Aturan Penarikan Kendaraan yang Kreditnya Bermasalah, Debt Collector Tak Boleh Seenaknya

Kamis, 23 Februari 2023 | 18:02 WIB
Aturan Penarikan Kendaraan yang Kreditnya Bermasalah, Debt Collector Tak Boleh Seenaknya
Sekelompok penagih hutang atau debt collector mengambil paksa mobil milik wanita bernama Clara di apartemen Casa Grande, Tebet, Jakarta Selatan, pada Jumat (17/2/2023). (tangkap layar)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seorang selebgram bernama Clara Shinta mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan dari debt collector karena telah menarik paksa mobil miliknya. Hal tersebut pun kemudian berujung pada laporan ke Polda Metro Jaya.

Kasus penarikan paksa oleh debt collector ini memang marak terjadi bahkan kerap kali terjadi kericuhan dan menelan korban luka. Aksi tersebut juga sebenarnya sempat menjadi sorotan masyarakat dikarenakan tindakan kasar dari debt collector yang kerap kali semena-mena.

Padahal, tindakan mengambil barang dengan cara pemaksaan dan juga secara kasar ini tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan secara hukum karena merugikan debitur.

Lantas, bagaimana aturan mengambil kendaraan yang kreditnya bermasalah?

Baca Juga: Polisi Tidak Akan Terima Laporan Debt Collector Perebut Mobil Clara Shinta

Pada bulan Februari 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pihak yang memiliki wewenang untuk membantu dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia, yaitu pengadilan negeri sebagaimana tertulis dalam Penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia).

Putusan tersebut sudah tertulis dalam Putusan Nomor 71/PUU-XIX/2021 yang dibacakan dalam sidang pengucapan putusan pada hari Kamis (24/2/2023).

Mahkamah juga telah melakukan pertimbangan terkait dengan tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang telah diatur dalam ketentuan lain dalam Undang-Undang 42/1999 agar disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Oleh karenanya, putusan a quo yang berkaitan dengan Penjelasan pasal 15 ayat (2) tidaklah berdiri sendiri karena ketentuan pasal-pasal lain dalam Undang-Undang 42/1999 yang berkaitan dengan tata cara eksekusi harus juga mengikuti serta menyesuaikan dengan putusan quo, termasuk dengan ketentuan yang telah tercatat dalam Pasal 30 Undang-Undang 42/1999 beserta penjelasannya.

Berdasarkan hal tersebut, pihak kreditur tidak bisa melakukan eksekusi sendiri secara paksa. Misalnya penagihan, bisa meminta bantuan aparat kepolisian jika terkait dengan cidera janji oleh debitur terhadap kreditur yang masih belum diakui oleh debitur, dan debitur merasa keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek di dalam perjanjian fidusia.

Baca Juga: Sepak Terjang Fadil Imran, Kapolda Metro Jaya Naik Darah Gegara Anggotanya Dimaki Debt Collector

Terkait dengan pengamanan eksekusi Fidusia yang juga telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia terkait dengan Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.

Dalam pasal 3 terkait dengan prinsip-prinsip peraturan meliputi:

a. Legalitas, yaitu pelaksanaan dalam pengamanan eksekusi jaminan fidusia harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

B. Necesitas, yaitu bentuk pengamanan eksekusi jaminan fidusia yang diberikan berdasarkan penilaian situasi dan juga kondisi yang tengah dihadapi,

C. Proporsionalitas, yaitu sebuah bentuk pengamanan eksekusi jaminan terhadap fidusia yang dilakukan dengan cara memperhitungkan hakikat ancaman yang tengah dihadapi dan pelibatan kekuatan,

D. Akuntabilitas, yaitu bentuk pelaksanaan pengamanan eksekusi jaminan fidusia yang bisa dipertanggungjawabkan.

Untuk diketahui, fidusia sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya telah dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan si pemilik benda.

Kontributor : Syifa Khoerunnisa

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI