Ironi Warga Tanah Merah, Hidup di Zona Berbahaya Depo Pertamina

Erick Tanjung Suara.Com
Senin, 13 Maret 2023 | 19:28 WIB
Ironi Warga Tanah Merah, Hidup di Zona Berbahaya Depo Pertamina
Ilustrasi kebakaran di pemukiman sekitar Depo Plumpang, Jakarta Utara. [Suara.com/Ema Rohimah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lahan Tanah Merah Bawah yang ditempati warga menimbulkan polemik. Lahan yang kini jadi permukiman padat itu berdempetan dengan Depo Pertamina Plumpang di Jakarta Utara. Sehingga saat terjadi kebakaran di Depo Pertamina, banyak korban jiwa berjatuhan dari warga.

RAUT mukanya tampak letih. Frengky Mardogan berbaring di atas tumpukan karung berisi kasur lipat di Posko Pengungsian warga korban kebakaran Depo Pertamina Plumpang di Jakarta Utara, pada Kamis malam, 9 Maret lalu.

"Nyari siapa bang?" tanya dia kepada reporter Suara.com.

"Pak RW."

Baca Juga: Korban Kebakaran Depo Pertamina Plumpang Dapat Kontrakan Gratis, Cuma Tiga Bulan Begini Rinciannya

Mendengar itu, sejurus Frengky bangkit dari tumpukan barang bantuan tersebut. Usai pindah ke depan teras rumah warga yang terletak di depan posko, ia mulai bercerita.

Pria paruh baya itu sudah 28 tahun menetap di kampung Tanah Merah, sejak 1995. Mulanya ia bersama keluarga mengontrak di salah satu rumah di sana. 

Kondisi rumah warga di Tanah Merah, Plumpang Jakut sudah rata dengan tanah imbas kebakaran Depo Pertamina pada Jumat (3/3) lalu. (Suara.com/Faqih)
Kondisi rumah warga di Tanah Merah, Plumpang Jakut sudah rata dengan tanah imbas kebakaran Depo Pertamina pada Jumat (3/3) lalu. (Suara.com/Faqih)

Ketika itu Frengky belum punya Kartu Tanda Penduduk atau KTP. Ia baru memiliki KTP saat mau masuk ke perguruan tinggi. "Waktu itu KTP saya buat pas mau kuliah, itu pun menumpang di alamat saudara yang ada di Pondok Gede, Jati Asih," kata Frengky.

Tak hanya Frengky, hampir seluruh warga Tanah Merah saat itu tak memiliki KTP berdomisi di wilayah itu. Hampir semua warga ketika itu kasusnya sama seperti dia. Sebab wilayah itu belum tercatat secara administrasif oleh pemerintah daerah. "Dulu banyak kejadian, misalkan kayak meninggal akibat kecelakaan. Jenazah diantar ke alamat (kerabat) yang ditumpangi," ucap Frengky.

Permukiman warga di Tanah Merah ketika itu hanya berupa blok sebagai penanda. Pada 2013, saat Joko Widodo menjabat Gubernur DKI Jakarta, warga mulai di data secara administrastif.  Warga mulai memiliki alamat sesuai domisili.

Baca Juga: CEK FAKTA: Jadi Sasaran Balas Dendam Warga Plumpang, Rumah Ahok Dibakar, Istri dan Anak Jadi Korban

Terjadi pemekaran RW, yang sebelumnya hanya tujuh RW, pada 2013 muncul empat RW baru di Rawabadak Selatan. Empat Rw baru itu untuk memfasilitasi warga di Tanah Merah.

Meski telah memiliki KTP sesuai dengan domisili, permasalahan warga Tanah Merah belum selesai. Mereka belum bisa mendapatkan suplai air bersih. Mereka tak memiliki kepastian mengenai kepemilihan lahan yang mereka tempati, masuk dalam kritaria zona merah bagi PDAM.

Dengan melajunya Jokowi ke kursi Presiden, membuat warga kampung Tanah Merah kehilangan payung. Pergantian kepemimpinan membuat mereka harus bersabar menunggu pimpinan berikutnya, berharap diayomi.

Ketika Anies Baswedan terpilih sebagai Gubernur DKI yang kemudian menepati kontrak politiknya. Anies memberikan IMB kasawan bagi warga. "Sebenarnya bukan IMB sementaranya. Kontrak komitmen politik saat itu melegalisasi lahan yang dianggap illegal. Itu yang masih saya ingat," ucap Frengky.

Anies pada saat itu memiliki komitmen politik dalam program 21 kampung prioritas dengan melegalisasi lahan perkampungan yang dianggap ilegal. "Salah satu bunyinya melegalisasi lahan-lahan yang dianggap illegal. Dianggap ilegal ya, bukan ilegal. Ini termasuk dari 21 kampung prioritas," tuturnya.

Sejak saat itulah penduduk di sana bisa merasakan menjadi warga masyarakat. Sejak saat itu warga mendapatkan yang belum pernah diterima selama ini, seperti air bersih, jalan beraspal hingga drainase pembuangan atau got. "Sebelumnya di sini hujan dikit banjir, kami pada main tinggi-tinggian rumah. Tapi gak punya got, jalan juga rusak parah," ucapnya.

Saat itu, Anies menerbitkan IMB komunal untuk para warga. Mereka saat itu diberikan salinan IMB komunal tersebut sebanyak dua lembar. Lembar pertama merupakan izin mendirikan bangunan, kemudian pada lembar kedua, kutipan nama warga yang bertempat tinggal di sana. "Sifatnya seperti komunal per RT, nah dengan adanya IMB itu, akhirnya kampung kami bisa ditata," jelasnya.

Bangunan rumah warga yang ludes terbakar saat Depo Pertamina Plumpang terbakar. (Suara.com/Faqih)
Bangunan rumah warga yang ludes terbakar saat Depo Pertamina Plumpang terbakar. (Suara.com/Faqih)

Berbeda dengan Frengky, Sudirman (61) warga RW 01, Bendungan Melayu, Rawabadak Selatan, sudah menetap sejak 1984. Sejak pertama menetap di sana, ia sudah memiliki KTP beralamat sesuai domisili di kampung itu. Padahal RW itu jaraknya sangat dekat dengan Tanah Merah, yang hanya terpisah jalan.

Namun nasib keduanya sangat jauh berbeda. Jika Frengky yang baru memiliki KTP sesuai domisili pada era Jokowi memimpin DKI, Sudirman sudah 39 tahun punya KTP sesuai domisili.

Sudirman selaku LMK RW 01 mengungkapkan, sebanyak 90 persen warga RW 01 telah memiliki sertifikat hak milik, 10 persen lainnya dalam proses pengurusan. "Kalau secara total, kami itu sudah 100 persen bersertifikat. 90 persen saat ada program pemerintah, sedangkan 10 persen itu masih zona kuning," ucap Sudirman.

Zona kuning adalah pemilik lahan yang mengurus sertifikat masih terganjal dengan pemilik sertifikat lamanya. Sehingga jika ingin menerbitkan sertifikat baru, pemilik saat ini harus menelusuri pemilik sebelumnya.

Sudirman sendiri tidak mau ambil pusing soal pembuatan buffer zone atau zona penyanggah bagi Depo Pertamina dengan warga. Pun, jika terdampak relokasi, ia menerima saja dengan putusan tersebut agar tidak ada pihak yang dirugikan. "Kalau saya tidak punya pilihan, karena bagaimanapun masyarakat kita punya pilihan. Kalau itu suatu keputusan kebijakan pemerintah, yaitu pemerintah punya kuasa," ucapnya.

Namun jika dipaksa harus memilih antara relokasi Depo Pertamina, warga, atau pembuatan buffer zone. Ia tidak akan memilih ketiganya. "Kalau secara emosional saya bakal pilih A dan B misalnya. Saya legowo saja apapun kebijakan pemerintah."

Klarifikasi Pemprov DKI

Setelah kejadian kebakaran Depo Pertamina Plumpang yang menelan belasan korban jiwa pada Jumat, 3 Maret lalu, banyak pihak mengecam Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kawasan yang diterbitkan era Anies Baswedan jabat Gubernur DKI. Karena kebijakan itu, warga bebas menempati kawasan Tanah Merah Bawah yang berdempetan dengan Depo Pertamina.

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Sarjoko mengatakan, tujuan Anies menerbitkan IMB kawasan lantaran ingin memberikan hak warga setempat. Apalagi, mereka sudah puluhan tahun tinggal di dekat Depo Pertamina Plumpang itu. "Untuk IMB yang pernah diberikan itu kan sebenernya hanya semata dukungan supaya kebutuhan layanan dasar di sana bisa terpenuhi," ujar Sarjoko saat dikonfirmasi, Senin, 13 Maret 2023.

Rumah warga hancur akibat kebakaran Depo Pertamina Plumpang. (Suara.com/Bagas)
Rumah warga hancur akibat kebakaran Depo Pertamina Plumpang. (Suara.com/Bagas)

Beberapa hak mendasar warga yang perlu dipenuhi, misalnya seperti layanan air bersih hingga perbaikan jalan. Dengan adanya IMB kawasan, maka pemerintah tak lagi beralasan tak bisa memenuhi kebutuhan warga tersebut. "Misalnya, air bersih, air minum, kemudian aksesibilitas jalan, mobilitas ekonomi," ucapnya.

Lebih lanjut, Sarjoko menyebut untuk solusi penanganan korban jangka panjang terkait penggunaan lahan itu masih dibahas oleh pemerintah pusat. "Ini kan lagi dicarikan opsi penyelesaian jangka panjangnya, kami belum tahu apa yang mau dipilih," katanya.

Tata Ulang Kawasan Plumpang

Pengamat Tata Kota dari Universitas Al-Azhar, Nirwono Joga menyarankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera melakukan penataan ulang kawasan sekitar Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara. Hal ini menyusul kejadian kebakaran besar karena ledakan depo pada 3 Maret lalu.

Menurut Nirwono, pembangunan depo Pertamina di Plumpang berdasarkan sejarahnya sudah sesuai dengan Rencana Induk Djakarta 1965-1985. Saat itu, wilayah sekitar depo masih tanah kosong dan rawa tanpa adanya permukiman. "Dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 pun keberadaan Depo Plumpang masih dipertahankan dan dilindungi sebagai fasilitas penting nasional," ucapnya.

Masalah disebutnya baru muncul mulai tahun 1985 hingga 2.000-an ketika banyak orang yang datang ke sekitaran lokasi. Ia menyebut hal ini wajar karena depo skala besar itu pasti akan mengundang banyak orang untuk datang mendukung kebutuhan pekerja, mulai eari warung makan, indekos, hingga toko lainnya. "Perlahan tapi pasti membentuk permukiman ilegal (dan legal) yang memadati ke arah depo dan sekitar, terutama pada periode 1985-1998 dan 2000-sekarang," kata dia.

Namun, hal itu tidak sepenuhnya memberikan dampak positif. Nirwono bilang pelanggaran mulai terjadi ketika pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang di sekitar depo terus dibiarkan Pemerintah DKI Jakarta. "Dan justru diputihkan/diakui/dilegalkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW DKI Jakarta 2000-2010 dan RTRW DKI Jakarta 2010-2030," ucapnya.

Karena itu, ia meminta pemerintah segera menata ulang kawasan sekitar depo Pertamina di Plumpang itu. Pemanfaatan lahan harus dikembalikan sesuai dengan rencana awal. "Ditetapkan jarak aman ideal obyek penting tersebut dan membenahi permukiman padat menjadi kawasan hunian vertikal terpadu."

Relokasi Permukiman Warga

Nirwono Joga menyarankan pemerintah melakukan relokasi permukiman warga di sekitar wilayah Depo Pertamina Plumpang yang terbakar karena ledakan. Kawasan sekitar depo menjadi zona penyangga atau buffer zone.

Nirwono menjelaskan, dalam buffer zone itu tidak boleh ada permukiman warga sama sekali. Aktivitas masyarakat harus dibatasi demi keamanan dan keselamatan. "Kawasan depo dan sekitarnya harus ditata ulang dengan mengutamakan keselamatan dan keamanan operasional depo dan warga. Sehingga perlu jarak aman sebagai daerah penyangga atau buffer zone yang tidak boleh ditawar-tawar," ujar Nirwono.

Menurut dia, jarak ideal dari depo dengan permukiman warga adalah satu kilometer. Ia juga menyarankan wilayah buffer zone itu menjadi kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). "Dari kasus kebakaran jumat lalu, warga masih mencium BBM terbakar sampai dengan radius satu kilometer, berarti jarak amannya minimal satu kilometer harus bebas bangunan rumah dan permukiman," terangnya.

___________________

Tim Liputan: Faqih Fathurrahman & Fakhri Fuadi Muflih

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI