Suara.com - Upah Minimum Regional atau UMR seantero Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kerap dinilai memiliki tingkat yang relatif rendah dibandingkan dengan daerah lainnya.
Menariknya di balik UMR Jogja, masyarakat lokal tetap berpegang teguh ke sebuah falsafah kearifan lokal nrimo ing pandum yang menjadi sumber kebahagiaan mereka.
Publik keluhkan rendahnya UMR Jogja, masyarakat lokal tetap nerimo ing pangdum
Bahasan mengenai bahagianya masyarakat Jogja di tengah isu-isu terkait kembali mencuat di tengah bahasan publik. Lini masa media sosial kini dipenuhi dengan warganet yang mengeluhkan bahwa Jogja dilanda banyak isu namun warganya tetap bahagia.
Baca Juga: Cheon Indonesia Buka Pendaftaran Dance Cover Competition 2023, Buruan Daftar!
"Untuk yang kemarin tanya 'apa benar orang Jogja itu bahagia?' Jawabannya benar karena Jogja itu kokain. Candu yang bikin halu Percayalah, saya pun merasakan candu ini hidup yang lambat. Merasa serba kecukupan. Romantis. Nyeni. Bagai mabuk kecubung," tulis seorang warganet.
"Seakan-akan kita terhipnotis sama Jogja, sampai lupa kalau provinsi ini banyak masalah," tulis akun lain mengamini.
"Bagi penduduk asli Yogya, bahagia itu sederhana. Ora neko², nrimo, yang penting berkah. Sedangkan bagi masyarakat umum, Yogya itu surga. Kenapa? Karena hukum, terutama di jalan umum, bebas untuk tidak dipatuhi tanpa ada sanksi atas pelanggaran. Kesemrawutan yang membahagiakan," timpal lainnya.
Sempat disinggung oleh seorang warganet, lantas apa arti dari nrimo ing pangdum tersebut? berikut penjelasannya.
Arti nrimo ing pandum
Baca Juga: Profil Soeharto Presiden Kedua Indonesia: Sejarah Perebutan Yogyakarta dari Penjajah
Nrimo ing pandum diambil dari dua kata dalam bahasa Jawa, yakni nerimo artinya menerima dan pangdum artinya pemberian. Jika diartikan secara harfiah, maka nerimo ing pandum artinya menerima segala pemberian Tuhan.
Dwi Suwiknyo melalui karyanya berjudul Ubah Lelah Jadi Lillah menjelaskan bahwa falsafah tersebut membuat masyarakat Jogja merasa tenang dan nyaman.
Jurnal Pancasila berjudul Nrimo Ing Pandum dan Etos Kerja Orang Jawa: Tinjauan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Silvia Maudy Rakhmawati dari Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa falsafah tersebut kerap salah dimaknai sebagai sikap menerima segala sesuatu yang diajarkan dan dianggap menjadi faktor penyebab pudarnya motivasi untuk bekerja serta mematikan produktivitas.
Padahal, istilah nerimo ing pandum yang terdapat dalam wejangan pada dasarnya diikuti oleh kalimat makaryo ing nyoto, yang berarti bekerja secara nyata.
Lebih lanjut berkaca dari miskonsepsi tersebut, banyak kritik terhadap falsafah itu lantaran membuat masyarakat Jogja dinilai tidak berupaya menyelesaikan isu sosial yang terjadi.
"Di Jogja, kamu bisa hidup walau pengangguran sampai 10 tahun kemudian baru sadar kalo kamu gak ngapa-ngapain ke hidupmu sendiri dan menyebutnya nrimo ing pandum sebagai tameng sakti," tulis akun warganet.
Kontributor : Armand Ilham