“Oh boleh,” katanya.
“Bolehkah kapan-kapan kita berbincang tentang kehidupan teman-teman pengungsi?” tanya ku lagi.
“Boleh, dengan senang hati,” balas Rahima.
Rahima adalah bagian dari 7.047 pengungsi asal Afghanistan yang berada di Indonesia. Meski belum meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, Indonesia masih menjadi tujuan bagi para pengungsi dari berbagai negara. Padahal, Indonesia hanya menjadi negara yang berfungsi sebagai tempat transit bagi para pengungsi luar negeri yang meninggalkan negaranya karena berbagai macam persoalan.
Catatan UNHCR hingga Oktober 2022, total ada 12.731 pengungsi dari berbagai macam negara yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Rahima dan para pengungsi asal Afghanistan lainnya tak cuma sekali berdiri berjam-jam, rela berpanas-panasan, hingga tak jarang basah kehujanan untuk menyuarakan kondisi sebagai pengungsi.
Hujan deras mengguyur kawasan Kuningan, pada Selasa, 31 Mei 2022 siang. Seorang pemuda berusia 20 tahun mengenalkan dirinya dengan sebuah kalimat: "Namaku manusia, tapi tidak ada yang peduli dengan kami."
Pemuda itu berdiri di depan kantor UNHCR, bergabung dengan puluhan pengungsi asal Afghanistan lainnya untuk bertanya soal nasib mereka. Namanya adalah Kemran. Tubuhnya basah, tak ada tempat untuk berlindung dari rintik deras yang jatuh ke aspal. Cuma ada megapon dan suara yang tak pernah habis berteriak:
"We are human, we are human."
"Help us, help us."
Baca Juga: Pervez Musharraf Meninggal di Pengasingan, Akibat Penyakit Langka yang Dideritanya Menahun
Sejak pukul 10 pagi, Kemran dan pengungsi asal Afghanistan lainnya sudah berkumpul di bagian belakang Kantor UNHCR. Tujuan mereka masih sama seperti kesempatan sebelumnya, berunjuk rasa menuntut agar segera dikirim ke negara ketiga atau negara penerima suaka pengungsi.