengkritisi sistem pendidikan formal di Indonesia dalam mendukung tumbuh kembang anak. Perlu juga adanya turut serta masyarakat dalam memacu bakat-bakat anak berkembang. "Bikin sistem pendidikan yang membahagiakan bagi anak, sekolah juga harus diberi ruang yang memadai untuk anak tumbuh," ujarnya.

"Ndak usah dijejali seluruh kurikulum yang seperti itu. Kira-kira mengembangkan talenta dan passion mereka sejak kecil apa, itu yang harus di-support sejak kecil, difasilitasi," tegas dia.

Kontrol Emosi

Baca Juga: Bocah-bocah Pencabut Nyawa, Kerasnya Hidup Anak Di Indonesia

Sementara itu, psikolog dari Universitas Gadjah Mada Novi Puspita Candra menilai faktor yang paling berperan dalam kasus anak berkonflik dengan hukum ialah keterampilan mengatur emosi. "Rendahnya keterampilan ini menyebabkan dia tidak punya kesadaran diri untuk mengelola dan meregulasi pikiran, perasaan dan perilaku," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI