Mantri di bidang kesehatan awalnya muncul pada saat wabah cacar menjangkiti Banyumas pada tahun 1847.
Namun, lebih jauh sejak adanya vaksinasi cacar di Indonesia pada tahun 1804, kalangan pribumi sudah dilibatkan dalam upaya pemberantasan penyakit menular yang sudah ada sejak ratusan tahun sebelumnya.
Tentu saja, latar belakang dari pengangkatan pribumi sebagai asisten orang Eropa tersebut ialah kepentingan para penguasa Belanda untuk mencegah adanya wabah cacar dan kolera yang sangat ditakuti, di samping kemungkinan untuk berobat secara ilmu kedokteran Barat.
Pada saat itu, adanya keterbatasan jumlah tenaga kesehatan dan juga adanya jarak sosial antar pribumi dengan tenaga medis Eropa, menjadikan orang Eropa mengangkat para pribumi untuk menjadi asistennya.
Keberadaan juru cacar pribumi sendiri diresmikan dalam “Resolutie in Rade dd. 11. April 1829” bernomor 24 dari Gubernur Jenderal Baron van der Capellen.
Aturan terkait dengan vaksinasi cacar dan fungsi inspektur vaksin pun pada saat itu juga diterbitkan. Isi dari aturan tersebut yakni pelaksanaan pemberantasan cacar, kalangan ulama dan pejabat pribumi diangkat dan dibayar untuk menerangkan mengenai vaksinasi cacar kepada pribumi yang tidak mengetahui atau menolak adanya upaya tersebut.
Fungsi juru cacar sendiri kemudian diperjelas dalam Staatsblad v. N. I. 1820, no. 22 terkait dengan Reglement op de verpligtingen, rangen en titels der Regenten op het eiland Java.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa tukang cacar atau juru cacar pribumi di karesidenan adalah orang yang sangat religius. Mereka juga wajib bertugas mempraktikkan vaksinasi di sejumlah desa.
Selain itu, mereka pada setiap delapan hari sekali harus mengumpulkan kaum perempuan dan anak-anak di ibu kota atau desa di distrik bersangkutan untuk melakukan vaksinasi anak-anak.
Baca Juga: Duh! Diduga Berselingkuh, Kepala Desa Ini Disuntik Mati
Mereka juga harus berkeliling setiap hari ke desa-desa untuk mengamati anak-anak yang divaksinasi.