Suara.com - Partai Buruh bersama Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) bakal menggelar aksi besar-besaran di DPR RI pada Senin (6/2/2023). Sebanyak 10 ribu buruh diperkirakan akan terlibat pada aksi tersebut.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan aksi unjuk rasa itu juga akan digelar di berbagai kota industri seperti Serang-Banten, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Banjarmasin, Banda Aceh, Medan, Bengkulu, Batam, Pekanbaru, Ternate, Ambon hingga Kupang.
Dalam aksi tersebut, mereka akan menyampaikan sejumlah tuntutan. Tuntutan yang dimaksud ialah menolak isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan pembahasan RUU terkait Omnibus Law Cipta Kerja.
Menurut Said Iqbal, ada sembilan poin yang dipermasalahkan buruh dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Sembilan poin yang dimaksud ialah upah minimum, outsourcing, pesangon, karyawan kontrak, PHK, pengaturan cuti, jam kerja, tenaga kerja asing, dan sanksi pidana.
Baca Juga: Presiden Partai Buruh Sebut Cuma di Indonesia yang Membolehkan Perbudakan Modern
"Intinya, kami meminta upah minimum naiknya harus sesuai dengan inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Kami juga meminta tidak ada perubahan formula dalam Perppu," kata Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (28/1/2023).
"Kalau lah ada perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum, cukup diatur dalam penjelasan pasal, bagi perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum dengan mensyaratkan laporan keuangan dan diaudit akuntan publik boleh mengajukan penangguhan. Selain itu, kami meminta upah minimum sektoral harus tetap ada," sambungnya.
Kemudian, Partai Buruh juga menolak negara menajdi agen outsourcing. Dalam Perppu Cipta Kerja disebutkan kalau pemerintah bakal menentukan jenis pekerjaan apa saja yang bisa di-outsourcing. Menurut Said Iqbal, ketentuan itu membuat pemerintah sebagai agen outsourcing.
"Terkait dengan pesangon, kami meminta uang penggantian hak 15 persen tidak dihilangkan, pesangon bisa di atas satu kali aturan," jelasnya.
"Terhadap karyawan kontak, periode kontrak dan masa kontrak harus dibatasi. Begitu pun dengan pengaturan cuti untuk perempuan yang haid dan melahirkan, harus tertuang dengan tegas bahwa upahnya dibayar."
Baca Juga: Gelar Rakernas 2023, Partai Buruh Bakal Adakan Konvensi Tentukan Nama Capres-Cawapres