Suara.com - Penganiayaan sadis yang dilakukan Mario Dandy Satriyo (20) terhadap putra salah satu pengurus GP Ansor bernama David (17) masih menjadi sorotan publik.
Dandy adalah putra dari pegawai pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo yang menjabat sebagai Kepala Bagian Umum DJP Kanwil Jakarta Selatan---belakangan sudah mengundurkan diri.
Latar belakang Dandy lantas menjadi sorotan publik. Gaya hidupnya mengendarai mobil mewah Jeep Rubicon dan sepeda motor Harley Davidson kerap dipamerkan di media sosialnya.
Ditelusuri lebih jauh, ayahnya Rafael memiliki kekayaan senilai Rp 56,1 miliar, hanya selisih Rp 1,9 milar dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang punya harta Rp 58, 048 miliar.
Baca Juga: Jenguk di Rumah Sakit, Pendiri Jaringan Islam Liberal Nong Darol Minta Doa Kesembuhan David
Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi menyebut perilaku Dandy hingga melakukan kekerasan merupakan bagian dari hedonisme. Dandy disebut Sigit, sedang merayakan kekayaan yang dimiliki oleh ayahnya. Dandy butuh pengakuan atas status sosialnya dan haus akan penghormatan.
"Dalam sosiologi dikenal sebagai hedonisme, orang yang bersenang-senang, orang yang merasa dirinya menjadi pemilik barang-barang mewah dan dia merayakan kesenangannya dengan barang-barang mewah," kata Sigit dihubungi Suara.com pada Sabtu (25/1/2023).
Biasanya kata Sigit, perilaku hedonisme terjadi pada generasi kedua dari keluarga kaya. Mereka sudah terlahir dengan kekayaan yang melimpah dan tinggal menikmati hasil jerih payah orang tuanya, tanpa harus mengeluarkan keringat.
"Jadi kalau orang-orang bercucuran keringat, orang-orang bercucuran air mata, meskipun dia kaya, dia tidak berperilaku hedonis. Jadi hedonis itu ditunjukkan oleh generasi kedua, atau generasi ketiga, misalnya anak orang kaya raya, cucunya orang kaya raya, ini biasanya seperti itu," jelas Sigit.
Kekayaan itu mereka representasikan dengan gaya hidupnya di mana saat mereka memiliki barang-barang bermerek hingga kendaraan mewah, kemudian dipertontonkan dengan tujuan menjadi pusat perhatian orang lain.
Baca Juga: Selain Rafael Alun Dicopot dari Jabatan, Ini Buntut Kasus Aniaya oleh Mario Dandy
"Dan orang yang ada di sosialnya itu diharapkan untuk menghormati. Jadi dia merasa dirinya sebagai pusat perhatian, dari kelompok yang ada di sekitarnya itu," kata Sigit.
Namun perilaku hedonisme itu berpotensi berujung petaka, ketika mereka terusik, seperti yang dilakukan Dandy. Mereka tak segan melakukan tindak brutal ketika harga dirinya terusik, meskipun hanya dipicu hal sepele.
Terlebih pihak yang mengusik mereka, dianggap berada jauh di bawah mereka.
"Nah, ketika melihat si sasaran, si korban ini ternyata dia tidak selevel, dia melampiaskan dendam seperti itu (kekerasan)," sebut Sigit.
Sigit pun menilai dari kasus Dandy terdapat satu hal yang dapat disimpulkan, kebanggaan atas kekayaan yang membutuhkan pengakuan.
"Bahwa dia memiliki prestise, memiliki status yang diperoleh oleh kekayaan ayahnya," sebutnya.
Namun pada kasus Dandy, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan itu berujung petaka.
"Nah, kebanggaan ekonomi ini berdampak pada perilaku kekerasan yang dia lakukan, karena korbannya dianggap adalah orang lapisan bawah. Kelompok yang ada di bawah" kata Sigit.
"Jadi ini ada status prestise, ada kebanggaan kekayaan, harga dirinya tersinggung kemudian dia melakukannya dengan kekerasan begitu," sambungnya.