Suara.com - Vonis hukuman 1,5 tahun penjara dijatuhkan hakim kepada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) dalam kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Hal tersebut diperoleh dari sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Rabu (15/2/2023).
Putusan tersebut diberikan hakim melalui pertimbangan Richard Eliezer sebagai justice collaborator (JC) atau saksi pelaku. Namun, perjuangannya dalam menyandang status itu bisa dibilang tidak mudah. Selama persidangan, ia seringkali diragukan bahkan oleh jaksa hingga kekinian dianggap mencetak sejarah baru.
Sempat Diragukan Jaksa
Jaksa pernah meragukan status justice collaborator yang diterima Richard. Dikatakannya bahwa dalam UU Perlindungan Saksi Korban (PKS) Nomor 31 Tahun 2014, tentang pidana pembunuhan berencana, tidak tercatat jika LPSK dapat menjadikan terdakwa sebagai justice collaborator.
Berdasarkan aturan tersebut, pihak yang bisa memiliki status justice collaborator hanya untuk pelaku tindak pidana tertentu. Di antaranya, pidana korupsi, pelanggaran HAM berat, korupsi, terorisme, kekerasan terhadap anak, hingga yang bersifat mengancam posisi korban atau saksi.
Dipertanyakan Pihak Sambo
Beberapa kali, pihak Ferdy Sambo mempertanyakan status justice collaborator Richard. Disebutkan pula jika ia tidak layak menjadi pelaku yang bekerja sama. Kuasa hukum Sambo, Febri Diansyah, bertanya hal terkait kepada saksi ahli, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Andalas Alwi Danil.
Ia menyinggung apakah Richard yang dinilai tidak konsisten pantas menjadi justice collaborator atau tidak. Namun, saksi ahli menolak untuk memberikan jawaban. Sebab menurutnya, kelayakan seorang JC hanya bisa dinilai oleh LPSK.
Lalu, Febri juga pernah bertanya kepada saksi ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali. Saksi ini lalu menjawab jika tidak ada potensi serangan dan keputusan LPSK dalam kasus Yosua, maka status JC pun tidak ada.
Disebut Layak oleh LPSK