"Bagi saya pernyataan yang tidak tulus. Mengapa saya katakan tidak tulus? Karena dia mengatakan mengakui telah terjadi kejahatan kemanusiaan, khususnya kasus 65," sambung Bedjo.
Serupa aksi-aksi sebelumnya, Bedjo tetap menuntut agar pemerintah benar-benar menuntaskan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
"Saya hanya menuntut, karena ini persoalan hukum, hukum artinya ada pembunuhan, kejahatan, hukum ya diselesaikan secara hukum. Kalau mengatakan peristiwa 65," tambah dia.
Tak jauh dari Bedjo, Maria Catatina Sumarsih menyalami para peserta aksi yang menghampiri dirinya. Inisiator Aksi Kamisan itu juga masih menyimpan wajah anaknya, Bernadinus Realino Norma Imawan a.k.a Wawan dalam kaos hitam yang dia kenakan.
Dalam refleksi 16 tahun Aksi Kamisan ini, Sumarsih dengan tegas menolak penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan mekanisme non yudisial. Kata dia, tidak ada jaminan atas impunitas terhadap pelanggaran HAM berat yang mungkin terjadi di kemudian hari.
"Penanganan secara non yudisial ya kami menolak karena, ya impunitas itu akan tidak memberikan jaminan, tidak terjadinya kasus pelanggaran HAM berat di masa depan," ucap dia.
Beberapa akitvis HAM turut hadir dalam aksi hari ini. Mereka adalah Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usaman Hamid dan beberapa warga sipil lainnya.
Sore makin meninggi, sebelum membubarkan diri, para peserta aksi berbaris membelakangi Istana Negara. Tepat di depan karangan bunga dan keranda mayat, sebuah teriakan keras terdengar.
"Jokowi!"
"Jangan bohong. Selesaikan HAM berat," sahut para peserta aksi lainnya.
Baca Juga: 16 Tahun Aksi Kamisan dan Basa-Basi Jokowi dalam Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu