Suara.com - Gempa berkekuatan magnitudo 7.8 yang mengguncang wilayah Turki dan Suriah telah menewaskan tak kurang dari 12 ribu jiwa. Termasuk dari informasi terkini ada dua orang WNI jadi korban meninggal.
Beberapa hari usai gempa terjadi, berbagai informasi berseliweran di media sosial. Ada yang menyebut gempa tersebut telah diprediksi tiga hari sebelum kejadian, bahkan empat bulan sebelumnya. Meski pada dasarnya belum ada teknologi yang bisa memprediksi terjadinya gempa.
Bahkan, ada pula yang menyebut dan mengaitkan dengan teori konspirasi, bahwa gempa dahsyat di Turki dan Suriah adalah hasil rekayasa atau buatan manusia.
Di sejumlah cuitan di Twitter beberapa akun memberikan analisa soal gempa Turki, bahkan beberapa di antaranya mengunggah video detik-detik gempa terjadi.
Baca Juga: Fakta-fakta Terbaru Gempa Turki-Suriah: Korban Tewas 12.000, Termasuk 2 WNI
Salah satunya adalah video sambaran kilat beberapa detik jelang terjadinya gempa. Meski video itu belum bisa terkonfirmasi kebenarannya, apakah benar video sebelum gempa atau video lama.
Operasi HAARP
Meski belum banyak yang membantah, banyak kalangan di Twitter yang menyebut bahwa gempa Turki adalah bagian dari operasi intelijen berbasis teknologi yakni HAARP.
HAARP sendiri adalah kepanjangan dari High Frequency Active Auroral Research Program. Sesuai namanya HAARP adalah sebuah lembaga penelitian atau riset tentang ionosfer yang didukung oleh militer Amerika Serikat dan Universitas Alaska.
Salah satu perangkat terpenting dari riset ini adalah Ionospheric Research Instrument atau IRI yang terletak di Alaska. Perangkat ini terdiri dari 180 antena radio yang bisa mentransmisikan gelombang radio frekuensi tinggi ke atmosfer.
Baca Juga: Siapa Frank Hoogerbeets? Peneliti yang Ramal Gempa Turki 3 Hari Sebelumnya
Para ilmuwan kemudian akan mengamati reaksi yang terjadi di ionosfer akibat paparan gelombang frekuensi tinggi tersebut. Reaksi ini mirip dengan proses paparan badai Matahari yang memicu aurora karenanya eksperimen ini disebut aurora buatan, tetapi dengan skala lebih kecil.
Informasi tentang HAARP terbuka dan bisa diakses oleh publik.
Sementara sambaran kilat atau petir jelang gempa Turki kemarin diduga merupakan fenomena earthquake lights atau EQL. Para pakar geofisika sejak lama telah mengenal fenomena ini.
Kilat atau petir saat gempa besar bisa terjadi akibat muatan listrik yang dihasilkan oleh beberapa jenis batuan yang bereaksi saat terjadinya aktivitas seismik. Batu basalt dan gabro diketahui bisa melepaskan listrik ke udara.
Teori ini salah satunya diyakini oleh Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono.
"Fenomena pencahayaan (lightning) saat pelepasan energi gempa satu hal yang sangat lazim terjadi di berbagai tempat di muka bumi, itu aktivitas gelombang elektrimagnetic," terang Daryono di Twitter sembari membantah soal HAARP.
Aktivita EQL saat gempa ini pernah terekam terjadi saat Gempa Meksiko pada 2017 yang berkekuatan 8,1; gempa Quebec pada 1988; gempa Pisco di Peru pada 2007; dan gempa L'Aquila di Italia pada 2009.
Penjelasan lain soal sambaran kilat itu terkait dengan infrastruktur kelistrikan. Diduga saat terjadi gempa, infrastruktur listrik tumbang dan rusak sehingga memicu percikan listrik mirip petir.
Pakar dan lembaga peneliti kegempaan, termasuk BMKG, sebelumnya sudah menjelaskan bahwa gempa Turki dipicu oleh aktivitas tektonik lempeng Anatolia Timur.