Suara.com - Entah ada karena ada aktor tertentu atau memang keinginan sendiri, para kepala desa saat ini seolah ikut nimbrung di kancah politik nasional. Sosok kades yang dulu dikenal tenang mengayomi desanya, kini tampak ikut 'sibuk' cawe-cawe jelang Pemilu 2024.
Masih ingat pada akhir Maret 2022 lalu, Istora Gelora Bung Karno dipenuhi ribuan kepala desa dalam acara silaturahmi nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI). Dalam acara tersebut mereka terang-terangan mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiga periode.
Kala itu, Ketua APDESI Surtawijaya beralasan, mendukung Jokowi tiga periode karena mantan Gubernur DKI Jakarta itu sudah banyak mengabulkan permintaan para kepala desa.
"Apa yang kita inginkan, beliau (Jokowi) kabulkan. Sekarang kita punya timbal balik, beliau peduli sama kita. Teman-teman sepakat tadi, tiga periode, lanjutkan," ujar Surtawijaya kala itu.
Deklarasi Jokowi 3 periode itu mengundang hujan kritik karena aparat desa dilarang terlibat dalam politik praktis. Kritik tersebut juga disampaikan sejumlah anggota Komisi II DPR dalam rapat dengan Menteri dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.
Namun kala itu, Tito menilai ketentuan dalam Pasal 29 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tak mengatur dengan tegas larangan kepala desa berpolitik. Katanya, UU itu hanya melarang kepala desa menjadi pengurus partai dan ikut mendukung salah satu pasangan calon saat masa kampanye.
Sedangkan, kata Tito, UU itu tak mengatur misalnya, jika kepala desa terlibat mendukung tokoh politik di luar masa kampanye. Karena itu, menurut Tito, pihaknya tak berwenang menjatuhkan sanksi kepada aparat desa yang mendukung Jokowi tiga periode.
Tuntut Jabatan Diperpanjang Jadi 9 Tahun
Nah, kali ini muncul lagi kepala desa yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia atau PAPDESI ramai-ramai unjuk rasa di gedung DPR RI pada Rabu (25/1/2023).
Baca Juga: Sudah Terbaca, Motif Politik Di Balik Wacana Jabatan Kades 9 Tahun: Jadi Alat Kekuasaan
Ribuan Kades itu menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa dari yang saat ini 6 tahun menjadi 9 tahun lewat revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Uniknya, aksi para kades yang meminta jabatannya diperpanjang jadi 9 tahun langsung disambut dukungan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri PDTT) Abdul Halim Iskandar.
Dukungan juga muncul dari politikus PDIP Budiman Sudjatmiko, bahkan di hari yang sama ia datang ke Istana untuk bertemu Presiden Jokowi. Ia mengklaim, Jokowi telah setuju atas usulan para kades tersebut.
Alasan yang dikatakan Menteri PDTT maupun Budiman mendukung tuntutan para kades itu nyaris sama. Yakni masa jabatan kades 6 tahun saat ini tidak cukup untuk melaksanakan program-program desa dan mengatasi konflik sosial akibat Pilkades.
Atas tuntutan kades minta jabatan diperpanjang jadi 9 tahun itu banyak disorot sejumlah kalangan. Sebagian besar mengkritisi, salah satunya dari pengamat politik Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ridho Al-hamdi.
Ia pun meminta agar APDESI berhenti menyuarakan tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun dan diperpanjang hingga 3 periode.
Ridho mengatakan, perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun terlalu lama dan berpotensi membuka celah kejahatan dan penyelewengan yang tersistematis. Selain itu, tuntutan ini justru terkesan memuat kepentingan politik ketimbang kepentingan masyarakat luas.
“Sebenarnya saya juga membaca kalau usulan ini disetujui, seandainya menjadi 9 tahun maka ini akan menjadi alat kekuasaan untuk mengamankan Pemilu serentak 2024. Ini sudah bisa terbaca. Kedua, oh ternyata pilkades berhasil jadi 9 tahun, nah ini bagi orang-orang yang punya kepentingan juga motif politiknya, kenapa tidak untuk presiden? Untuk tidak menjadi perpanjangan periodisasi,” tutur Ridho, dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, Jumat (27/1/2023).
Ridho pun mendorong DPR lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas ketimbang politik praktis. Caranya dengan menolak usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa yang bisa mencapai 27 tahun.
Ridho menegaskan tidak perlu ada perubahan masa jabatan kepala desa dalam Undang-Undang Desa karena tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.