Suara.com - Kasus pemerasan polisi yang dialami Bripka Madih ketika mengurus perkara sengketa lahan tengah jadi sorotan. Salah satu pakar rupanya membandingkan kasus Bripka Madih yang diperas polisi dengan kasus Aipda HR.
Diketahui Aipda HR merupakan sosok polisi yang menulis di tembok Polrse Luwu dengan menyebut Korps Bhayangkara merupakan sarang pungli. Menurut pakar, kasus Aipda HR dengan Bripka Madih itu hampir mirip.
Simak kemiripan kasus Bripka Madih dan Aipda HR yang dimaksud tersebut.
Kasus Bripka Madih
Baca Juga: Ngakak, Baca Doa Takut Ditilang, Pria ini Ternyata Malah Dapat Sembako
Baru-baru ini kasus Bripka Madih yang mengaku diperas sesama polisi saat mengurus kasus sengketa lahan viral di media sosial. Namun tak lama setelah ramai disorot, Bripka Madih yang merupakan anggota Provost Polsek Jatinegara ini terungkap ternyata sosok polisi bermasalah. Ia diduga melanggar kode etik.
"Bripka Madih diduga melanggar disiplin dan kode etik, yang bersangkutan sesuai dengan laporan dari seseorang dan dari video viral yang sudah ada," kata Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya, Kombespol Bhirawa Braja Paksa pada Jumat (3/2/2023).
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Kombespol Trunoyudo Wisnu Andiko menambahkan pada 1 Februari 2023, Bripka Madih dilaporkan ke Propam karena menganggu aktivitas masyarakat. Kemudian pada tahun 2014 lalu, Propam mencatat Bripka Madih pernah dilaporkan ke oleh istrinya ke Propam atas dugaan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kasus Aipda HR
Kasus Aipda HR bermula pada pertengahan Oktober 2022. Ketika itu, sejumlah foto coretan di Mapolres Luwu beredar di media sosial. Coretan bertuliskan "Sarang Korupsi" dan "Sarang Pungli" terpampang pada dinding Satlantas, Satnarkoba, dan ruangan lainnya. Mobil patroli Polres Luwu juga dicoret dengan tulisan "Raja Pungli" menggunakan cat semprot.
Baca Juga: Geger, Warga Nagrikidul Purwakarta Temukan Mayat Pria Tanpa Identitas
Setelah foto-foto itu viral dan diliput media, Kapolres Luwu AKBP Arisandi mengungkap sosok pelakunya adalah oknum polisi berpangkat Aipda berinisial HR yang merupakan polisi aktif dan pernah menjabat kepala unit Tindak Pidana Korupsi Polres Luwu. Aipda HR mengakui apa yang dilakukannya bukan tanpa alasan. Ia bahkan siap membuktikan coretan-coretan tersebut.
Tak lama setelah Aipda HR muncul sebagai sosok yang mencoret kantor Mapolres Luwu, Polres Luwu merilis keterangan berisi riwayat kesehatannya. Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Komang Suartana mengungkap Aipda HR punya riwayat gangguan jiwa dengan diagnosa psikotik akut. Ia juga menyebut Aipda HR pernah rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Batara Guru, Luwu, Sulawesi Selatan pada 16-22 Februari 2021.
Alhasil Komang menduga Aipda HR sebagai pelaku vandalisme karena mengalami depresi akibat psikotik akut yang dideritanya. "Tiba-tiba bisa muncul di saat dia lagi depresi," ujarnya.
Usai kasus vandalisme tersebut, Aipda HR dibawa ke Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Dadi Makassar. Komang mengatakan kondisi Aipda HR mulai stabil setelah beberapa hari mendapatkan perawatan.
Selama proses pemeriksaan berlangsung, Polda Sulsel menyelidiki kasus vandalisme corat-coret yang dilakukan Aipda HR terkait dugaan pungli dan korupsi di Polres Luwu. Hasil yang ditemukan tim Propam yang turun ke lapangan, tidak terbukti ada pungli dan korupsi.
Pakar Bandingkan Kasus Bripka Madih vs Aipda HR
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri mempertanyakan sikap Polda Metro Jaya yang tiba-tiba mengekspos kasus KDRT yang dilakukan Bripka Madih. Padahal kasus pemerasan dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sama sekali tidaklah singkron.
Reza membandingkan dengan kasus Aipda HR yang saat itu menulis di tembok Polrse Luwu yang menyebut Korps Bhayangkara merupakan sarang pungli. Menurut Reza, kasus Aipda HR dengan Bripka Madih itu hampir mirip.
"Saya teringat kejadian Oktober tahun lalu, Aipda HR menulis 'sarang pungli' di tembok gedung Polres Luwu. Aipda HR tiba-tiba disebut punya gangguan jiwa. Kalau memang punya gangguan jiwa, mengapa dibiarkan bekerja?" ujar Reza Indragiri.
"Dua situasi di atas mirip dengan studi yang menemukan bahwa whistleblower kerap mendapat serangan balik. Dari sesama sejawat yang 'dirugikan', bahkan dari kantor tempatnya bekerja," pungkas Reza Indragiri.
Kontributor : Trias Rohmadoni