Suara.com - Selama lebih dari satu abad, dua desa tertua di hulu Sungai Kayan, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, yakni Desa Long Peleban dan Long Lejuh, nyaris tidak tersentuh pembangunan. Dalam beberapa tahun ke depan, desa tanpa listrik ini terancam ditenggelamkan, lalu menjelma menjadi PLTA terbesar di Asia Tenggara - mengaliri Kawasan Industri Hijau Indonesia dan Ibu Kota Nusantara.
Waktu menunjukkan tepat pukul 23.00 ketika lampu-lampu di Desa Long Peleban padam. Seketika, satu-satunya desa tertinggal di Kabupaten Bulungan ini menjadi gelap gulita.
Itu menandakan genset komunal milik desa telah selesai menjalankan tugasnya pada malam itu. Sebagai satu-satunya sumber listrik warga, genset ini hanya beroperasi setiap pukul 18.00 hingga 23.00.
Setidaknya 1.000 liter bahan bakar solar dihabiskan per bulan untuk genset tersebut. Sebagian besar dibeli warga menggunakan bantuan dari perusahaan kayu yang beroperasi di sekitar desa. Selebihnya, warga harus urunan Rp35.000 per keluarga per bulan demi menerangi sebagian malam mereka.
Desa Long Peleban telah dihuni oleh masyarakat Suku Dayak Kenyah sejak tahun 1905.
Ketika desa-desa lain di sepanjang Sungai Kayan terus berkembang, desa ini belum juga dialiri listrik dan tidak terjangkau jaringan telekomunikasi.
Salah satu pemicunya adalah lokasinya yang begitu terpencil dan sulit dijangkau.
Satu-satunya akses yang memungkinkan menuju desa adalah dengan menyusuri Sungai Kayan selama paling tidak empat jam menggunakan speedboat dari Tanjung Selor.
Perjalanan menjadi lebih berbahaya ketika cuaca sedang buruk atau arus sungai sedang deras. Ditambah lagi ada jeram di sebagian titik di Sungai Kayan.
Sedih, kami ini di pelosok sekali, sangat tertinggal informasi dan perkembangan apapun sangat lambat di desa kami, kata Sekretaris Desa Long Peleban, Patra Marsoni kepada BBC News Indonesia.
Kami merasa malu dengan pembangunan dan perkembangan desa-desa lain. Sejak ada wacana PLTA, kami bisa membangun tapi dibatasi, sampai-sampai status desa kami satu-satunya yang tertinggal di Kabupaten Bulungan, tutur Patra.
Masyarakat pernah mengajukan agar di desa mereka dibangun pembangkit listrik tenaga air berskala mikro. Namun permohonan itu tidak kunjung terwujud.
Mereka justru dibuat gelisah dengan rencana pembangunan megaproyek PLTA berdaya 9.000 megawatt di Sungai Kayan.
Tujuan dari proyek itu bukan untuk menyediakan listrik bagi warga, melainkan untuk mengaliri proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) yang digadang-gadang pemerintah akan menjadi kawasan industri hijau terbesar di dunia".
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga pernah menyatakan bahwa PLTA Kayan akan menjadi sumber energi bersih bagi Ibu Kota Nusantara.
Meski, peneliti dari TrendAsia Zakki Amali menilai itu tidak realistis karena jaraknya yang jauh dengan IKN akan membutuhkan transmisi berbiaya mahal.
Di tengah ambisi pemerintah itu, masyarakat Desa Long Peleban akan menjadi pihak yang akan paling berkorban.
Mereka akan kehilangan desa mereka, yang berarti juga kehilangan sumber-sumber penghidupan, peninggalan nenek moyang, serta tradisi bermasyarakat.
Para pakar dan pegiat lingkungan pun telah mengingatkan dampak sosial dan lingkungan yang luas dari proyek hijau ini.
'Kalau ditenggelamkan, kami mulai dari nol lagi'
Sementara ini yang perusahaan sampaikan untuk dampak dari bendungan, setinggi lumbung gedung itu air tergenang, kata Lawing Puun, seorang warga Desa Long Peleban, sambil menunjuk bangunan balai desa yang tingginya sekitar enam meter.
Tapi kalau dipikir air tergenang sampai sana kan, acap semua ini, tenggelam semua. Kami sangat khawatir bagaimana penghidupan kami sebagai masyarakat ke depan, sambung Lawing sambil menatap ke sekeliling desa tempat keluarganya telah hidup turun temurun.
Setelah wacana pembangunan PLTA Kayan muncul belasan tahun lalu, PT Kayan Hydro Energy (KHE) yang akan menggarap proyek ini memastikan bahwa Desa Long Peleban dan Long Lejuh akan ditenggelamkan.
Akan ada lima bendungan yang dibangun setinggi hingga 125 meter. Dan bendungan pertama yang dibangun berada di sekitar wilayah kedua desa ini.
Direktur Operasional PT KHE Khaerony mengklaim bahwa pada dasarnya masyarakat setuju untuk direlokasi.
Namun Lawing dan sejumlah warga lainnya yang ditemui oleh BBC News Indonesia mengaku khawatir dan keberatan soal rencana ini. Hanya saja, mereka merasa tidak berdaya untuk menolaknya.
Karena namanya program pemerintah, kami mendukung. Apalagi namanya percepatan sesuai instruksi presiden, kami ikuti. Tapi untuk mau atau tidak mau, ya kami tidak mau. Kami [ingin] tetap berposisi seperti apa adanya kami di sini, ya inilah kami. Kami bilang tidak setuju, ya otomatis untuk mengubah, ya kami tidak setuju, ujar Lawing.
Bagi Lawing, direlokasi sama seperti dicerabut dari akar kehidupan mereka, lalu dipaksa tumbuh lagi dengan cara yang berbeda.
Kalau nanti ditenggelamkan, desa atau masyarakat kami ini mulai dari nol lagi. Tidak ada apa-apa sudah. Habis. Hak masyarakat tenggelam, secara kebiasaan kami di desa kami pun tidak akan kami nikmati lagi, seperti kebersamaan, gotong royong, cara kami bermasyarakat.
Kami yang sekarang ini mungkin kami masih lihat [bagaimana] Long Peleban yang sebenarnya. Tapi nanti anak cucu kami ke depannya tidak lihat bagaimana Peleban terdahulu, kata Lawing.
Bergantung pada alam
Deru mesin ketintingperahu tradisional berporos panjangterdengar bersahut-sahutan dari tepian Sungai Kayan di Desa Long Peleban pada Oktober lalu.
Bagi warga, ketinting itu ibarat sepeda motor atau mobil yang mengantar mereka kemana pun.
Kalau di kota ada aspal, bagi kami di sini Sungai Kayan inilah akses jalan kami, baik berburunya, cari nafkah kehidupan kami, untuk memenuhi kebutuhan kami, begitu juga untuk kami berladang, tutur Lawing.
Pagi itu, warga bersiap untuk pergi ke ladang mereka yang berada di sisi seberang sungai. Jaraknya sekitar 10 menit perjalanan menggunakan ketinting.
Oktober menandakan awal musim tanam baru. Oleh sebab itu, mereka harus segera selesai menanami padi untuk dipanen pada bulan Maret.
Dari ladang dan sawah peninggalan nenek moyang inilah masyarakat Desa Long Peleban memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari mereka.
"Kalau tidak bercocok tanam, tidak ada yang bisa kami nikmati hari-hari ke depan," kata Lawing.
Mayoritas warga Desa Long Peleban adalah petani. Kebiasaan berladang itu pun telah mengakar dan turun temurun mereka lakukan sejak zaman nenek moyang.
Usaha lain-lain itu nomor dua, karena dari nenek moyang kami, kalau ndak bikin ladang itu berarti orang malas, tutur Mentan Ingan, salah satu warga Desa Long Peleban.
Ladang itu pun mereka garap dengan sistem gotong royong yang mereka sebut sebagai senguyun. Tradisi senguyun ini, yang kata Mentan, telah merekatkan rasa kekeluargaan mereka.
Sebagian besar hasil ladang inilah yang akan menjamin sumber pangan warga. Sebagian kecil lainnya dijual untuk membeli gula, minyak, kopi, atau bahan-bahan yang tidak bisa mereka hasilkan sendiri.
Sementara itu, kebutuhan protein mereka penuhi dari menjala ikan di Sungai Kayan, atau dari berburu babi dan payau (kijang) di hutan.
Sayangnya, dengan proyek PLTA, ladang dan hutan di sekitar mereka juga akan ikut tenggelam.
Bingung, mau menangis rasa kita meninggalkan kampung halaman kita, apalagi tanaman-tanaman kita itu, kata Mentan.
Kalau kita mau kelola kembali ke depannya sulit itu. Mungkin sempat kita mati dulu atau anak kita bingung, belum ada kita bisa menikmati. Itu yang saya jaga dalam rencana (perusahaan) ke depannya, sambungnya.
Yang tidak bisa digantikan materi
Ini [makam] almarhum mamak ini, ini adek nomor dua dari saya, kalau ini anak dari saya [yang meninggal] bulan lima tadi, kata Lawing sambil menyusuri pemakaman desa dan menunjukkan tempat beberapa mendiang keluarganya dikebumikan.
Dia lalu berhenti di depan sebuah makam beratap seng dan dikelilingi pagar kayu. Di nisan salibnya tertulis nama Normi Natalia yang wafat pada 13 Mei 2022 ketika masih berusia 8 tahun.
Di atas nisan salib itu, terpampang foto Normi, yang merupakan anak bungsunya.
Lawing menyeka foto tersebut. Kemudian dia menunduk, mendoakan putri kecilnya yang meninggal dunia akibat sakit infeksi paru-paru.
Bagi Lawing, rencana pembangunan PLTA bukan cuma mengaburkan masa depan warga, namun juga memutus sejarah dan koneksi dengan masa lalu mereka.
Berat betul rasa saya sebagai orang tua untuk menenggelamkan (makam ini) walaupun anak saya sudah pergi. Walaupun mereka sudah pergi, tetap masih ada rasa mereka bersama kita. Kalau ditenggelamkan, mau dicari di mana lagi mereka? kata Lawing.
Kita tidak bisa mengukur itu dengan apapun, apalagi namanya ganti rugi ganti untung.
Selain pemakaman warga, di Desa Long Peleban juga terdapat makam kuno Lahai Bara, diyakini sebagai asal muasal orang Kayan, yang juga akan ditenggelamkan.
Belum jelas bagaimana makam bersejarah itu akan ditangani ketika bendungan dibangun.
Mendamba pembangunan
Rencana pembangunan lima bendungan juga membuat warga dari desa-desa di sisi yang lebih hilir di Sungai Kayan khawatir.
Terutama di Desa Long Pangean, Long Peso, dan Long Bia yang nantinya akan berada di bawah bendungan raksasa setinggi 85 meter hingga 125 meter.
"Yang kami takutkan, kalau terjadi bendungan, hujan lebat di hulu sungai kayan, apakah tahan bendungan itu? Karena bendungan itu belum jadi saja, kalau hanya akibat hujan lebat saja sudah bisa acap (terendam) desa kami," kata Ketua Lembaga Adat Desa Long Bia, Albert Ajang.
Tetapi Albert mengatakan ada pula sebagian masyarakat yang mendukung rencana pembangunan PLTA itu, dengan harapan akan membuka lapangan pekerjaan bagi warga setempat.
Begitu pula di Desa Long Peleban.
Di usianya yang menginjak 89 tahun, Udau Kedung, masih mengingat jelas bagaimana terkesimanya dia melihat langsung bendungan terbesar di dunia, Three Gorges, ketika berkunjung ke China pada 2012.
Udau adalah salah satu tokoh masyarakat Desa Long Peleban yang diajak oleh PT KHE untuk melihat bagaimana bendungan raksasa itu beroperasi.
Kami masuk di kamar yang ada gambar-gambar mereka sebelum melaksanakan dam itu, jiram (jeram) besar juga di situ, sama dengan di daerah kita di sini, jiram besar. Tapi sesudah dam, ndak ada sudah jiram-nya, kenang Udau.
Dam yang mereka buat itu bukan seperti yang kita menduga. Keyakinan saya itu ndak bisa roboh. Sebab kalau kami lihat di sana, malah perumahan di tempat yang tidak baik. Kalau ada tanah lebih malah membuat persawahan, di samping itu sawit.
Melihat kondisi itu, dan membandingkannya dengan kondisi desanya yang begitu tertinggal, pandangan Udau pun seketika berubah.
Itu kegunaannya, selain dam itu membuat penerangan buat kita. Ekonomi dulu. Di situ lah kami lihat, oh di situ lah kegunaannya. Itu ndak terlalu panjang saya bicara, lalu saya ulangi lagi, menurut masyarakat kami, setuju, kata Udau.
Apalagi PT KHE ketika itu menjanjikan ganti untung untuk masyarakat. Dengan dibangunnya bendungan, Udau berharap perusahaan juga akan membangun akses jalan yang layak, menyambungkan listrik ke rumah-rumah warga, hingga membuka peluang kerja bagi para pemuda desa.
Memang kalau secara itu saja kita pikirkan, siapa yang ndak menyayangi bekas-bekas orang tua kita dulu, baik kuburan, tanaman, perumahan. Tetapi karena mereka yang duluan membuka hati atau pikiran kita, mau memindahkan kami di lokasi yang lain, kami tinggal pegang kunci saja.
Seberapa signifikan proyek PLTA Kayan?
Sungai Kayan, yang mengalir sepanjang 576 kilometer di wilayah utara Kalimantan ini disebut memiliki potensi tenaga air hingga 13.000 megawatt.
Potensi itulah yang akan dimanfaatkan untuk membangun proyek ambisius ini, di tengah desakan terhadap pemerintah untuk bertransisi dari energi fosil.
Presiden Jokowi pun cukup gencar mempromosikan PLTA Kayan sebagai megaproyek yang menjadi bagian dari transisi energi Indonesia ini.
Salah satunya pada forum bisnis B20, yang digelar di sela-sela KTT G20 di Bali pada November 2022 lalu.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Septian Hario Seto mengatakan PLTA skala besar seperti Kayan dipilih karena karakteristiknya yang stabil dapat menggantikan energi fosil.
Dia menyebut PLTA Kayan sebagai proyek super-prioritas yang tidak bisa dipisahkan dari proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).
Keduanya terkait erat, sebab PLTA sebesar ini membutuhkan industri yang besar pula untuk menyerap listriknya.
Sebaliknya, produk-produk dari KIHI akan memiliki dayang saing yang tinggi ketika dihasilkan dengan emisi karbon rendah.
Itu saya kira bisa berkontribusi ekspor sangat signifikan di Indonesia kalau ekosistemnya jadi. Mungkin nilai ekspornya bisa mencapai 100 miliar dolar setiap tahunnya kalau ekosistemnya nanti jadi di sana, kata Seto.
Dengan nilai sebesar itu, KIHI pun menjadi proyek strategis nasional. PLTA Kayan kemungkinan besar akan menyusul dengan status itu.
'Seperti langsung mau merampas saja'
Setelah lebih dari 10 tahun direncanakan, progres proyek ini berjalan lambat. Hingga Oktober lalu, konstruksi bendungan belum juga dibangun. PT KHE baru terlihat membangun akses jalan untuk proyek.
KHE mengklaim bahwa konstruksi bendungan akan mulai dibangun pada 2023, begitu pula dengan relokasi masyarakat.
Namun sampai saat ini belum ada kesepakatan soal ganti rugi hak-hak masyarakat. Lokasi relokasi yang diusulkan perusahaan pun belum sepenuhnya diterima.
Masyarakat Desa Long Peleban misalnya, ingin pindah ke area yang tidak jauh dari desa mereka saat ini. Namun permintaan itu ditolak lantaran area yang diinginkan masyarakat itu berstatus sebagai hutan lindung.
Pernyataan soal pemenuhan hak masyarakat, baru sebatas janji-janji yang diucapkan secara lisan.
Salah satu warga Desa Long Peleban, yang meminta identitasnya disembunyikan, mengatakan bahwa mereka bahkan belum pernah melihat dokumen Rencana Aksi Penyediaan Lahan dan Pemukiman Kembali (LARAP) terkait relokasi mereka.
Sama sekali belum pernah kami lihat [studi LARAP dari PT KHE], katanya.
Belum tuntas kebingungan itu, selama beberapa bulan terakhir muncul pula posko percepatan proyek strategis nasional di Desa Long Peleban.
Nama perusahaan yang tertera pun berbeda. Bukan PT Kayan Hydro Energy, melainkan PT Kalimantan Industrial Park Indonesia PT Pembangkit Epsilon Indonesia.
PT Epsilon, sebelumnya dalam laporan Majalah TEMPO, disebut terkait dengan keponakan dari Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Belakangan, kehadiran PT Epsilon di Kayan pun seakan diteguhkan oleh pemerintah.
Pada akhir Desember 2022, Bupati Bulungan Syarwani meneken kerja sama dengan PT Epsilon untuk menggarap PLTA Kayan.
Kepada wartawan di Tanjung Selor, Syarwani mengakui bahwa PT Epsilon akan membangun di lokasi yang sama dengan PT KHE.
Sementara di Desa Long Peleban, tim dari PT Epsilon mulai mengukur lahan dengan hak pengelolaan (HPL) yang dipegang masyarakat.
Ini membuat warga waswas, sekaligus merasa tidak dilibatkan.
Belum ada musyawarah sama sekali dengan PT Epsilon. Saya juga baru lihat ada surat, pak kades (kepala desa) bikin surat yang mengatasnamakan masyarakat mendukung penuh kegiatan PT Epsilon. Masyarakat tidak tahu sama sekali, kata warga yang meminta namanya tidak disebutkan.
"Mana ada masyarakat mendukung penuh," sambungnya.
PT Epsilon juga dia sebut sudah menawarkan untuk membayarkan uang muka untuk membeli tanah masyarakat sebesar Rp5 juta per bidang tanah, dan sebagai syaratnya masyarakat diminta membuat rekening bank serta menandatangani surat tanah. Masyarakat menolak itu, kata dia.
Kami harus tahu persis dulu maksud perusahaan apa, dan untuk ganti rugi lahan dan tanam tumbuh harus ada musyawarah dulu ke masyarakat, harus ada studi LARAP dulu. Kan dari situ kami bisa berpatok, tutur dia.
Kalau seperti ini, seperti langsung mau merampas saja, ujarnya.
Berdasarkan apa yang dialami masyarakat sejauh ini, Zakki Amali dari TrendAsia, meragukan masyarakat akan mendapatkan hak-hak mereka secara adil dalam pembangunan PLTA Kayan.
Dia justru mengatakan masyarakat "akan menjadi korban berkali-kali".
"Kita tidak bisa ngomong ganti untung ganti rugi, kalaupun mendapatkan ganti dari perusahaan atau pemerintah tidak akan mengembalikan kehidupan yang sama. Mereka menghadapi lingkungan yang baru, situasi ekonomi yang baru," kata Zakki.
PT KHE berjanji akan menjamin hak-hak masyarakat, yang nantinya akan dinegosiasikan "ketika konstruksi bendungan dimulai".
"Apakah nanti mengajukannya [sesuai] NJOP, apakah kesepakatan, karena tanah masyarakat itu kan sebagian besar belum ada sertifikat, makanya ini adalah negosiasi menuju kesepakatan," kata Khaerony.
Bupati Bulungan Syarwani tidak merespons permohonan wawancara, pesan singkat, telepon, maupun permintaan hak jawab dari BBC News Indonesia terkait hal ini.
Persaingan dua investor
Kehadiran PT Epsilon di saat PT KHE belum banyak membuat progres pun masih menyisakan pertanyaan soal siapa yang akan menggarap PLTA Kayan.
Ketika ditanyai soal kehadiran PT Epsilon di lapangan, Khaerony dari PT KHE mengatakan "itu bukan ranah KHE".
Itu adalah Epsilon dengan pemda. Yang jelas, kami ini sudah siap membangun, dengan perizinan yang siap kita pegang dan sesuai timeline yang akan kita laksanakan di tahun depan," kata dia.
Pada Oktober lalu, PT KHE telah menandatangani kesepakatan kerja sama dengan investor asal Jepang, Sumitomo Corporation.
Namun saat ini, izin lokasi PT KHE telah kadaluarsa dan belum jelas bagaimana nasib perpanjangannya.
Sedangkan Septian Hario Seto dari Kemenkomarves mengakui bahwa PT Epsilon telah mengajukan perizinan untuk menggarap PLTA ini.
Dia mengatakan bahwa bagi pemerintah, yang terpenting adalah "keseriusan investor" untuk menggarap proyek ini.
"Tidak bisa sekedar ngomong-ngomong saja, karena kami dari sisi pemerintah lihat ke lapangan, ada enggak sih progresnya, ada enggak pembangunan di sana. Kalau cuma baru tanah-tanah atau rawa-rawa ya, it means nothing," kata Seto.
Apalagi, proyek ini terkait dengan kawasan industri yang sudah mulai dibangun.
"Yang paling penting penekanannya, ini adalah billions dollar project, jadi kita harus melihat investornya siapa," kata Seto.
Kepastian terkait investor itu, sambung Seto, juga akan "lebih menjawab kekhawatiran masyarakat" soal kepastian masa depan mereka.
Terkait kehadiran keluarga Menteri Luhut di dalam perusahaan itu, dia mengatakan:
"Kalau dia direkrut secara profesional atau segala macam, kenapa ada masalah. Yang jelas kan dari sisi kita, kalau mau jalan harus memenuhi segala izin. Bukan berarti ada kemudahan-kemudahan khusus atau izinnya ada yang bisa dilewati, tidak.
Seto menyatakan, siapapun yang akan menggarap megaproyek ini nantinya biar diputuskan oleh pengadilan.
Lini masa PLTA Kayan
- 2009 - Gagasan pembangunan PLTA Kayan muncul
- 2011 - PT Kayan Hydro Energy (KHE) resmi berdiri
- 2012 - Izin lokasi terbit
- 17 November 2012 - Sosialisasi kepada masyarakat dimulai
- 25 November 2012 - Perwakilan tokoh masyarakat diajak mengunjungi bendungan Three Gorges di China
- 2013 - Izin kelayakan lingkungan dan izin lingkungan terbit
- 18 Januari 2014 - Peletakan batu pertama oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko
- 2015 - Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) terbit
- 2018 - PT KHE menandatangani kontrak dengan PowerChina International Group Ltd untuk membangun bendungan Kayan I
- 2019 - PT KHE mendapat Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL) tetap
- 17 September 2019 - Presiden Joko Widodo mengunjungi proyek PLTA Kayan
- 2020 - Persetujuan prinsip pembangunan bendungan terbit
- 2020 - Persiapan konstruksi pembangunan Bendungan Kayan I diklaim terkendala pandemi Covid-19
- April 2021 - PT Pembangkit Indonesia Epsilon berdiri, disahkan Kementerian Hukum dan HAM, dan mengantongi izin usaha penyediaan tenaga listrik non efektif untuk PLTA Kayan
- 23 Februari 2022 - Izin lokasi PT KHE kadaluarsa
- 2022 - PT Epsilon mendirikan posko percepatan proyek strategis nasional di Desa Long Peleban
- 6 Oktober 2022 - PT KHE menandatangani kesepakatan kerja sama dengan Sumitomo Corporation
- 23 Desember 2022 - Bupati Bulungan menandatangani kesepakatan kerja sama dengan PT Epsilon untuk membangun PLTA Kayan
Dampak lingkungan yang luas
Pembangunan PLTA skala besar di Kayan ini juga dikhawatirkan akan menyisakan dampak lingkungan yang luas.
Kelima bendungan tersebut akan dibangun di atas lahan sebesar 12.000 hektare yang terdiri dari hutan lindung dan hutan industri. Itu artinya, akan ada deforestasi demi pembangunan bendungan.
Persoalannya, kawasan ini juga merupakan penopang hidup beragam spesies.
Dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal) yang dibuat pada 2012 oleh PT KHE menunjukkan bahwa kawasan ini adalah rumah bagi spesies seperti lutung dahi putih, kukang kayan, monyet ekor panjang, macan dahi, dan lain-lain.
Dengan ditenggelamkannya kawasan hutan ini, spesies-spesies itu pun terancam kehilangan rumahnya.
Direktur Program TrendAsia, Ashov Birry mengatakan pembangunan PLTA skala besar seperti ini pun sebetulnya tidak direkomendasikan, karena meski rendah karbon, namun berpotensi menghasilkan emisi gas metan yang tinggi.
"Kita bayangkan akan hilang segitu banyak tangkapan karbon kalau ditenggelamkan, dan kemudian malah melepas (gas metan)," kata Ashov.
Ini jadi bertentangan dengan apa yang dicita-citakan Indonesia untuk net zero emission. Pemerintah sedang jor-joran untuk sektor energi, tapi malah menambah beban baru di kehutanan, sambung dia.
Peneliti dari Universitas Kalimantan Utara, Profesor Abdul Jabarsyah juga mengidentifikasi 40 spesies yang hidup di Sungai Kayan dan ekosistemnya akan terdampak oleh pembangunan bendungan, melalui riset yang dia lakukan pada 2019.
Sayangnya, temuan Jabarsyah itu tidak tercantum di dalam Amdal yang dibuat oleh PT KHE.
Ada beberapa spesies yang masuk dalam daftar Kementerian LHK dan mengalami ancaman kepunahan, kata Jabarsyah menyinggung soal spesies sidat borneo yang juga masuk ke dalam daftar spesies rentan Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).
Secara umum, Jabarsyah menyebut kondisi keanekaragaman hayati di Sungai Kayan masih cukup bagus.
Selain itu, ada pula ikan-ikan yang populasinya telah terus menurun akibat eksploitasi terus menerus, dan semakin terancam karena pembangunan bendungan. Misalnya ikan pelian, gurame Kalimantan, ikan patin pangasius rheopilus, dan lain-lain.
Jika nanti ada pembatasan habitat dan ruang gerak ikan dengan bendungan juga dikhawatirkan akan mengubah ekosistemnya, tutur Jabarsyah.
Dia mengingatkan pentingnya mengantisipasi keberadaan spesies yang menentukan ekosistem Sungai Kayan ini dalam rencana pembangunan.
Namun PT KHE mengklaim bahwa ketika mengkaji Amdal, mereka tidak menemukan adanya spesies terancam punah tersebut.
Itu tidak ditemukan, kami sudah kaji secara detail, kata Khaerony.
PT KHE pun belum berencana memperbarui kajian Amdal mereka yang dibentuk pada 2012 karena "belum banyak perubahan pada rona lingkungan" di area bendungan.
Dampak lainnya yang akan terjadi adalah terjadinya penurunan muka air yang memengaruhi aktivitas masyarakat di sepanjang Sungai Kayan, hingga mengganggu sumber air masyarakat di Kota Tanjung Selor.
PT KHE mengklaim proses pengisian bendungan tidak akan menyurutkan aliran air sungai dengan teknik diversi. Namun perhitungan Jabarsyah berkata lain.
Menurut hitungan kami, dalam dua sampai tiga bulan akan berpengaruh, juga terhadap penyediaan air bersih di Kota Tanjung Selor, kata Jabarsyah.
BBC News Indonesia telah meminta tanggapan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui pesan singkat hingga surat resmi, namun belum mendapat respons sampai berita ini ditulis.
'Solusi palsu'
TrendAsia mengatakan bahwa di satu sisi, Indonesia membutuhkan transisi energi untuk lepas dari ketergantungan pada fosil. Namun di sisi lain, bagaimana proses bertransisi itu juga penting agar proyek energi hijau yang dibangun tidak menjadi solusi palsu.
Dari apa yang dialami oleh masyarakat sejauh ini, Ashrov menilai upaya transisi energi ini cukup mempertimbangkan keadilan bagi masyarakat.
Apalagi, proyek itu kemungkinan akan dibangun dalam kerangka proyek strategis nasional (PSN) yang berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 50% konflik agraria yang mereka temukan terkait dengan pengadaan tanah untuk PSN.
Masyarakat harus diberi ruang untuk terlibat, masyarakat harus diberi ruang untuk terwakilkan. Suaranya pun harus dipertimbangkan untuk keputusan, bukan cuma sosialisasi, tapi harus berdasarkan konsen mereka secara sadar. Itu penting sekali dalam konteks transisi, kata Ashrov.
Rekam jejak proyek PLTA di Indonesia sejauh ini pun dinilai jauh dari adil bagi masyarakat yang terdampak.
Soal PLTA ini banyak contoh di mana konflik terjadi, Batang Toru, Sulawesi, Poso, di mana-mana, banyak kasus atau di Jatigede yang bahkan tidak berfungsi damnya karena salah perhitungan. Banyak pelajaran yang harus diambil sebelum memutuskan pembangunan PLTA skala besar, lanjut dia.
Pada akhirnya, yang terjadi adalah transisi energi yang sebatas pada "transisi teknologinya saja".
Dan ironisnya, PLTA Kayan pun kemungkinan besar tidak akan menjadi sumber listrik bagi warga Desa Long Peleban dan Long Lejuh setelah direlokasi nanti.
PLTA skala besar ini tentu kan tegangan yang dibutuhkan skala besar dan butuh ditransformasikan. Ada bukti kok, PLTA skala besar yang di sekitarannya tidak langsung menikmati listriknya. Ada contohnya di Jawa Barat, Saguling, Cirata, Jatiluhur, paparnya.
Kalau memang pembangunan energi itu untuk masyarakat, potensi di Sungai Kayan itu bisa dilakukan dengan pembangkit listrik mikro.
Nurjannah, wartawan di Kalimantan Utara turut berkontribusi dalam liputan ini.