Yang Kembali Terbakar di Plumpang

Kamis, 09 Maret 2023 | 15:11 WIB
Yang Kembali Terbakar di Plumpang
Foto udara permukiman penduduk yang hangus terbakar dampak kebakaran Depo Pertamina Plumpang di Jalan Koramil, Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta, Sabtu (4/3/2023). Kejadian tersebut merenggut 14 nyawa warga dan melukai puluhan lainnya. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aroma bensin menyengat masuk ke dalam rumah warga kawasan Tanah Merah, Koja, Jakarta Utara, Jumat (3/3/2023) malam. Tidak lama kemudian, ledakan terjadi menimbulkan api berkobar dari Depo Pertamina Plumpang yang akhirnya merembet ke rumah warga di sekitarnya.

TIDAK membutuhkan waktu lama, puluhan rumah ikut dilalap si hjago merah pada Jumat malam itu. Ratusan warga mendadak berhamburan ke luar untuk mencari pertolongan.

Kejadian ini bukan kali pertama terjadi di Depo Pertamina Plumpang. Sejak beroperasi pada 1974, ini kali kedua kebakaran terjadi di sana.

Menurut situs resmi Pertamina, Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) itu memiliki kapasitas tangki timbun sebesar 291.889 kiloliter. Depo Plumpang menyuplai 20 persen kebutuhan BBM harian di Indonesia.

Baca Juga: 'Jangan Hanya Salah Satu Direksi' Erick Thohir Diminta Berani Pecat Ahok Usai Kebakaran Depo Plumpang

Depo Plumpang dibangun pada 1972 di lahan seluas kurang lebih 48 hektare. Warga setempat menyebut Depo Plumpang dulunya dikelilingi rawa. Beragam klaim diakui oleh beberapa pihak yang merasa memiliki hak tinggalnya di sana.

Adalah Tanah Merah, istilah yang digunakan untuk menyebut kawasan meliputi tiga kelurahan yakni Rawa Badak Selatan, Tugu Selatan di Kecamatan Koja, serta Kelapa Gading Barat di Kecamatan Kelapa Gading.

Dari data yang dihimpun Suara.com, Tanah Merah dengan luas 153 hektare itu disebut milik negara dengan hak guna bangunan (HGB) atas nama Pertamina. Itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 190/HGB/DA/76 yang diteken 5 April 1976.

Namun, tidak seluruh lahan digunakan langsung oleh Pertamina. Sekitar 1980-an, banyak warga yang mulai mengisi lahan yang belum digunakan oleh Pertamina.

Saking padatnya, jarak antara rumah warga dengan Kawasan Depo Pertamina hanya berjarak sekitar 28 meter saja.

Baca Juga: Kebakaran Pertamina Plumpang Hanguskan Banyak Dokumen Penting Warga, PSI ke Pemprov DKI: Harus Diurus Segera!

Hanya Mencari Untung?

Mengingat jarak antara pemukiman warga dengan kawasan Depo Plumpang yang begitu dekat, kesiapan Pertamina untuk mencegah adanya kecelakaan seperti kebakaran menjadi tanda tanya besar.

Seperti yang dijelaskan oleh anggota Komisi VII DPR RI, Diah Nurwitasari, di mana pihak Pertamina menggunakan alat penangkal petir yang justru tidak sesuai dengan karakteristik petir di Indonesia.

Petir ini kerap disebut sebagai pemicu kebakaran terjadi di kawasan Pertamina, salah satunya yang terjadi di Kilang Minyak Cilacap, Jawa Tengah.

Menurut keterangan dari Pertamina, mereka menggunakan alat penangkal petir yang biasa digunakan di negara-negara subtropis. Padahal karakteristik petir di Indonesia itu disebut Pertamina berbeda dengan yang ada di negara-negara subtropis.

Warga di dekat Depo Pertamina Plumpang yang terbakr dan meledak di Jalan Tanah Merah Bawah Rt 012 Rw 09 Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, tampak berlarian, Jumat (3/3/2023) malam. (tangkap layar)
Warga di dekat Depo Pertamina Plumpang yang terbakr dan meledak di Jalan Tanah Merah Bawah Rt 012 Rw 09 Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, tampak berlarian, Jumat (3/3/2023) malam. (tangkap layar)

"Ya, tentu kemudian menjadi pertanyaan, ya, kenapa yang dipasang yang seperti itu gitu, ya," kata Diah saat dihubungi Suara.com, Rabu (8/3/2023).

Berdasarkan hasil diskusi dengan Komisi VII DPR RI, pihak Pertamina mengaku sudah melakukan penggantian sistem perlindungan terhadap petir secara bertahap. Namun, patut digarisbawahi bahwa belum seluruh alat-alat yang ada sudah diganti.

Diah menilai bahwa pemeliharaan maupun perawatan infrastruktur yang ada di kawasan depo itu harus mendapatkan perhatian serius.

Karena itu, Anggota dari Fraksi PKS tersebut menilai perlu adanya evaluasi menyeluruh untuk meningkatkan upaya pemeliharaan dan perawatan infrastruktur. Dirinya tidak menampik perlu merogoh kocek yang agak dalam untuk melakukannya.

Akan tetapi, ia menilai sudah sepatutnya pihak Pertamina juga memikirkan anggaran yang cukup besar dari tingginya keuntungan yang diperoleh untuk peningkatkan keamanan infrastruktur.

"Ya, karena ini membutuhkan safety yang sangat tinggi gitu. Ya, kalau misalkan pipanya itu berkarat gitu, ya, atau misalnya sambungannya sudah mulai ada kebocoran dan lain-lain, ini harus segera ditangani," katanya.

Diah juga memberikan perhatian pada manajemen Pertamina, khususnya untuk pengawasan di lapangan. Ia menganggap bahwa pengawasan di lapangan pemeriksaan ataupun kecermatan dalam pemeriksaan mau tidak mau menjadi kewajiban yang diterapkan oleh Pertamina.

"Ya, boleh jadi memang sebetulnya di Pertamina kan diterapkan satu standar prosedur yang safety yang tinggi. Nah, ini tidak boleh terjadi kelalaian," pintanya.

Sementara itu, pengamat ekonomi energi, Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi melihat petir kerap menjadi kambing hitam sebagai penyebab dan pemicu ledakan.

Hal itu diperparah dengan minimnya sistem keamanan yang dibuat oleh pihak Pertamina sehingga tidak bisa mencegah dampak dari adanya petir tersebut.

"Menurut prediksi saya, sistem keamanan yang dipakai Pertamina sangat buruk dan di bawah standar keamanan internasional. Mestinya ada begitu tersulut api, ada mekanisme berjenjang yang bisa mencegah api tidak menjadi besar," tutur Fahmy.

Fahmy menilai Indonesia perlu mempelajari sistem keamanan zero accident (nol kecelakaan) yang berlaku di Eropa dan Amerika. Di negara-negara yang ada di dua benua itu, sangat jarang terjadi ledakan atau kebakaran depo.

"Karena mereka menerapkan keamanan yang bagus. Kalau sering kebakaran, di Depo Plumpang sudah tiga kali, maka saya simpulkan keamanan Pertamina sangat buruk," tegasnya.

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto juga melihat, Kementerian BUMN lebih menekan soal keuntungannya saja ke Pertamina. Sementara perihal keamanan masih luput, mengingat kejadian kebakaran pada Maret 2023 bukan kali pertama terjadi di kawasan Pertamina.

Ia melihat ada ketidakseimbangan antara keuntungan yang diterima dengan perawatan infrastruktur di area depo.

"Seharusnya anggaran dan SDM perawatan ini dialokasikan cukup untuk menangani fasilitas Pertamina secara nasional," tuturnya.

Mulyanto menganggap kalau peristiwa kebakaran yang terjadi harus menjadi perhatian serius dari Pertamina. Bagaimana tidak, sudah enam kali kebakaran terjadi sejak 2021, jika dihitung, hampir tiap tiga bulan sekali terjadi musibah di area Pertamina.

"Selama ini terkesan pemerintah kurang perhatian dalam mengelola BUMN migas ini," katanya.

Suasana pemukiman warga hangus terbakar dampak kebakaran depo Pertamina Plumpang di Jalan Koramil, Rawa Badak, Jakarta Utara, Sabtu (4/3/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Suasana pemukiman warga hangus terbakar dampak kebakaran depo Pertamina Plumpang di Jalan Koramil, Rawa Badak, Jakarta Utara, Sabtu (4/3/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Usulan 2009 Tidak Diindahkan Pertamina

Bergeser ke perihal dekatnya kawasan Depo Pertamina Plumpang dengan pemukiman penduduk sudah dapat dipastikan menyalahi aturan.

Menurut sejumlah pakar, idealnya jarak aman antara Depo Pertamina Plumpang dengan pemukiman warga itu minimal 500 meter. Namun pada kenyataannya, hanya 28 meter jarak yang ada antara rumah warga dengan kilang BBM.

Pada 2009, Depo Pertamina Plumpang pernah mengalami kebakaran. Satu orang petugas meninggal dunia akibat peristiwa tersebut.

Kala itu, Jusuf Kalla (JK) yang masih menjabat sebagai Wakil Presiden pernah mengingatkan Pertamina untuk menjaga standar keamanan dan keselamatan kawasan itu.

Bahkan, JK meminta Pertamina untuk segera membebaskan lahan di sekitarnya. Tentu, pada saat itu sudah berderet rumah warga yang jaraknya begitu dekat.

"Saatnya sekarang bagi Pertamina untuk segera melakukan pembebasan lahan di sekitar kawasan depo di seluruh Indonesia agar kawasan depo dengan kawasan permukiman benar-benar aman," kata JK.

Sementara itu, Fauzi Bowo yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI kala itu menilai Depo Pertamina Plumpang harus dipindahkan dari kawasan Tanah Merah. Wilayah Marunda, Jakarta Utara dinilainya cocok untuk relokasi depo tersebut.

"Depo seharusnya berada di tempat yang jauh dari pemukiman," kata Fauzi Bowo.

Pada saat itu, Fauzi Bowo juga menekankan soal aspek keamanan bukan hanya bagi kawasan depo tetapi juga lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, ia menilai sudah semestinya depo jauh dari pemukiman warga.

"Jangan sampai kejadian kebakaran di Depo Minyak Plumpang terjadi lagi," katanya.

Buruknya Tata Ruang Kawasan Depo Plumpang

Pakar Energi dari Universitas Indonesia (UI) Iwa Garniwa mengungkapkan semestinya urusan jarak aman itu sudah tercantum dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Pemda DKI Jakarta.

"Hal ini terkait karena adanya bahaya yang mungkin terjadi dan menyebar ke perumahan di sekitarnya, hal ini seharusnya tidak terjadi apalagi sampai menimbulkan korban jiwa," ujar Iwa saat dihubungi Suara.com, Rabu (8/3/2023).

Ibarat menata dari nol kembali, Iwa menilai hal tersebut mesti dilakukan melalui evaluasi tata ruang. Kajian relokasi dengan melihat berbagai aspek mulai dari teknis, ekonomis, lingkungan, sosial hingga menguak kebenaran pihak mana yang terlebih dahulu mendirikan bangunan di sana juga harus dilihat.

Di luar itu, Iwa menilai SOP di dalam lingkungan depo juga harus betul-betul diperhatikan termasuk proteksi keamanan yang lebih baik lagi untuk mengamankan instalansi. Bukan untuk keamanan di dalam namun juga yang berada di sekitarnya.

Nyawa Warga Melayang, Siapa Tanggung Jawab?

Data terkini mencatat, sejumlah 19 orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi di Depo Plumpang Pertamina. Sementara 35 orang masih menjalani penanganan medis di rumah sakit.

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, Direktur Utama dan Komisaris Pertamina harus mundur karena kebakaran tersebut.

"Kalau bisa, mundur atau dimundurkan," tegasnya, Rabu (8/3/2023).

Langkah tersebut dianggap Fahmy sebagai bentuk tanggung jawab dari Pertamina atas timbulnya korban dari kejadian kebakaran.

"19 nyawa ini tidak bisa diabaikan, Dirut dan Komisaris Pertamina harus mundur atau diganti. Kalau tidak mau, Erick Thohir yang harus mengganti," tuturnya.

Fahmy lantas menilai, perlu perbaikan sistem keamanan di Depo Pertamina maupun kilang minyak di daerah lain. Hal tersebut mengingat bahwa kebakaran lagi-lagi bukan terjadi satu kali saja.

"Sudah berkali-kali terjadi masa tidak bertanggung jawab," tuturnya.

===========================================================

Editor: Ria Rizki Nirmala Sari

Tim Liputan: Faqih Faturrachman, Novian Ardiansyah, Bagaskara Isdiansyah, Uli Febriarni 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI