Suara.com - Tuntuntan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum kepada Richard Eliezer atau Bharada E dengan hukuman selama 12 tahun penjara menuai kontroversi. Tuntutan tersebut dinilai tidak adil karena dalam kasus pembunuhan Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Bharada E telah berlaku kooperatif, salah satunya dengan menjadi justice collaborator.
Tuntutan JPU itu semakin mengusik rasa keadilan masyarakat, karena Bharada E dituntut lebih tinggi dari Putrin Chandrawathi, yakni 8 tahun.
Menanggapi sejumlah keberatan yang beredar di masyarakat terkait tuntutan tersebut, Kejaksaan Agung angkat bicara.
Menurut Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Fadil Zumhana, status justice collaborator yang disandang oleh Bharada E sebenarnya keliru.
Baca Juga: Tak Terungkap, Ternyata Ada Perang Tukang Siomay dan Petasan Dalam Skenario Pembunuhan Brigadir J
Sebab menurut dia, Bharada E adalah pelaku utama dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir J. Sementara pelaku utama tidak bisa menjadi justice collaborator.
"Untuk pelaku, tidak bisa JC (justice collaborator) pelaku utama. Ini saya luruskan ini. Di undang-undang tidak bisa," kata Jampidum Fadil Zumhana dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Jika Bharada E tidak bisa menjadi justice collaborator karena dianggap sebagai pelaku utama, lantas siapa yang bisa?
Kriteria justice collaborator menurut UU PSK
Menurut Wakil ketua LPSK Edwin Partogi, Bharada E sah menjadi justice collaborator berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Baca Juga: Disebut Bukan Sosok Pembongkar Fakta, Apa Saja yang Diungkap Bharada E di Persidangan?
Ia lalu meminta Kejagung membaca kembali Undang-undang tersebut, khususnya Pasal 28 ayat 2 huruf a dan pasal 5 ayat 2 serta penjelasannya .
Adapun bunyi dari Pasal 28 Ayat 2 huruf a UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut:
"Perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku diberikan dengan syarat tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan KEPUTUSAN LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (2)".
Sementara, jika merujukpada Pasal 5 Ayat 2, disana disebutkan bahwa hak seorang saksi atau korban yang bisa dilindungi LPSK diberikan sesuai dengan keputusan LPSK.
Dalam Pasal 5 Ayat 3 dijelaskan kalau hak yang diberikan dalam kasus tertentu, seperti yang dimaksud dalam ayat 2, dapat diberikan kepada saksi, pelaku, pelapor dan ahli, termasuk orang yang memberikan keterangan yang terkait dengan perkara pidana.
Berikut bunyi Pasal 5 Ayat 2: "Yang dimaksud dengan "tindak pidana dalam kasus tertentu" antara lain, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya".
"Dalam penjelasan (Pasal 5 Ayat 2) disebutkan tindak pidana yang tidak definitif tapi disebutkan tindak pidana yang mengakibatkan posisi saksi dan atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya," kata Edwin.
Mengacu pada sejumlah pasal di atas, Edwin menegaskan status Richard Eliezer seagai seorang justice collaborator dapat diterima.
Edwin juga menanggapi pernyataan Jampidum Kejagung yang menyebutkan Bharada E adalah pelaku utama dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Menurut Edwin. Menurut keterangan yang ia dapat dari penyidik kepolisian, dalam kasus tersebut, harada E bukanlah pelaku utama.
"Dulu hal itu kami tanyakan pertama (sebelum melindungi Richard) ketika bertemu dengan penyidik. Penyidik menyatakan bahwa Bharada E bukan pelaku utama," ujar Edwin.
Justice collaborator menurut SE Mahkamah Agung
Untuk memperkuat pernyataan Bharada E bukan seorang justice collaborator, Kejagung salah satunya mengutip Surat Edaran Mahkamah Agung Nomo4 4 Tahun 2011.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana, dalam surat edaran tersebut tercantum dengan jelas siapa saja yang bisa menjadi justice collaborator.
Mrnurut dia, Surat Edaran MA itu tidak mengatur konsep justice collaborator dalam kasus pembunuhan berencana.
Dalam surat edaran tersebut, orang-orang yang bisa menjadi justice collaborator adalah yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi. Dan bukan termasuk sebagai pelaku utama dalam kasus-kasus tersebut.
Kontributor : Damayanti Kahyangan