"Konten is King, konten harus relevan dan berharga di mata pembaca (isi & format). Ketika masyarakat melek digital, consumer behaviour shifting ke video. Disrupsi membuat audiens lebih banyak ditarik oleh platform influencer, bukan lagi platform media berbasis jurnalistik," ujar Andy.
"Bisnis model di luar advertising, sudah dilakukan Kompas cetak dengan menggarap konten premium berbayar. Model subscription juga banyak membantu bisnis jurnalisme Kompas," sambungnya.
Ketua Indonesian Digital Association (IDA) Dian Gemiano, mengumpamakan iklan programatik seperti hutan belantara. "Publisher harus memiliki kontrol terhadap traffic publisher ads, pengelola media juga harus mampu menganalisis dengan cermat agar adil dan setara, banyak parameter mulai dari kebijakan, praktik bisnis, pengelolaan konsumen," katanya.
Wapemred Liputan6.com, Elin Kristanti mengatakan, saat ini iklan-iklan native ads yang beredar memiliki garis pembatas yang tipis antara bisnis dan jurnalistik. Isinya banyak yang bombastis dan dibingkai seolah produk jurnalistik.
"Jangan sampai iklan dibuat bombastis dan membuat pembaca bingung, mana konten editorial dan mana iklan. Ini tentu bisa merusak kepercayaan publik, karena mereka tidak semua paham bahwa itu adalah materi iklan," kata Elin.
Sebagai asosiasi perusahaan media, AMSI berkomitmen terus mendorong jurnalisme yang berkualitas dan bisnis media yang sehat berkelanjutan. Pertemuan dan berbagi ide antara publisher, advertising agency, dunia usaha, pembaca, industri teknologi global, dan para pemangku kepentingan lainnya menjadi salah satu agenda penting untuk mewujudkan misi AMSI; berkualitas kontennya, sehat bisnisnya.