Suara.com - Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyebut faktor eksternal menjadi salah satu alasan kenaikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 1444 H/2023 M.
Pada tahun 2022 BPIH yang ditetapkan berada di angka Rp Rp98.379.021,09, namun pada tahun 2023 menjadi Rp98.893.909,11 atau mengalami kenaikan sebesar Rp514.888,02.
"Untuk biaya penyelenggaraan ibadah haji kenapa naik, saya rasa itu murni extrernalities (faktor eksternal), yang kemudian merupakan biaya yang memang dikenakan oleh pihak-pihak vendor maupun pemerintah Arab Saudi," kata Kepala BPKH Fadlul Imansyah saat menggelar konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat pada Selasa (24/1/2023).
Pandemi covid-19 juga disebut menjadi salah satu faktor naiknya biaya haji. Hal itu disebut Fadlul mengakibatkan adanya biaya-biaya tambahan.
Baca Juga: Alhamdulillah! Biaya Haji Turun sampai 30 Persen
"Pandemi yang berlangsung dari 2020-2021 mengakibatkan ada biaya-biaya tambahan yang timbul yang harus dibayar oleh seluruh calon jemaah haji yang berangkat," jelasnya.
Fadlul mengklaim kenaikan biaya penyelenggaraan haji bukan hanya dirasakan oleh Indonesia, namun juga negara lainnya.
"Dan ini tidak hanya berlaku bagi negara Indonesia, tapi hampir di seluruh negara di dunia itu mengalami hal yang sama," ujarnya.
Pada tahun ini Kementerian Agama mengusulkan Bipih menjadi Rp69.193.733,60 atau 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909.
Dengan perhitungan skema 70 persen Bipih (Biaya Perjalan Ibadah Haji) dan 30 persen nilai manfaat. Pada skema itu setiap jemaah haji harus membayar Rp 69.193.734 dari total biaya BPIH tahun 2023 yang diusulkan.
Baca Juga: Terkait Usulan Kenaikan Biaya Ibadah Haji, Jokowi: Sudah Ramai
Angka itu berbeda dengan pada 2022 yang memiliki proporsi yang lebih rendah. Setiap jemaah haji hanya perlu membayar sebesar Rp 39.886.009. Proporsinya Rp39.886.009 (40,54%) untuk Bipih dan Rp 58.493.021 (59,46%) untuk optimalisasi atau nilai manfaat.
Fadlul menyebut perhitungan itu telah dipertimbangkan dengan matang. Jika hitungan berada di angka yang diusulkan dikhawatirkan menggerus nilai manfaat dana haji yang akan berangkat pada tahun-tahun selanjutnya.
"Kalau kita hitung di bawa dari 70 persen-30 persen itu kekhawatirannya adalah akan menggerus nilai manfaat dari calon jemaah haji yang akan berangkat di tahun-tahun kedepannya," jelasnya.
Fadlul mengatakan skema perhitungan itu masih usulan. Keputusan akhirnya berada di Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR RI.
Dia mempersilahkan Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR RI untuk berdiskusi menemukan hitungan skema lain yang memungkinkan dapat diberlakukan pada tahun ini.
"Dan memformulasikan apakah memang ingin mengambil nilai manfaat dari calon jemaah haji ke depan yang akan berangkat, dengan asumsi agar calon jemaah haji yang akan berangkat bisa membayar sesuai dengan kemampuannya atau seperti apa, kami serahkan kepada panitia kerja," ujarnya.