Suara.com - Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR mengapresiasi putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terkait vonis pelaku pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Meski demikian, ICJR menyayangkan salah satu terdakwa yaitu Ferdy Sambo mendapat vonis mati.
Namun beranjak dari euforia 'keadilan' yang seolah terbayarkan atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ada tragedi Kanjuruhan yang mengakibatkan 135 orang meninggal dunia.
"Di saat yang sama, sedang bergulir persidangan kasus Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya, yang isunya juga erat kaitannya dengan institusi Polri," kata Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu lewat keterangan, Rabu (15/2/2023).
Menurut Erasmus, kasus pembunuhan Brigadir J dan Tragedi Kanjuruhan harus dimaknai pengambilan kebijakan untuk mereformasi institusi Polri.
"Kasus-kasus ini harus dapat dilihat oleh para pembuat kebijakan sebagai sinyal genting untuk mereformasi institusi kepolisian agar lebih akuntabel dan berperspektif HAM dalam menjalankan tugas dan kewenangannya," kata Erasmus.
Sementara itu, berdasarkan siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH pos Malang, LBH Surabaya, dan Lokataru serta lembaga swadaya masyarakat lainnya, ada laporan dugaan tindakan intimidatif yang dilakukan anggota Brimob.
Mereka diduga melakukan intimidasi saat bertugas mengamankan sidang Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang terjadi pada Selasa 14 Februari 2023 lalu.
"Sebagaimana dalam video yang beredar di media sosial, puluhan anggota Brimob bertindak intimidatif dengan berteriak dan menyoraki para Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang akan memasuki ruang sidang Cakra bersamaan dengan tiga terdakwa anggota Polri kasus tragedi Kanjuruhan yaitu AKP Hasdarmawan, Kompol Bambang Sidik Achmadi dan AKP Wahyu Setyo Pranoto."
Baca Juga: YLBHI Persoalkan Brimob yang Teriak-teriak ke JPU Jelang Sidang Pembuktian Perkara Kanjuruhan
"Pihak keamanan pengadilan bahkan sampai berkali-kali mengingatkan puluhan anggota Brimob ini untuk tidak membuat kegaduhan saat persidangan," sebut Koalisi Masyarakat Sipil lewat keterangannya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, tindakan itu merupakan bentuk penghinaan terhadap pengadilan (Contempt of Court), karena bagian dari perilaku yang tercela dan tidak pantas dilakukan di pengadilan.
"Dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kegaduhan dan dinilai merupakan bentuk intimidasi terhadap Jaksa Penuntut Umum. Perilaku tercela tersebut justru menunjukkan kurangnya profesionalitas aparat Brimob dalam melakukan pengawalan dan pengamanan pagar betis di Pengadilan Negeri Surabaya," tegas Koalisi Masyarakat Sipil.
"Tindakan tersebut dinilai merupakan bentuk intimidasi dan unjuk kekuasaan yang dapat mempengaruhi proses persidangan, apalagi persidangan kali ini sudah memasuki tahapan persidangan yang paling krusial yakni tahap pembuktian dan penuntutan," sebut Koalisi Masyarakat Sipil.
Menurut mereka, dugaan intimidasi itu berdampak terhadap jalannya sidang. Jaksa Penuntut Umum sama sekali tidak mengajukan pertanyaan.
"Melainkan hanya mengajukan keberatan kepada majelis karena semua pertanyaan penasehat hukum bersifat menyimpulkan fakta persidangan secara sepihak," sebut mereka.
Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai, sedari awal pengungkapan Tragedi Kanjuruhan penuh dengan kejanggalan, mulai dari kepentingan keluarga korban yang kurang diperhatikan dalam proses persidangan hingga pengalihan gelaran persidangan ke Pengadilan Negeri Surabaya.
"(Serta) diterimanya anggota Polri sebagai penasehat hukum tiga terdakwa yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, hingga pembatasan terhadap akses media dalam meliput siaran langsung proses persidangan," sebut Koalisi Masyarakat Sipil.
Karenanya mereka menyampaikan dua desakannya kepada Kapolri dan Kapolda Jawa Timur. Dua desakan itu adalah:
1. Menghentikan tindakan pengamanan yang mengarah kepada penghinaan terhadap pengadilan (Contempt of Court) melalui sikap perilaku aparat yang mengganggu jalannya imparsialitas dan integritas jalannya persidangan melalui bentuk tindakan-tindakan intimidatif.
2. Memberikan sanksi yang tegas terhadap dugaan pelanggaran kode etik (oleh Propam) bagi anggota Brimob yang melakukan Penghinaan terhadap Pengadilan (Contempt of Court) pada saat berlangsungnya proses persidangan, serta melanjutkannya pada proses penyidikan ketika terindikasi tindak pidana contempt of court.