Suara.com - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (Maki), Boyamin Saiman menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mempermalukan dirinya sendiri. Hal itu menyusul kegagalan KPK menangkap Paulus Tannos buron sekaligus tersangka korupsi e-KTP, karena red notice yang terlambat diterbitkan.
"Misalnya untuk kasus Paulus Tannos ternyata red notice-nya terlambat, padahal kalau tidak terlambat bisa ditangkap di Thailand. Itu kan malah justru mempermalukan dirinya sendiri. Bukan pada posisi yang pas dia berkata seperti itu. Kan dia harus mengawal betul red notice itu," kata Boyamin saat dihubungi wartawan, Kamis (26/1/2023).
Boyamin merujuk pada pengalaman Kejaksaan Agung atau kepolisian, yang menurutnya untuk mengurus red notice seorang buron tidak membutuhkan waktu yang lama. Dia bilang, sampai lima tahun tidak selesai, menunjukkan KPK tidak serius untuk menangkap Paulus Tannos.
"Jadi Ini menunjukkan manajemen KPK amburadul dalam melakukan tindakan-tindakan. Kalau perlu ya KPK datang ke pusat interpol di Lyon, Prancis," ujarnya.
Baca Juga: Sobat Korupsi Setnov Berhasil Kabur di Thailand, KPK: Seharusnya Bisa Ditangkap
"Justru ini tampak kelihatan KPK tidak serius dalam mengejar buron dan malah sekarang retorikanya nasib baik. Ini kan seperti anak kecil omongan begini bukan kelasnya KPK," sambung Boyamin.
Gagal Tangkap Buron Korupsi e-KTP
Deputi Penindakan dan Eksekusi Karyoto mengaku gagal menangkap Tannos karena red notice yang terlambat diterbitkan. Tannos belakangan terdeteksi berada di Thailand.
"Kemarin Paulus Tannos nasibnya sudah bisa diketahui, tetapi ada beberapa kendala yang bersangkutan ternyata proses penerbitan red notice-nya terlambat," kata Karyoto pada Rabu (25/1/2023) malam kemarin.
Karyoto mengklaim jika red notice untuk Tannos telah terbit, lembaga antikorupsi bakal dapat menangkap salah satu tersangka kasus korupsi e-KTP tersebut.
Baca Juga: Koruptor KTP Elektronik Berhasil Kabur Gara-gara Kesalahan Konyol KPK
"Kalau pada saat itu sudah yang bersangkutan betul-betul red notice sudah ada, sudah bisa tertangkap di Thailand," ujarnya.
Atas hal itu Karyoto bilang tidak dapat menyalakan pihak manapun. Menurutnya itu bagian dari tantangan proses penegakan hukum.
"Ini namanya liku-liku penegakan hukum. Yang dikiranya kami mudah, ternyata hanya karena satu lembar surat," ujarnya.
"Karena apa? Pengajuan DPO itu red notice sudah lebih dari lima tahun, ternyata setelah dicek di Interpol belum terbit," imbuhnya.
Paulus Tannos selaku Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra merupakan salah satu tersangka korupsi pengadaan e-KTP. Dia terjerat bersama mantan Ketua DPR RI Setya Novanto. Tannos ditetapkan KPK sebagai tersangka dan buron sejak 2019.