Suara.com - Indonesia darurat kasus kekerasan anak. Berbagai kasus yang melibatkan anak-anak semakin marak terjadi di berbagai daerah. Mulai dari bullying atau perundungan, kekerasan hingga menyebabkan kematian, bahkan penyalahgunaan narkoba. Bahkan tak sedikit dari mereka yang harus menjalani hukuman di penjara anak.
Seperti anak-anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak II Jakarta. Puluhan remaja di sana menjalani hukuman dengan pembinaan. Mereka punya kasus berbeda-beda dengan keragaman masalah yang pelik. Reporter Suara.com, Rakha Arlyanto D berkesempatan melakukan reportase di sana.
SEBUAH pohon mangga membuat aku bisa sedikit berteduh dari terik sinar matahari di pinggiran Jakarta Selatan sore itu. Aku berbincang dengan Adam, bukan nama sebenarnya. Sambil duduk di ujung lorong yang diteduhi pohon mangga, Adam menceritakan ihwal dirinya bisa sampai di sini.
Remaja 18 tahun ini berstatus sebagai anak binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Jakarta.
Baca Juga: Bocah-bocah Pencabut Nyawa, Kerasnya Hidup Anak Di Indonesia
Sebelum berbincang dengan Adam, aku meminta izin kepada salah satu petugas untuk mewawancarai beberapa anak di Lembaga Pembinaan Khusus itu. Seorang petugas perempuan tampak masih ragu-ragu dengan permohonan wawancara yang ku ajukan.
Dia pergi sejenak menanyakan ke pimpinannya. Aku lalu duduk menunggu di area kantin. Di sana ada beberapa orang dari Ruru Kids dan organisasi masyarakat dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia atau PKBI tengah berbincang mengenai acara Festival Mural di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Selang beberapa saat, seorang panitia acara dari PKBI meminta masuk ke area lapangan. Aku mesti melewati gerbang jeruji besi yang dijaga oleh sejumlah petugas sambil menundukkan kepala.
Festival Mural
LPKA Kelas II Jakarta itu terletak di seberang Kali Krukut. Airnya keruh berwarna kecoklatan.
Baca Juga: Begini Alasan Kuasa Hukum Anak Lilis Karlina Ajukan Diversi
Di bawah tenda yang sudah terpasang, hawa tetap terasa gerah meski hari sudah sore.
Puluhan anak binaan rupanya sudah duduk di bangku barisan ketiga dan keempat. Di baris pertama dan kedua duduk para tamu undangan. Seragamnya ada yang kemeja biru kotak-kotak dengan celana biru tua, ada juga yang mengenakan kaos berkerah berwarna hijau dipadu celana hitam.
Sambil menunggu acara dimulai, beberapa orang anak membagikan snack yang berisi roti dan air mineral. Seorang wanita pembawa acara lalu naik ke atas panggung menyapa semua anak-anak yang duduk berjejer.
"Sore semuanya," sapa sang pembawa acara.
"Sore," sahut para anak-anak itu kompak.
Pembawa acara lalu menyapa para anggota Ruru Kids yang sudah duduk di bangkunya.
"Halo Ruru Kids," kata dia.
"Halo," sahut mereka.
Acara Festival Mural dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pada momen ini, anak-anak binaan itu spontan mengambil posisi berdiri tegap. Di balik masker mereka, terdengar lirik demi lirik Indonesia Raya dinyanyikan dengan lantang.
Selepasnya, Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Jakarta Medi Oktafiansyah menyampaikan kata sambutan. Tak satupun anak yang berani berbincang pada itu. Mereka tampak fokus mendengarkan pidato orang nomor satu di tempat mereka bernaung.
Acara dilanjutkan dengan penampilan musik dari band LPKA Kelas II Jakarta. Personel band itu terdiri dari seorang vokalis, gitaris, pemain cajon dan pemain keyboard.
Berkupluk hitam di kepalanya, sang vokalis memperkenalkan nama grupnya, 'Si Entong'. Para hadirin yang duduk pun tertawa dan memberikan tepuk tangan.
Si Entong membuka penampilannya dengan lagu berjudul 'Witing Tresno' yang dipopulerkan oleh musisi reggae, Tony Q Rastafara. Usai membawakan lagu tersebut, pemain keyboard dan gitar bertukar posisi.
Kali ini, sebuah lagu asal Maluku berjudul 'Parcuma' dibawakan oleh Si Entong. Sang vokalis langsung mengambil nada tinggi saat bait pertama 'angin bawa kabar ke sana'.
Para penonton pun langsung riuh dan ikut bernyanyi. Ketika mulai masuk bagian reff, lirik lagu itu dipermanis. "Kalau ada yang mo maso minta. Nona tarima saja. Jang ale pikir beta lai. Perkara cinta beta cinta. Mo sayang paling sayang. Marsio mo biking apa. Parcuma, beta susah di bui".
Suara vokalis Si Entong terdengar bergetar dengan mimik muka menahan haru saat menyanyikan bait terakhir lagu tersebut.
Acara Festival Mural kemudian dilanjutkan dengan menampilkan hasil mural yang sudah digoreskan oleh para anak di dinding gedung Lembaga Pembinaan itu.
Pembawa acara meminta setiap kelompok menjelaskan arti mural yang sudah dibuat. Ada empat kelompok yang membuat mural-mural itu. Pembuatan mural itu dilakukan pada 13-14 Maret 2023.
Mural-mural itu dipamerkan kepada para hadirin. Kelompok satu yang beranggotakan tiga orang, menarik sebuah tirai hitam yang menutupi mural mereka.
Mural itu berwarna dominan ungu dan dihiasi empat tangkai bunga mekar serta sebuah kutipan di atasnya. "Di Balik Kesedihan Pasti Ada Kesenangan yang Akan Datang," kutipan dalam mural itu.
Mural yang paling menarik perhatian adalah milik kelompok tiga. Terlebih Jati, bukan nama asli, sangat piawai menjelaskan arti di balik mural tersebut. "Saya si tampan dari kelompok tiga atau lebih dikenal sebagai geng cocot akan menjelaskan mural yang sudah kami bikin," ujar Jati.
Mural itu didominasi warna hijau dengan sebuah kalimat bertuliskan 'Ini Bukan Jalan Buntu tapi Hanya Belokan'. Jati lalu menjelaskan maksud dalam setiap detail di mural tersebut. "Ada sebuah rumah dengan pelangi di atasnya. Menandakan hidup itu penuh warna, dan rumah ini adalah sebuah tempat yang paling kami rindukan," tuturnya.
Bahkan, Jati sempat memanggil mentor pembuat mural dari Ruru Kids untuk naik ke atas panggung. Keberanian Jati itu mengundang gelak tawa para hadirin.
Tawa Pelipur Lara
Acara Festival Mural ditutup dengan sesi foto bersama para narasumber seperti Ruru Kids, PKBI, LSM INKLUSI dan PT Jotun selaku lembaga pendonor cat mural bersama kelompok pembuat mural.
Aku pun kembali bertanya kepada seorang petugas mengenai permohonan wawancara dengan beberapa orang anak binaan di sana. Tak lama berselang, aku pun diizinkan buat mewawancarai Adam dan anak binaan.
Kami berdua lalu mengambil posisi bersandar di sebuah dinding sambil duduk bersila. Adam beberapa kali tampak membenarkan letak maskernya. "Tenang-tenang, aku cuma rekam suara kok," ucap saya.
Adam tampak lebih santai. Adam bercerita pertama kali masuk ke penjara anak itu pada Juni 2022.
Adam terseret kasus narkotika bersama empat teman-nya. Dia diciduk polisi bawa 2 kilogram sabu di sebuah apartemen di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. "Digerebek di apartemen," kata Adam.
Dalam perkara ini, Adam berperan sebagai kurir sabu. Awalnya Adam hanya menemani teman-nya mengantar sabu ke berbagai tempat.
Persoalan ekonomi menjadi alasan Adam terjun ke dunia perdagangan barang haram. Dari hasil penjualan sabu, Adam bisa mengantongi uang sebesar Rp10 juta setiap bulan. "Diajak teman satu gang. Pikiran saya mau cari duit sendiri, kalau minta jajan sama orang tua banyak-banyak kayak gimana gitu,” ucapnya.
Tak hanya bertugas sebagai kurir, Adam juga sempat menjadi pecandu sabu. Namun, selama dibina di sana, dia mengaku mulai meninggalkan kehidupan lamanya. "Awal-awal paling badan rasanya nggak enak. Lama-lama udah terbiasa. Malah nggak pengen, udah nggak mau," tutur dia.
Ayah dan ibunya hanya pedagang makanan di kantin sebuah sekolah di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Atas perbuatannya, Adam sempat mendekam di penjara Polsek selama tiga bulan.
Kini sudah hampir satu tahun Adam menjadi anak binaan di sana. Beruntungnya dia mendapat remisi, padahal dia seharusnya baru diperbolehkan pulang tahun depan. "Satu tahun lima bulan, sudah sama remisi. Dapat remisi, hukuman saya dua tahun enam bulan," cerita Adam.
Adam menceritakan kesehariannya selama di penjara anak tersebut. Bangun pagi, Adam dan anak-anak lainnya harus mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan mengambil Paket C.
Pelajaran dimulai pukul 07.00 hingga 11.00 WIB. Setelahnya, para anak diperbolehkan bersantai sambil menunggu kegiatan sore. "Main di lapangan, kalau ada kegiatan, kegiatan keterampilan kayak pertanian, sablon, membuat roti," ujar Adam.
Adam mengatakan satu kegiatan yang paling dia gemari selama di sana adalah saling bertukar kisah. Cerita dari para anak lainnya menjadi pelipur lara.
Baginya, ada satu kisah yang paling lucu yang membuat seorang anak berada di LPKA Kelas II Jakarta. "Maling HP, HP-nya HP murah lagi. HP murah dimalingin sama dia, nggak seberapa," ucap Adam seraya tertawa.
Doa Adam tahun ini bisa pulang ke rumah dan kembali merasakan hangatnya keluarga. "Pengen ngebuktiin ke orang tua, kalau saya masih bisa jadi orang baik," ucap remaja yang bercita-cita jadi masinis kereta itu.
Menanti Pujaan Hati
Berbeda dengan Adam, Jati 'si tampan' dari geng cocot, lebih banyak bercerita mengenai kisah hidupnya.
Remaja 18 tahun itu mendekam di LPKA Kelas II Jakarta karena kasus kekerasan. Dia masuk menjadi anak binaan sejak Februari 2022.
Sebelum menjadi anak binaan, Jati merupakan seorang siswa di sebuah sekolah menengah kejuruan di Jakarta Timur. Jati mengambil jurusan otomotif dan memiliki hobi bertengkar. "Kalau buat tawuran kurang, satu lawan satu," ujar Jati.
Suatu kejadian yang paling berbekas di benak Jati, ialah saat dia terlibat keributan di jalan sepulang sekolah. "Cuma karena salah tatap-tatapan. Lagi naik motor, dia tiga orang," ucap Jati.
Jati menghantam ketiga lawannya hingga tersungkur saat berhenti di lampu merah. Keributan itu pun membuat jari manis tangan kanannya bengkok. Jati memperlihatkan jari tersebut di tengah sesi wawancara. "Habis itu saya lari," ujarnya.
Kedua orang tua Jati kerap menjenguk, dua kali dalam seminggu. Tak hanya ayah dan ibu yang ia rindukan, kekasih hatinya menjadi orang istimewa yang paling ingin ditemui.
Dengan wajah sumringah, Jati mengaku bersyukur kekasihnya masih sabar menantinya pulang. "Wanita sih. Dari sekian saya di sini. Cewek saya Alhamdulillah masih nungguin saya," ujar Jati.
Jati dan kekasihnya, sudah menjalani hubungan asmara selama lima tahun sejak di bangku SMP. Selama dibina, kekasihnya selalu memberi dukungan.
Dia berujar, kekasihnya akan datang menjenguk pekan depan. Momen itu, akan jadi momen pertama kalinya Jati kembali bertemu kekasihnya setelah setahun dibina. "Saya nggak bakal sia-siain waktu 30 menit itu. Walaupun waktu 30 menit itu kurang," kata Jati dengan mata berkaca-kaca.
Kerinduan itu kini sudah semakin mendalam. Selama ini, Jati bercerita hanya bisa bertukar surat dengan pujaan hatinya. "Selalu ada tempat untuk orang-orang spesial," kata Jati menirukan kutipan dari kekasihnya.
"Terkadang saya juga nanya, 'malu nggak sih punya cowok mantan napi?'. Kata dia, 'Buat apa malu'," katanya.
Ketika bertemu nanti, Jati hanya ingin mengutarakan rasa terima kasih kepada kekasihnya. "Terima kasih, selama ini masih mau menunggu," tuturnya.
Kisah asmara Jati yang sudah berjalan setahun ternyata masih ranum. Jati bercerita, dia kerap pamer kemesraan di hadapan publik. "Saya manusia paling pamer. Kalau selagi di luar, ada orang naik motor berduaan, udah saya salip. Cewek saya suka suapin saya, kayak pamer sedikit," tutur Jati.
Saat Festival Mural berlangsung, nama Jati paling sering disebut petugas. "Saya ini brand ambassador-nya kalau dibilang sekarang," kata dia.
Jati dan rekan-rekannya memang sering membantu petugas dalam urusan sehari-hari. Namun ketika para anak sudah membuat kesalahan, para petugas juga tidak segan-segan memberi hukuman push up.
Sebaliknya, hukuman itu justru dijadikan momen anak binaan merasakan keseruan. Kata Jati, dia bersama anak lainnya kerap bercanda dengan petugas ketika dihukum. "Disuruh push up bareng-bareng sama petugas ya udah, push up aja bareng ketawa," cerita dia.
Tanggung Jawab Semua
Fenomena anak berkonflik dengan hukum belakangan ini kerap menjadi sorotan. Khususnya, kasus penganiayaan terhadap David Ozora (17) yang dilakukan oleh Mario Dandy, Shane Lukas dan AG (15).
Dalam kasus ini, AG menjadi sosok anak yang terseret dalam persoalan hukum. Polisi sudah menahan AG di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial.
Tak hanya itu, pekan lalu, aksi sekelompok remaja putri di Cilincing, Jakarta Utara, mengeroyok seorang remaja putri juga sempat viral di media sosial. Kasus tersebut sudah ditangani oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Metro Jakarta Utara. Mereka yang terlibat pun sudah diperiksa.
Berdasarkan data dari situs resmi Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Jakarta, sedikitnya ada 62 anak yang dilakukan pembinaan. Sebanyak 20 orang anak berusia 18 tahun, 16 orang berusia 17 tahun, sembilan orang berusia 15 tahun, dua orang berusia 14 tahun serta 13 orang berusia 19 tahun.
Rata-rata kasus pidana yang paling banyak dilakukan ialah tindak pidana umum dengan jumlah 37 orang anak. Setelahnya, ada 31 orang anak yang tersandung perkara perlindungan anak serta empat orang anak yang tersangkut kasus narkotika.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, A.B Widyanta mengatakan, anak dalam kasus-kasus hukum kerap dijadikan sebagai subjek pelaku tindak pidana. Padahal anak juga merupakan subjek korban.
Sebab, tumbuh kembang seorang anak, kata pria yang kerap disapa Bung Abe ini memiliki keterkaitan yang erat dengan aspek pendidikan. Mulai dari aspek pendidikan di tingkat keluarga, pendidikan sekolah hingga pendidikan di lingkungan masyarakat.
Namun begitu, sistem pendidikan itu kini bermasalah. "Dengan kompetisi yang brutal, maka kemudian adanya adalah upaya untuk memposisikan paling superior, merasa paling tinggi, merasa harus paling menang. Dan praktik itu sebenarnya anak-anak ini lebih karena sebagai bentuk dari korban spiral kekerasan," ujar Bung Abe.
Dalam hal ini, Bung Abe menyoroti peran serta orang tua saat masa pertumbuhan anak. Orang tua yang lebih mementingkan karier dibandingkan memenuhi hak-hak anak menjadi akar permasalahan anak kerap berbenturan dengan hukum. "Dia (orang tua) sudah merenggut hak anak, tanpa kemudian berbagi seimbang antara karier dan anak ini. Artinya ya kalau begitu kenapa harus punya anak?" terangnya.
Menurutnya, pihak yang bertanggung jawab dalam fenomena anak berkonflik dengan hukum ini adalah orang dewasa, khususnya generasi tua. "Salah kita semua. Harus ada intropeksi dari generasi tua, ini generasi memang bermasalah. Lintas generasi biasanya tidak dibaca sebagai persoalan," tutur dia.
Bung Abe, turut mengkritisi sistem pendidikan formal di Indonesia dalam mendukung tumbuh kembang anak. Perlu juga adanya turut serta masyarakat dalam memacu bakat-bakat anak berkembang. "Bikin sistem pendidikan yang membahagiakan bagi anak, sekolah juga harus diberi ruang yang memadai untuk anak tumbuh," ujarnya.
"Ndak usah dijejali seluruh kurikulum yang seperti itu. Kira-kira mengembangkan talenta dan passion mereka sejak kecil apa, itu yang harus di-support sejak kecil, difasilitasi," tegas dia.
Kontrol Emosi
Sementara itu, psikolog dari Universitas Gadjah Mada Novi Puspita Candra menilai faktor yang paling berperan dalam kasus anak berkonflik dengan hukum ialah keterampilan mengatur emosi. "Rendahnya keterampilan ini menyebabkan dia tidak punya kesadaran diri untuk mengelola dan meregulasi pikiran, perasaan dan perilaku," katanya.
Novi mengatakan sekolah sangat minim mengajar pengendalian emosi anak. Alhasil, anak semakin kurang menyadari melakukan perbuatan tertentu yang justru merugikan dirinya sendiri.
Dia menilai masifnya kasus anak berkonflik dengan hukum belakangan semestinya ikut mengubah cara pandang masyarakat umum. Khususnya dunia pendidikan dan keluarga.
Di mana, Novi merasa perlu adanya pendekatan secara emosi dan sosial yang bertujuan agar anak mampu menemukan kesadaran diri sehingga tidak mudah dipermainkan oleh lingkungan dan perasaannya sendiri.
Tim liputan: Rakha Arlyanto D