Suara.com - Kamaruddin Simanjuntak selaku penasihat hukum keluarga Brigadir Yosua meminta kepada Polri agar rumah dinas Ferdy Sambo di kompleks Duren Tiga, Jakarta Selatan dijadikan museum. Alasannya, agar tak ada lagi kejahatan di tubuh kepolisian.
Menurut Kamaruddin, dengan dijadikan museum, maka rumah Ferdy Sambo yang menjadi lokasi pembunuhan Brigadir Yosua juga menjadi pengingat agar jajaran kepolisian bisa bekerja lebih baik dan benar serta humanis.
"Permintaan supaya rumah itu dijadikan museum sebagai pengingat supaya tidak ada lagi kejahatan di kepolisian atau propam dan tidak ada lagi obstruction of justice di kemudian hari," ujar Kamaruddin dikutip Sambtu (19/2/2023).
"Dan itu menjadi pengingat supaya polisi-polisi yang kita cintai menjadi polisi yang baik dan benar dan humanis yang berpihak kepada rakyatnya sendiri," sambung Kamaruddin.
Baca Juga: Hak Hidup di Konstitusi dan Bayang Hukuman Mati Ferdy Sambo
Selain itu, keluarga Brigadir Yosua juga meminta kepada Polri agar nama baiknya dipulihkan, begitu juga soal restitusi atau ganti rugi yang diberikan kepada keluarga korban.
Selain itu, keluarga Yosua juga mengusulkan agar Brigadir Yosua mendapat kenaikan pangkat dua tingkat dari Brigadir Polisi menjadi Ajun Inspektur Dua atau Aipda anumerta.
"Pemulihan nama baik, restitusi, kenaikan pangkat dua tingkat usulan," ucap Kamaruddin.
Diketahui, dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua ini, lima terdakwa telah divonis atau dijatuhi hukuman oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan.
Pertama adalah Ferdy Sambo, oleh hakim ia dijatuhi hukuman mati. Hukuman itu jauh lebih tinggi dibanding tuntutan jaksa yakni hukuman seumur hidup.
Kedua adalah Putri Candrawathi, oleh majelis hakim, istri Ferdy Sambo ini dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Hukuman ini juga lebih tinggi dari tuntutan jaksa yakni hukuman 8 tahun bui.
Ketiga Kuat Ma'ruf, ia divonis 15 tahun penjara karena terbukti terlibat dalam pembunuhan Brigadir Yosua. Hukuman ini juga jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa yakni hukuman 8 tahun bui.
Keempat adalah Ricky Rizal, ia dijatuhi vonis selama 13 tahun penjara oleh hakim. Vonis itu juga lebih tinggi dari tuntutan jaksa yakni 8 tahun penjara.
Tedakwa kelima adalah Richard Eliezer yang divonis terakhir. Selaku justice collaborator Richard atau Bharada E divonis paling ringan.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Richard bersalah melanggar Pasal 340 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan primer dari JPU.
Oleh jaksa, Richard sebelumnya dituntut hukuman selama 12 tahun penjara. Namun oleh hakim, ia divonis ringan yakni satu tahun enam bulan.