Suara.com - Pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU), Yenti Garnasih menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semestinya dapat melakukan upaya hukum lebih lanjut ketika menerima laporan terkait adanya kejanggalan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Alun Trisambodo sejak 2012 lalu. Bukan justru terkesan lepas tanggung jawab dengan dalih telah melaporkan temuan tersebut ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Saya merasa aneh kalau KPK lupa filosofi LHKPN bahwa itu untuk menjaga agar pejabat negara tidak terlibat atau menikmati hasil kejahatan, dan itu ada di LHKPN-nya. Artinya apa? LHKPN itu untuk indikasi TPPU tidak harus dari hasil korupsi," kata Yenti kepada Suara.com, Minggu (26/2/2023) malam.
"Jadi kalau mau memeriksa LHKPN (Rafael) yang Rp 56 miliar lalu bilang jauh dari TPPU, ya harus bilang bagaimana saya?," imbuhnya.
Menurut Yenti, Undang-undang TPPU telah ada sejak 21 tahun lalu atau tepatnya sejak tahun 2002. Dia memaklumi jika masyarakat awam mungkin belum jelas tentang TPPU.
Baca Juga: Kelakuan Bejat Anak Pejabat, Pamer Harta Berujung Petaka
"Tapi kalau aparat hukum tidak mau belajar TPPU, tidak mau memahami TPPU, saya tidak tahu lagi harus berkata apa," katanya.
Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK atau Pansel Capim KPK 2019-2023 itu juga berpendapat, komisi antirasuah semestinya memiliki paradigma opinion tentang langkah apa yang mestinya mereka lakukan ketika menerima atau menemukan adanya kejanggalan dari LHKPN Rafael sejak 2012 lalu.
Apalagi dengan latar belakang Rafael yang merupakan pejabat DJP, KPK menurutnya bisa berkaca dari kasus mafia pajak seperti Gayus Tambunan.
"Ini kan pengalam di zaman Gayus, siapa tahu karena kewenangannya, karena jabatannya atau karena dia menerima suap atau gratifikasi karena mungkin dia membantu yang harus wajib pajak bayar sekian itu di-markdown," ujarnya lagi.
Menurut Yenti, adanya kejanggalan dalam LHKPN Rafael ini sebenarnya bisa menjadi pintu masuk terhadap dugaan adanya kejahatan lainnya.
Baca Juga: Mengintip Garasi Koleksi Kendaraan Mewah Diduga Milik Rafael, Harga Fantastis!
"Jangan lupa yang namanya tax evasion (penggelapan pajak) itu adalah cikal bakalnya money laundring dulunya. Jadi kalau dibilang ini jauh dari pencucian uang ya aneh. Jauh dari mana? Jauh dari mata," ujar Yenti.
"Pertanyaan kita, apakah SDM-nya (KPK) kurang, apa kemauannya yang nggak ada? Kalau nggak sanggup menurut saya kirimkan saja ke Polri. Polri habis ada masalah Sambo dan Teddy. Kan Pak Listyo (Kapolri) mengatakan akan memperbaiki (kepercayaan Polri). Ini lah momentum," kata Yenti menambahkan.
Transaksi Janggal Rafael Alun
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyebut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah melaporkan adanya kejanggalan dalam transaksi harta kekayaan Rafael ke KPK sejak 2012.
"Laporan kekayaan yang bersangkutan di PPATK itu sudah dikirimkan oleh PPATK sejak tahun 2012, tentang transaksi keuangannya yang agak aneh," kata Mahfud di Menara Peninsula, Slipi, Jakarta Barat, Jumat (24/2/2023) lalu.
Akan tetapi, kata Mahfud, laporan PPATK itu belum ditindaklanjuti oleh KPK. Kejanggalan terkait harta kekayaan Rafael lantas kembali disorot usai anaknya yang bernama Mario Dandy Satriyo (20) terlibat kasus penganiayaan terhadap David (17).
Dalam unggahan yang beredar di media sosial diketahui bahwa Mario kerap menggunakan kendaraan mewah. Mulai dari mobil Rubicon yang digunakan saat melakukan penganiayaan terhadap David hingga motor Harley Davidson.
Mahfud menilai hal tersebut bisa menjadi pintu masuknya KPK untuk menyelidiki anehnya transaksi kekayaan Rafael.
Belakangan usai ramai menjadi perbincangan publik, KPK akhrinya menyampaikan akan segera memeriksa Rafael. Pemeriksaan dilakukan untuk mengklarifikasi LHKPN tersebut.