Suara.com - Partai Gerindra membantah purnawirawan Polisi berpangkat AKBP, Eko Setia Budi Wahono, yang terlibat kecelakaan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Muhammad Hasya Athallah merupakan kader. Eko hanya hampir jadi Caleg partai yang diketuai Prabowo Subianto.
Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman mengatakan yang bersangkutan baru berniat mendaftar.
"Saya sudah cek orang itu bukan kader Gerindra. Orang baru mau daftar caleg Gerindra. Belum mengisi formulir, belum menjadi anggota juga. Apalagi kader, masih jauh," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Habiburokhman memastikan Gerindra akan menolak apabila pensiunan polisi tersebut masih ngotot ingin menjadi caleg dari Gerindra.
Baca Juga: Mahasiswa UI Tewas Tertabrak Jadi Tersangka, Mahfud: Biar Masyarakat yang Mencerna
"Dan kalau memang dia berniat menjadi caleg Gerindra saya tolak pasti. Saya ketua Mahkamah Partai, saya katakan kami akan menolak karena saya dapat informasi ini orang arogan," kata Habiburokhman.
Sementara itu terkait kasus kecelakaan yang menewaskan Hasya, Habiburokhman sepakat dengan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran agar yang bersangkutan diperiksa ulang.
"Karena janggal sekali dan ini menggores rasa keadilan masyarakat. Janggalnya kenapa? Kalau nggak ngebut bagaimana mungkin bisa melindas sampai meninggal orang. Katanya misalnya ada yang bilang 30 km/jam kaya nggak masuk akal gitu loh. Harus diusut ulang," kata Habiburokhman.
Selain itu Habiburokhman juga memperingatkan jajaran polisi yang mengusut kasus kecelakaan Hasya untuk tidak memberikan perlamuan istimewa kepada pensiunan polisi.
"Jangan sampai karena itu mantan anggota Polri yang mengusut juga anggota Polri ada privilese. Jangan sampai muncul seperti itu. Jadi diperiksa ulang, kalau terbukti dihukum berat, karena ini menimbulkan orang yang meninggal dunia," kata Habiburokhman.
Baca Juga: Mahasiswa UI Tewas Tertabrak Mantan Kapolsek, Kapolda Metro: Pentingnya Keselamatan Berkendara
Karena itu ia meminta polisi memproses pensiunan polisi tersebht secara hukum.
"Jadi tegas dari kami, ini orang bukan kader Gerindra, dan agar diproses secara hukum," ujarnya.
Cabut Penetapan Tersangka
Sebagai Anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman sekaligus meminta polisi mencabut penetapan tersangak yang sebelumnya dilekatkan terhadap mendiang Muhammad Hasya Athallah, mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas akibat kecelakaan.
Bukan cuma mencabut penetapan tersangka, Habiburokhman meminta polisi memulihkan nama baik Hasya.
"Terhadap almarhum Hasya, saya minta penetapan tersangka terhadap almarhum dicabut, dan nama baiknya dipulihkan. Karena memang enggak masuk akal, nggak mungkin orang sudah mati ditetapkan tersangka," kata Habiburokhman.
Habiburokhman merujuk Pasal 77 KUHP. Di mana, kata dia penetapan tersangka bisa gugur apabila tersangka kemudian meninggal dunia.
"Ini orang sejak awal meninggal, ditetapkan sebagai tersangka. Saya minta propam turun diperiksa ini penyidik-penyidiknya ini. Bagaimana gitu kan bisa menetapkan orang meninggal sebagai tersangka?
"Ini nggak masuk akal dan ini sangat melukai rasa keadilan," kata Habiburokhman.
Sebelumnya, Komisi III DPR RI menilai langkah polisi menetapkan mahasiswa Universitas Indonesia, mendiang Muhammad Hasya Athallah (MHA) sebagai tersangka kecelakaan yang menewaskan dirinya tidak tepat.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan tidak tepat dari sisi hukum acara hingga sisi lainnya.
"Kita melihat bahwa penetapan almarhum sebagai tersangka tidak pas, dari sisi hukum acaranya maupun tidak pas dari sisi keperluan kita psikologis atau berempati pada korban," kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (30/1/2023).
Arsul mengatakan berdasarkan hukum acara, pertama di KUHAP adalah penetapan tersangka harus didasarkan dua alat bukti permulaan. Alat bukti itu kata Arsul, seperti keterangan saksi, surat-surat, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan petunjuk.
"Pertanyaannya Itu sudah terpenuhi atau belum?" Kata Arsul.
Kedua, lanjut Arsulz penetapan terdakwa merujuk putusan Mahkamah Konstitusi yang menambah kewenangan lembaga praperadilan adalag terkait dengan penetapan tersangka harus mendengar calon tersangka lebih dulu.
"Lah ini kan tersangkanya sudah meninggal. Itu dari sisi hukum. Dari sisi katakanlah keperluan kita untuk berempati, ya untuk apa juga, sudah meninggal kok ditetapkan sebagai tersangka," kata Arsul.
Arsul lantas merujuk KUHP Pasal 77. Di mana ditetapkan bahwa penuntutan akan gugur apabila yang dituntut meninggal dunia. Memang pasal itu bisa diartikan untuk tahap penuntutan. Tetapi kata Arsul maknanya bisa berarti di proses hukum yang seharusnya berhenti dengan sendirinya.
"Harus diakhiri meskipun belum sampai ditahap penuntutan jaksa penuntut umum. Begitu orang yang dalam konteks misalnya penyidikan itu menjadi tersangka itu meninggal dunia maka menjadi aneh kalau kemudian sudah meninggal baru ditetapkan sebagai tersangka," kata Arsul.