Demokrat dan PDIP Memanas, Hasto: Pemilu Era SBY Bikin Partai Digerakkan Kapital

Senin, 20 Februari 2023 | 08:41 WIB
Demokrat dan PDIP Memanas, Hasto: Pemilu Era SBY Bikin Partai Digerakkan Kapital
Caption : Mantan Presiden dua periode masa jabatan 2004-2014, SBY saat membagikan pandangan untuk pemilu 2024 di RM Warunge Dewek, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, Rabu (11/1/2023) malam. [Suara.com/Anang Firmansyah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menanggapi pernyataan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mempertanyakan urgensi penggantian sistem Pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. 

Menurut Hasto SBY sedang lupa dengan apa yang pernah diperbuatnya ketika masih menjadi presiden pada tahun 2008 lalu.

“Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review. Dan itu hanya beberapa bulan, sekitar 4 bulan menjelang Pemilu yang seharusnya tidak boleh ada perubahan,” kata Hasto dalam keterangannya dikutip Senin (20/2/2023).

Menurut dia, sistem pemilu dirubah saat era SBY sebagai strategi jangka pendek Demokrat untuk meraih kemenangan. Bahkan, Hasto menyebut target kemenangan itu bisa mencapai 300 persen.

Baca Juga: Ditandai Pemasangan Jaket Partai, Teten Masduki Resmi Gabung PDI Perjuangan

“Sehingga dengan melakukan segala cara akhirnya Partai Demokrat mengalami kenaikan 300 persen, bayangkan dengan PDI perjuangan yang ketika berkuasa, kenaikannya hanya 1,5 persen," kata Hasto.

Sekjen DPP PDI Hasto Kristiyanto di Bandung, Jabar pada Sabtu (28/1/2023).
Sekjen DPP PDI Hasto Kristiyanto di Bandung, Jabar pada Sabtu (28/1/2023).

"Sehingga, mustahil dengan sistem multi partai yang kompleks suatu partai bisa menaikkan suaranya bisa 300 persen dan itu tidak mungkin terjadi tanpa kecurangan masif, tanpa menggunakan beberapa elemen dari KPU yang seharusnya netral. Dan itu dipakai, dan dijanjikan masuk ke dalam kepengurusan partai tersebut,” sambung dia.

Hasto lantas nenyampaikan terkaitjudical review yang saat ini sedang berporses di Mahakamah Konstitusi, berbeda dengan yang dilakukan pada 2008 silam.

“Judical review sekarang tidak dilakukan oleh partai karena PDI Perjuangan juga tidak punya hak, tidak punya legal standing untuk melakukan judicial review," lanjut dia.

"Ini dilakukan oleh beberapa pakar yang melihat bahwa dengan demokrasi proporsional terbuka yang dicanangkan oleh pada zaman Pak SBY tersebut, yang terjadi ternyata liberalisasi politik yang luar biasa yang menyulitkan kami untuk mencalonkan rektor, untuk mencalonkan akademisi, untuk mencalonkan pakar untuk mencalonkan budayawan, untuk mencalonkan tokoh-tokoh betawi, untuk mencalonkan tokoh-tokoh nelayan,” kata Hasto.

Baca Juga: SBY Buka Suara Soal Sistem Pemilu Tertutup: Jangan Seenaknya Mengubah, Rakyat Perlu Diajak Bicara

Menurut Hasto, penggantian sistem Pemilu menjadi proporsional terbuka yang dilakukan era SBY membuat partai digerakkan oleh kekuatan kapital.

“Ada investor-investor yang menyandera demokrasi. Jadi Pak SBY sebaiknya ingat bahwa liberalisasi itu justru tejadi pada masa beliau. Judical review saat itu dilakukan hanya beberapa bulan menjelang pemilu, berbeda dengan sekarang karena komitmen untuk mengembalikan sistem politik pada Pancasila,” kata Hasto.

Hasto juga mengingatkan jika ada undang-undang yang hanya digunakan untuk kepentingan partai, yang terjadi ada etika yang dilanggar.

“Ketika undang-undang digerakkan untuk kepentingan kekuasaan bagi partainya, yang dilakukan sering kali melanggar aspek-aspek kepantasan, aspek etika,” tandasnya.

Pernyataan SBY

SBY sebelumnya buka suara soal ramai sistem Pemilu proporsional terbuka dan tertutup yang kini sedang dalam sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Saya mulai tertarik dengan isu penggantian sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Informasinya, Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera memutus mana yang hendak dipilih dan kemudian dijalankan di negeri ini. Sebelum yang lain, dari sini saya sudah memiliki satu catatan," tulis SBY dalam keterangannya dikutip Minggu (19/2/2023).

Dalam catatannya, SBY mempertanyakan tepat tidaknya sistem Pemilu diubah san diganti saat tahapan Pemilu sudah mulai berjalan.

"Benarkah sebuah sistem pemilu diubah dan diganti ketika proses pemilu sudah dimulai, sesuai dengan agenda dan "time-line" yang ditetapkan oleh KPU? Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan?" tanya SBY.

Pertanyaan ini, kata SBY, tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini.

Ia juga menanyakan, apakah saat ini, ketika proses Pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara Indonesia, seperti situasi krisis tahun 1998 misalnya, sehingga sistem Pemilu mesti diganti di tengah jalan. 

"Namun, di masa tenang, bagus jika dilakukan perembugan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judical review ke MK. Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya  hanya bergerak dari terbuka - tertutup semata," tutur SBY.

Menurut dia, tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak.

Apa yang saya maksud? Jika kita hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara. Perlu dilibatkan," kata SBY.

Keterlibatan rakyat kata SBY, bisa dengan berbagai cara. Salah satunya menggunakan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal. 

SBY beranggapan, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan atau power yang dimilikinya.

"Dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan 'hajat hidup rakyat secara keseluruhan'," ujar SBY.

"Menurut pendapat saya, mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan misalnya)" sambung SBY.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI