Geger Kasus Suntik Mati Kades, Ini Sejarah Mantri dan Bedanya dengan Dokter

Ruth Meliana Suara.Com
Selasa, 14 Maret 2023 | 15:14 WIB
Geger Kasus Suntik Mati Kades, Ini Sejarah Mantri dan Bedanya dengan Dokter
Ilustrasi pembunuhan. (Pixabay.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus Kades di Serang yang dibunuh oleh mantri dengan suntik mati telah menggegerkan publik. Kepala Desa Curuggoong bernama Salamunasir itu dibunuh oleh seorang mantri berinisial SH pada Minggu (12/3/2023).

Polsek Padarincang menyebut bahwa kasus tersebut terjadi sekitar pukul 12.00 WIB, saat pelaku bertamu ke rumah korban.

Pelaku dan korban dikabarkan sempat terlibat cekcok, sebelum akhirnya pelaku mengeluarkan jarum suntik dan menyuntikkannya ke bagian panggung korban. Tidak lama kemudian, korban mengalami kejang-kejang sampai tidak sadarkan diri.

Korban kemudian langsung dibawa ke Puskesmas Padarincang oleh istrinya dan warga sekitar. Karena keadaan korban yang parah, pihak puskesmas menyarankan agar sang kades dirujuk ke RSUD Banten.

Baca Juga: Duh! Diduga Berselingkuh, Kepala Desa Ini Disuntik Mati

Naas, sesampainya di rumah sakit, korban dinyatakan sudah meninggal dunia oleh dokter yang menangani.

SH yang mengaku berprofesi sebagai seorang mantri mengaku menyuntikan cairan bukan untuk membunuh, tetapi hanya memberikan efek jera karena merasa kesal kepada korban.

Kasus itu membuat profesi SH sebagai seorang mantri turut menjadi sorotan. Lantas seperti apakah sejarah dari mantri? Dan apa bedanya dengan dokter? Simak informasi lengkapnya berikut ini.

Istilah dari ‘mantri’ saat ini hampir tidak diketahui banyak orang. Di masa lalu, mantri menjadi andalan bagi orang sakit untuk sembuh, selain dokter, perawat, ataupun bidan.

Mantri adalah petugas medis yang biasanya bekerja di desa dan juga pelosok. Mulanya, mantri hanya ada di Indonesia dikarenakan jumlah lulusan kedokteran masih belum banyak, sehingga mantri dikerahkan.

Baca Juga: KPK Geledah Rumah Dito Mahendra, Nikita Mirzani Girang: Sekalian Rumah Kasat Polres Serang

Mantri awalnya memiliki arti 'juru rembug' dan merupakan sebuah pangkat dalam birokrasi keraton Jawa. Tidak hanya dalam medis, dulunya ada juga mantri guru, mantri tanam, mantri ukur, dan lain sebagainya.

Mantri di bidang kesehatan awalnya muncul pada saat wabah cacar menjangkiti Banyumas pada tahun 1847.

Namun, lebih jauh sejak adanya vaksinasi cacar di Indonesia pada tahun 1804, kalangan pribumi sudah dilibatkan dalam upaya pemberantasan penyakit menular yang sudah ada sejak ratusan tahun sebelumnya.

Tentu saja, latar belakang dari pengangkatan pribumi sebagai asisten orang Eropa tersebut ialah kepentingan para penguasa Belanda untuk mencegah adanya wabah cacar dan kolera yang sangat ditakuti, di samping kemungkinan untuk berobat secara ilmu kedokteran Barat.

Pada saat itu, adanya keterbatasan jumlah tenaga kesehatan dan juga adanya jarak sosial antar pribumi dengan tenaga medis Eropa, menjadikan orang Eropa mengangkat para pribumi untuk menjadi asistennya.

Keberadaan juru cacar pribumi sendiri diresmikan dalam “Resolutie in Rade dd. 11. April 1829” bernomor 24 dari Gubernur Jenderal Baron van der Capellen.

Aturan terkait dengan vaksinasi cacar dan fungsi inspektur vaksin pun pada saat itu juga diterbitkan. Isi dari aturan tersebut yakni pelaksanaan pemberantasan cacar, kalangan ulama dan pejabat pribumi diangkat dan dibayar untuk menerangkan mengenai vaksinasi cacar kepada pribumi yang tidak mengetahui atau menolak adanya upaya tersebut.

Fungsi juru cacar sendiri kemudian diperjelas dalam Staatsblad v. N. I. 1820, no. 22 terkait dengan Reglement op de verpligtingen, rangen en titels der Regenten op het eiland Java.

Dalam aturan itu disebutkan bahwa tukang cacar atau juru cacar pribumi di karesidenan adalah orang yang sangat religius. Mereka juga wajib bertugas mempraktikkan vaksinasi di sejumlah desa.

Selain itu, mereka pada setiap delapan hari sekali harus mengumpulkan kaum perempuan dan anak-anak di ibu kota atau desa di distrik bersangkutan untuk melakukan vaksinasi anak-anak.

Mereka juga harus berkeliling setiap hari ke desa-desa untuk mengamati anak-anak yang divaksinasi.

Lalu, dalam Staatsblad v. N. I. 1824 no. 13, mengatur secara lebih rinci terkait dengan kelompok gelar, pangkat, simbol status para amtenar pribumi.

Disebutkan juga bahwa tukang cacar atau mantri cacar berada dalam kelompok kedua (pada kalangan mantri seperti misalnya mantri gudang kopi, mantri garam), yakni pegawai kolonial yang lebih rendah derajatnya.

Namun, sama seperti kedua kelompok lain, mantri cacar juga berhak menggunakan payung dan memiliki dua tenaga kerja rodi untuk bekerja padanya.

Secara umum, mantri cacar merupakan kaum lelaki, meskipun dalam sejarahnya ternyata perempuan pun turut dilibatkan.

Walau begitu, tidak sedikit orang lain yang belum mengetahui perbedaan mantri dan dokter. Mantri sendiri merupakan tenaga kesehatan yang merupakan lulusan Kesehatan Masyarakat atau paling tidak lulusan perawat.

Sedangkan, untuk dokter sendiri merupakan lulusan kedokteran murni.

Kontributor : Syifa Khoerunnisa

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI