Suara.com - Warga Desa Pakel, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur menggelar aksi mogok makan di depan Gedung Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Jakarta Selatan, Senin (20/2/2023). Mereka mengancam menggelar aksi mogok makan selama sepekan, sampai Kementerian ATR/BPN menyelesaikan konflik agraria yang terjadi antara warga Pakel dengan PT Bumi Sari.
Pradipta Indra perwakilan Walhi Jatim, sebagai tim advokasi warga Pakel menyebut aksi tersebut merupakan simbol kekecewaan mereka karena sengketa lahan yang tak kunjung diselesaikan.
"Jadi warga melakukan mogok makan mengekspresikan kekecewaan, karena kasus Pakel yang nggak selesai-selesai," kata Indra kepada Suara.com di lokasi.
Dia menyebut, mogok makan warga Pakel itu merupakan dampak ketidakberpihakan negara kepada warga atas lahan pertanian yang berpotensi mengancam ketersediaan pangan.
Baca Juga: Pasca Ledakan Petasan di Blitar, Polda Jawa Timur Kirim Tim Labfor
Konflik agraria itu efek ketimpangan-ketimpangan penguasaan lahan pertanian di Pakel.
"Dari 800 kepala keluarga yang tergabung dalam Rukun Tani Sumber Rejo Pakel, ada 70-80 persen masyarakat adalah tunakisma atau mayoritas adalah masyarakat buruh yang tidak punya lahan," ujar Indra.
"Sehingga begitu lahan ini berkonflik atau bersengketa tentu berhubungan dengan keberlangsungan pangan masyarakat. Keterancaman pangan itu sangat mungkin tejadi dengan masyarakat ketika lahan itu nggak ada," sambungnya.
Mereka mendesak Kementerian ATR/BPN untuk segera menyelesaikan konflik agraria antara warga dengan PT Bumi Sari yang mengklaim lahan pertanian masyarakat.
Mereka mengancam bakal menggelar mogok makan di Kementerian ATR/BPN hingga Jumat (24/2) depan, sambil menunggu tindak lanjut dari pemerintah.
Di samping itu, aksi mogok makan mereka gelar sebagai bentuk solidaritas terhadap tiga petani yang dikriminalisasi. Tiga warga yang dikriminalisasi itu adalah Kepala Desa Pakel Mulyadi, Kepala Dusun Durenan Suwarno, dan Kepala Dusun Taman Glugoh Untung.
Mereka ditangkap dan dijadikan tersangka oleh Polda Jawa Timur atas dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks.
Warga dan tim pendamping hukum menyebut ketiganya dikriminalisasi, karena penangkapan dan penetapan mereka sebagai tersangka dilakukan bersamaan dengan konflik lahan pertanian antara warga dan PT Bumi Sari.
Untuk dugaan kriminalisasi, tim pendamping hukum bersama warga mendatangi Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas. Mereka mengadukan ketidakprofesionalan Polda Jatim atas ketiga warta tersebut.
Tak hanya itu, mereka juga mendatangi Komnas HAM untuk meminta menyelesaikan konflik agraria.
"Kami tadi mendorong Komnas HAM untuk menginisiasi dengan Kementerian ATR/BPN dan Polri untuk segera menyelesaikan sengketa kasus Pakel," tuturnya.
Hasil audiensi, Komnas HAM menyatakan akan berkoordinasi dengan pihak yang terlibat dengan sengketa lahan tersebut.
Mengutip dari laman Walhi Jawa Timur, penangkapan terhadap ketiga terjadi pada Jumat (3/2) malam, ketika ketiganya hendak menghadiri rapat asosiasi Kepala Desa Banyuwangi.
Sebelum penangkapan, Mulyadi dan kawan-kawan mendapatkan surat panggilan dari Polda Jawa Timur, meminta ketiganya untuk hadir pada Kamis 19 Januari lalu. Namun surat panggilan itu baru diterima pada Jumat, 20 Januari. Selain itu warga dan tim kuasa hukum mempertanyakan bentuk penyebaran berita bohong terhadap ketiganya.
Informasi yang diperoleh tim pendamping, ketiganya dituduhkan menyebarkan kabar bohong, diduga karena Akta 1929. Surat yang dikeluarkan pada era penjajahan Belanda itu, menjadikan warga untuk menggarap lahan yang kekinian bersengketa dengan PT Bumi Sari.
Karena menilai penetapan sebagai tersangka adalah upaya kriminalisasi, mereka mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Banyuwangi pada 30 Januari 2023. Walhi Jatim lantas menilai penangkapan itu menunjukkan kepolisian yang tidak menghormati praperadilan ketiganya yang merupakan bagian dari penegakan HAM.
Sengketa Lahan Petani Pakel
Masih mengutip dari laman Walhi Jatim, sengketa lahan petani Pakel disebut telah terjadi 100 tahun atau 1 abad. Lewat Akta tertanggal 11 Januari 1929 era pemerintahan kolonial Belanda, memberikan izin kepada warga Pakel untuk membuka lahan seluas 400 bahu.
"Namun, dalam perjalanannya kawasan Akta 1929 tersebut dikuasai oleh Perhutani dan PT Bumi Sari saat Orde Baru berkuasa – yang terus berlangsung hingga saat ini," tulis Walhi Jatim.
Sementara di Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, nomor SK.35/HGU/DA/85, dijelaskan PT Bumi Sari hanya mengantongi HGU seluas 1189,81 hektare, terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU nomor 1 Kluncing dan Sertifikat HGU nomor 8 Songgon.
"Dengan demikian, jelas dapat disimpulkan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Pakel," sebut Walhi Jatim.
Berbagai upaya dilakukan warga untuk mendapatkan haknya kembali. Pada 24 September 2020, bersamaan dengan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), ribuan warga sepakat melakukan aksi reklaiming di lahan leluhur mereka yang dikuasai PT Bumi Sari. Mereka tergabung dalam organisasi Rukun Tani Sumberejo Pakel (RSTP)
Namun aksi tak seperti yang mereka harapkan, hingga November 2021, 11 warga mendapat surat panggilan dari kepolisian dan sua diantarnya jadi tersangka atas tuduhan menempati lahan secara ilegal.
Kemudian pada Desember 2021, 2 warga mendapat panggilan dari kepolisian dengan tuduhan dugaan pelanggaran pasal 47 (1) UU 18 nomor 2004 tentang Perkebunan dan pasal 170 (1) serta pasal 406 (1) KUHP.
Warga telah menyampaikan soal sengketa lahannya secara langsung ke kepada Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto – yang juga diikuti oleh Wamen ATR/BPN Raja Juli Antoni pada tanggal 26 Oktober 2022 di kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta.
Disebut Walhi Jatim, kementerian ATR/BPN berjanji akan segera melakukan kunjungan ke Banyuwangi dan mengupayakan berbagai langkah penyelesaian.
"Namun, hingga kini tampaknya janji tersebut belum terealisasi, sementara di pihak warga Pakel mereka terus mengalami berbagai tekanan dan kriminalisasi seperti diuraikan di atas," tuturnya.
Jauh sebelum itu, warga bersama pendamping hukumnya telah mengadu dan melakukan audiensi dengan Kantor Staf Presiden Republik Indonesia pada Juni 2021, namun hasilnya tidak ada titik terang hingga sekarang.