Suara.com - Jaksa penuntut umum (JPU) Pengadilan Negeri Jakarta Barat membandingkan teori Superior Order Defense yang disampaikan ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel dalam kasus peredaran narkoba mantan Kapolda Sumatera Barat Teddy Minahasa dengan kasus Richard Eliezer alias Bharada E yang menjadi eksekutor pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.
Menjawab pertanyaan JPU tentang kedua kasus itu dalam teori yang sama, Reza menyebut tidak semua terdakwa yang mengeklaim melakukan tindak pidana karena diperintah atasannya harus diterima.
"Tidak serta merta klaim tersebut harus diterima, tetapi tetap harus diuji," kata Reza di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (16/3/2023).
Dia menjelaskan bahwa dalam kasus Richard Eliezer perspektif keilmuan soal Superior Order Defense sesuai dengan langkah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menjadikan Richard sebagai justice collaborator dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memberikan hukuman ringan yaitu 1,5 tahun penjara kepada Richard.
Baca Juga: Pakar Psikologis Forensik: Irjen Teddy Minahasa Cs Bersama-sama Berencana Edarkan Narkoba
"Baik saya, LPSK dan Mejelis Hakim memandang Richard Eliezer sebagai orang yang memang telah menerima perintah secara objektif dari atasannya namun dia tidak memiliki kemampuan atau kewenangan untuk menolak perintah dan atasan tersebut. Bahkan, justru sebaliknya, dia berpotensi menghadapi konsekuensinya yang sangat buruk jika tolak perintah atasan," tutur Reza.
Namun, dia tidak bisa memastikan apakah Dody Prawiranegara yang mengaku mendapat perintah dari Teddy Minahasa untuk menukar 5 kilogram sabu dengan tawas sebagai tindakan tidak mampu melawan perintah atasan
"Dalam perkara ini, saya tidak tahu," tandas Reza Indragiri.